25 Februari 2008

Dokumentasi Berita (5)

Seni Budaya:LAF Gelar Dunia Puisi

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Malam ini (27-8), Lampung Arts Festival (LAF) menggelar Dunia Puisi. Kegiatan ini diramaikan puluhan penyair asal Lampung dan luar daerah.

Sekretrais Kegiatan LAF, Panji Utama, Minggu (26-8), mengatakan kegiatan ini akan difokuskan di panggung terbuka Pasar Seni Enggal, malam ini mulai pukul 20.00.

"Kegiatan digelar mengingat Krakatau Award yang setiap tahun digelar, pada tahun 2007 ini belum jelas dilaksanakan karena persoalan anggaran," kata Panji.

Untuk itulah, menurut dia, dipilihlah puisi sebagai genre dari sastra untuk mewakili kegiatan LAF 2007. "Makanya kami mengundang sejumlah penyair dari beberapa kota, provinsi, pulau, bahkan negara yang dinilai pantas bisa menghadiri event LAF ini."

Pemilihan penyair, menurut Panji, tidak terbatas pada satu angkatan saja, tapi mereka yang berkiprah sejak tahun 1980-an hingga 2000-an.

"Mereka yang jelas mewakili generasi masing-masing, sehingga diharapkan dapat memperjelas benang regenerasi perpuisian di Indonesia. Makanya diharapkan ini bisa memberikan sumbangsih bagi apresiasi puisi utamanya di Lampung," ujarnya.

Adapun generasi 1980-an, di antaranya diwakili Ahmadun Yosi Herfanda, Ahmad Subhanuddin Alwy, Micky Hidayat, Bambang Widiatmoko, Anwar Putra Bayu, Y.S. Agus Suseno, dan Endang Supriadi.

Mereka akan berkolaborasi dengan generasi yang baru bermunculan seperti I Wayan Sunarta, Jimmy Maruli Alfian, Ari Pahala Hutabarat, Inggit Putria Marga, Alex Nainggolan, hingga Pranita Dewi, Shinta Febriani, Ni Putu Vivi Lestari, dan lainnya.

"Malam apresiasi Dunia Puisi ini akan diisi pembacaan puisi dari penyair asal Lampung yang jumlahnya lebih dari 16 orang, lalu penyair asal Sumatera Selatan, Jakarta, Yogyakarta, Cirebon, Bali, Banjarmasin, dan Makassar. Serta penyair asingnya rencananya berasal dari Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, dan Sri Lanka," ujar Panji.

Selain itu, kegiatan lain yang juga digelar ialah diskusi sastra yang akan mengangkat tema Puisi sebagai Teks yang akan digelar di Kantor Redaksi Lampung Post, Selasa (28-8). n TYO/K-2

Sumber:www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2007082702083529 - 4k -

Dokumentasi Berita (3)


Nederlandse dichters Duoduo, Peter Swanborn, Hans Wap en Tsead Bruinja lezen voor in Indonesië
Donderdag 29 juni vertrekken de dichters Duoduo, Peter Swanborn, Hans Wap en Tsead Bruinja naar Indonesië om voor te lezen in het Nederlands, Chinees en in het Fries tijdens een internationaal festival in Palembang en Jakarta. Zij worden daarbij vergezeld door organisator Martin Mooij van de Stichting Poets of all Nations te Rotterdam en vertaalster Linde Voûte, die de gedichten van Bruinja, Wap en Swanborn vertaalde naar het Bahasa. Op 1 juli worden de dichters welkom geheten door de gouverneur van Zuid-Sumatra. Het festivalgedeelte in Palembang vindt daarna plaats in de Sumatera Selatan Arts Council van 2 juli tot en met 4 juli. Van 5 juli tot en met 8 juli lezen de dichters voor in het theater Kecil in Jakarta. Op 8 juli is er vervolgens een afscheidsdiner dat aangeboden wordt door de gouverneur van DKI Jakarta. De reis, het verblijf en de voordrachten worden mede mogelijk gemaakt door de Gemeente Rotterdam, de Provincie Fryslân, Stichting het LIRA Fonds, de Kunststichting van Jakarta / Dewan Kesenian Jakarta en de Koninklijke Nederlandse Ambassade Jakarta / Indonesië. ijdens het festival wordt er verder voorgelezen door: Ehma Ainun Nadjib (Indonesië), Dorothea Rosa Herliani (Indonesië), Hal Judge (Australië), Taufik Wija (Indonesië), Ahmadun Y. Herfanda (Indonesië), Ahmed Abdul Mooity Hegazy (Egypte), Khair Rahman (Maleisië), Raudal Tanjung Banua (Indonesië), Peter Zilahy (Hongarije), Martin Jankowski (Duitsland), Taufiq Ismail (Indonesië), Acep Zamzam Noor (Indonesië), Ismail Güven Turan (Turkije), Madeleine Lee (Singapore), Flavio Santi (Italië), Khalid bin Salleh (Maleisië), Ani Sumari (Finland), D. Zawawi Imron (Indonesië), Gus Sakai (Indonesië), Godi Suwarna (Indonesië), Anwar Putra Bayu (Indonesië), Nenden Lilis Aisyah (Indonesië), Aslan Ibadin (Indonesië), Sitor Situmorang (Indonesië), Warih Witsana (Indonesië) en Abdul Hadi W.M. (Indonesië). Sumber:
Tsead Bruinja
Tel.: 020-6181877
Mob.: 06-11407190
Mail: tseadbruinja@hotmail.com

Dokumentasi Berita (2)

T.Wijaya

Festival Puisi Internasional

Pada tanggal 2 – 8 Juli 2006 , Dewan Kesenian Jakarta akan
menyelenggarakan Festival Puisi Internasional yang bertempat di Jakarta
dan Palembang. Festival ini akan diikuti oleh penyair dan pengarang dari
Indonesia, Jepang, Cina, Mesir, Korea, Malaysia, Finlandia, Jerman,
Belanda, serta banyak lainnya.
Festival ini didedikasikan untuk semangat persahabatan dan kemanusiaan.
Selain itu, festival ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesepahaman
lintas budaya melalui puisi. Kami mengharapkan festival ini akan menjadi
tempat dimana penyair dan pengarang dari seluruh dunia dapat bertemu dan
berbagi pengalaman dan persahabatan.

Adapun penyair Indonesia yang akan meramaikan kegiatan tersebut adalah ;
1. Acep Zam Zam Noor
2. Abdul Hadi
3. Agus R Sarjono
4. Ahmadun Y Herfanda
5. Aslan Abidin
6. Anwar Putra Bayu
7. Azhari
8. Dorothea Rosa Herliani
9. D.Zawawi Imron
10.Gus tf Sakai
11.Godi Suwarna
12.Jamal D Rahman
13. Nenden Lilis
14. Raudal Tanjung Banua
15. Sitor Situmorang
16. Taufiq Ismail
17. T.Wijaya
18. Warih Wisatsana

Sumber:puitika.net/item/431 - 19k -

Dokumentasi Berita (1)


WS Rendra akan Baca Puisi Bersama 22 Penyair Dunia di Atas Sungai Musi

PALEMBANG--MIOL: Penyair si burung merak WS Rendra bakal menampilkan 22 penyair ternama dari 13 negara, 16 penyair Indonesia. Mereka akan tampil dalam ajang The Indonesiari Poetry International Festival di Kota Palembang. Mereka akan baca puisi di atas kapal pesiar sembari menikmati panorama Sungai Musi.

Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatra Selatan (DKSS) Djohan Hanafiah mengemukakan kegiatan pembacaan puisi dunia tersebut merupakan yang pertama kali dilakukan di luar Pulau Jawa.

"Jadi Palembang mendapat kehormatan luar biasa. Semua itu berkat WS Rendra yang telah memboyong para pembaca puisi dunia untuk berpartisiapsi pada festival ini," kata Djohan yang juga Ketua Panitia Pelaksana The Indonesian Poetry International Festival kepada wartawan di Palembang, Rabu (28/6).

Festival baca puisi dunia tersebut akan berlangsung tiga hari sejak 1 Juli 2006. Berdasarkan informasi WS Rendra, kata Djohan, para penyair dunia yang bakal tampil itu antara lain Ahmed Abdul Mooty Hezagy dari Mesir, Ani Sumari (Finlandia).

Lainya, Duo Duo (China), Durs Gurnheim (Jerman), Eduardo Sanguineti (Italia), Ismail Turan (Italia), Hans Wap (Belanda), Ko Un (Korsel), John Traner (Australia) Mircea Dinescu (Romania), Tsead Bruinja (Friesland) dan Zhang Zao dari China serta dua penyair dari Hongaria.

"Para penyair itu dibawa Rendra ke Palembang untuk ikut ajang baca puisi dunia tersebut. Mereka nantinya juga akan baca puisi di atas Sungai Musi, malam hari," ujar Djohan, didampingi tokoh pers Ismail Djalili.

Para penyair Indonesia antara lain Anwar Putra Bayu, T Wijaya, Ahmadun Y Herfanda, Aslan Abidin, Sutardji Chaulsum Bachri, Godi Suwarna dan Nenden Lilis.

Djohan Hanafiah mengatakan festival baca puisi dunia tersebut juga akan dimerihakan dengan pegelaran seni budaya Sumsel yakni Senjang dan Guritan yang selama ini memang hidup di tengah-tengah masyarakat daerah ini.

Untuk memberikan apresiasi kepada masyarakat luas, para penyair dunia tersebut akan melakukan bincang dengan masyarakat dalam acara Artis Talk di Hotel Novotel, Palembang. (AY/OL-02). : Yasland Aspani

Sumber:www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=104388 - 57k

23 Februari 2008

Artikel /1/


Pengarang Perempuan dan Lokalitas
Catatan Anwar Putra Bayu


1. Miskin Pengarang Perempuan

Sebuah kenyataan yang harus diterima oleh jagad sastra khususnya dunia pengarang di Sumatera Selatan dengan jumlah penduduk lebih kurang 6.518.791 jiwa (data tahun 2003), yang mendiami 11 kabupaten dan 4 kotamadya, maka sedikit sekali bahkan dapat dihitung dengan jari tangan adanya pengarang berjenis kelamin perempuan.
Bila dicermati beberapa buku yang memuat tentang data atau biografi pengarang Indonesia, Buku Direktori Penulis Indonesia (Depdikbud 1997) misalnya, maka hanya tercatat nama seorang perempuan kelahiran Bangka, yakni Hamidah. Selebihnya pengarang dari Sumatera Selatan tercatat nama-nama seperti A. Bastari Asnin (Muara Dua, Komering), Alex Leo (Lahat), Bur Rasuanto (Palembang), Koko Bae atau Surya Gunawan (Palembang), Nurhayat Arief Permana (Palembang), Sobron Aidit (Belitung), Syamsu Indra Usman (lahat), T. Wijaya (Palembang), dan Wahab Manan (Palembang). Ini menunjukan bahwa dunia kepengarangan lebih banyak didominasi kaum lelaki.
Tentunya, sebagaimana nama-nama tersebut di atas, maka nama seperti B. Yass yang kelahiran Huta Padang, Kisaran (Sumatera Utara) juga merupakan sosok pengarang/sastrawan Sumatera Selatan yang tak kalah pentingnya memberikan kontribusi bagi perkembangan sastra modern Indonesia. Di masa hidupnya B. Yass banyak menyebarluaskan karya-karyanya berupa cerita pendek, novel, dan sastra lakon ke beberapa media cetak terbitan pusat dan daerah.
Setelah Hamidah meninggal pada 8 Mei 1953, tidak ditemukan lagi pengarang perempuan selama lebih kurang 37 tahun yang khusus memberi kontribusi terhadap denyut sastra di Sumatera Selatan. Barulah memasuki era 1990-an nama-nama seperti Hesma Eryani, Emedi Serry dan Ine Somad muncul. Kehadiran mereka mewarnai jagad sastra Sumatera Selatan melalui karya puisi mereka yang diterbitkan media cetak local.
Ine Somad misalnya, bersama lima penyair laki-laki (Antonarasoma, Dimas Agus Pelaz, Mulyadi J Malik, Nurhayat Arief Permana, S.N. Al-Sjajidi, dan Sumarman) adalah satu-satunya perempuan yang terlibat dalam Kumpulan Puisi Profetik “Ghirah”, yang diterbitkan oleh Sriwijaya Media Utama pada tahun 1992. Nama Ine Somad, Hesma Heryani, dan Emedi Seri belakangan ini, terutama sejak akhir tahun 1999 praktis tak terdengar lagi, apalagi setelah mereka menikah barangkali urusan domestic tampak lebih jadi penting. Meskipun menurut saya ini bukan satu-satunya alasan kemudian menghilang.
Membaca perkembangan sastra di Sumatera Selatan saat ini, maka tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan pertumbuhan dan perkembangan sastra sebelumnya. Menurut B. Trisman dalam sebuah tulisan bahwa kehidupan dunia kesasteraan modern dan keaktifan pengarang/sastrawan Sumsel dalam melahirkan karya-karya mereka sudah dimulai sejak masa sebelum kemerdekaan. Hal itu, kata Trisman, setidak-tidaknya dapat ditandai dan ditelusuri melalui system penerbitan di Sumatera Selatan.
Dalam tulisan ini, saya belum dapat melacak hingga awal abad ke 19, ketika di masa itu sudah ada surat kabar (Soeloeh Sriwijaya) yang terbit di Palembang. Mungkin akan membutuhkan waktu panjang agar bias menggali data atau informasi yang berkaitan dengan denyut nadi sastra di Sumsel. Akan tetapi, paling tidak perkembangan informasi selama tahun 1970 hingga 2000-an ini setidaknya bisa memberi gambaran.
Di masa tahun 1970-an, beberapa daerah di Indonesia, terutama di wilayah Sumatera ada semacam mulainya semangat baru ketika memasuki babak baru dalam rezim Orde Baru yakni kehidupan kesenian “disehatkan” kembali sejalan dengan kemurniannya. Betapa tidak, semasa PKI berkuasa dan mendapat tempat di tahun 1960-an, maka ketika itu kesenian harus dibelokkan menjadi alat kepentingan partai, sastra termasuk di dalamnya.
Semangat bari itu ditandai dengan adanya pertemuan-pertemuan sastra yang diselenggarakan berbagi institusi. Geliat sastra yang terjadi di beberapa daerah itu ternyata di Sumsel tak banyak melakukan aktivitas bersastra seperti diskusi, seminar, pembacaan karya sastra, dan penerbitan buku.
Pengecualian di kota Palembang sebagai ibu kota Propinsi Sumatera Selatan, suasana bersastra, terutama pembacaan puisi memang sedikit ada gaungnya, meski itu tak banyak. Ini tentunya disebabkan minimnya ruang berekspresi bagi perkembangan kepenyairan itu sendiri. Pada masa itu Palembang boleh dibilang minim soal media cetak (surat kabar atau majalah), sehingga tidak ada saluran kreatif bagi penulis puisi dan cerita penedk.
Keterbatasan itu tidak menjadi beberapa penggiat sastra lalu menyerah. Koko Bae (Surya Darmawan) misalnya, dalam usia yang masih muda saat itu berupaya melahirkan antolugi puisi mandirinya Gado-gado Kocak Koko Bae yang diterbitkannya pada tahun 1976 di Palembang. Menurut saya, bahwa antologi Koko Bae itu merupakan buku puisi tunggal yang pertama mengisi tahun 1970-an. Menyusul sembilan tahun kemudian barulah puisi-puisi Zainal Abidin Hanif mengisi Kumpulan Puisi Penyair se-Sumatera yang diterbitkan di Medan, Sumatera Utara. Setidaknya, tahun 1979 itu ada denyut sastra di Sumatera Selatan.
Kemunculan kedua penyair itu, Koko dan Hanif, tentu sangat berbeda latarbelakangnya, jika Koko Bae muncul dari arus bawah, maka Zainal Abidin Hanif muncul dari arus menengah dari lingkungan birokrat. Meminjam istilah B. Yass, tahun-tahun itu ada istilah seniman/sastrawan bilsuit. Dengan kata lain, seniman atau sastrawan jenis bilsuit –di-es-kakan—itu, biasanya lebih leluasa dan didukung ketimbang seniman atau sastrawan yang muncul dari gorong-gorong.
Antara Koko dan Hanif memang berbeda terutama dalam sikap berkesenian/bersastra. Dalam puisi misalnya, kedua penyair itu memiliki visi serta ideologi yang berbeda. Dari segi tema Koko lebih cenderung ke warna protes sosial, sedangkan Hanif lebih menonjol kepada warna ketuhanan.
Tidak berhenti pada penerbitan antologi itu saja, Koko Bae pun mulai membangun tradisi baca puisi di Palembang. Dia membacakan karyanya di depan publik. Apa yang dilakukan oleh Koko Bae tak lain mengimbangi tradisi baca puisi (audio) di RRI melalui Sanggar Sastra yang diasuh oleh Zainal Abidin Hanif. Acara baca puisi yang diasuh oleh Hanif itu memang sangat disukai masyarakat pendengar. Apa yang dilakukan oleh kedua penayir tersebut pada waktu itu merupakan kerja apresiasi yang sangat positif.
Melalui Sanggar Sastra itulah ternyata banyak melahirkan deklamator/deklamatris ketimbang penulis puisi. Program dan pembinaan Sanggar Sastra itu memang tidak diarahkan bagaimana cara menulis puisi misalnya, namun program itu lebih kepada bagaimana melisankan teks puisi dengan baik. Kalaupun adakemudian muncul penulis-penulis puisi yang baik seperti Awu Samidha, Jalius Marbe, Umar Zippin, Emedi Sery, Hendra Kusuma Wijaya, dan Z.A. Narasinga, hal itu disebabkan proses individu masing-masing.
Kemudian memasuki tahun 1980-an, geliat sastra/puisi bertumpu dan terpusat di kota Palembang. Munculnya tradisisi baru berupa festival baca puisi mulai menjadi virus, sehingga kehidupan dunia sastra makin berdenyut.
Publik sastra di Palembang setidaknya mulai akrab dengan nama-nama sastrawan, seperti Taufik Ismail, Rendra, Yudhistira, Abdul Hadi WM, dan lain-lain. Selain itu, karya-karya Umar Zippin, Koko Bae, Jalius Marbe, Narasinga, dan Hendra Kusumawijaya mulai juga akrab di telinga publik sastra Sumatera Selatan, khususnya Palembang.
Di tengah maraknya festival baca puisi sebagai cerminan budaya formalistik, maka di sisi lain turut pula mewarnai dengan terbitnya beberapa antologi puisi tunggal maupun bersama dalam bentuk cetakan buku maupun manuskrip antara lain, Sajak Kumur-kumur karya Yan Romain Hamid, Perjalanan Libeling karya Tommy dan Zulkifli, Sajak Calon Presiden 2100 karya Koko Bae, dan Musi karya Toton dan Iqbal Permana.
Akumulasi dari proses kepenyairan masa itu puncaknya ditandai dengan penerbitan dan pembacaan puisi oleh 10 Penyair (4 Nov. 1988). Sepuluh penyair itu adalah Anwar Putra Bayu, Ade Muchklis T, Jalius Marbe, Dimas Agus Pelaz, JJ. Polong, Tommy, Toton Dai Prmana, Yunen Asmara, Zulkifli Hardy, dan Yos El Yass. Setahun kemudian dilanjutkan lagi dengan penerbitan kumpulan puisi bersama Rendezvouz oleh Anwar Putra Bayu, Dimas Agus Pelaz, dan Toton Dai Permana
Semenjak itulah suasana bersastra mulai berkembang. Munculnya iklim yang mulai kondusif ditandai dengan munculnya koran-koran lokal yang kemudian menyediakan halaman sastra dan budaya. Ditambah lagi juga munculnya kantung-kantung sastra yang berkesinambungan dan tertumpu di kota Palembang. Sementara geliat sastra di tempat lain di wilayah Sumatera Selatan belum muncul kecuali Kabupaten Lahat, dari sini muncul nama Syamsu Indra Usman.HS.
Iklim bersastra di masa tahun 1980-an menambah naik suhunya, untuk seterusnya ada penajaman ketika masuk dan menjalani tahuun 1990-an hinggan yahun 2000-an. Di masa-masa ini puls penrebitan buku puisi makin banyak muncul. Demikian pulan berbagai even dan kegiatan sastra yang bersifat lokal, nasional, bahkan internasional.
Dalam era ini pula muncul nama-nama seperti T. Wijaya, SN. AL Sadjidi, Antonarasoma, Warman. P, Nurhayat Arif Permana, Ahmad Rapani Igma, Firdhamoest (M. Rahman Arpan), Ine Somad (penyair wanita). Tentunya mereka hingga saat ini masih dalam proses pencarian, yang pada gilirannya menuju kematangan masing-masing. Jika memang digeluti secara konsisten.

2. Gerakan Menulis Novel dan Warna Lokal

Dalam tujuh tahun belakangan ini, perkembangan sastra di Sumatera Selatan cukup menarik gejalanya. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diketahui. Pertama munculnya beberapa nama pengarang perempuan seperti Ikhtiar Hidayatai (puisi/cerpen), Dahlia (cerpen, puisi, novel), Duhita Ismaya Arimbi (puisi), Indah Rizky Ariani (puisi), Ikhtiar Jannati Arini (puisi), Pipit (puisi), Deris Afriani (cerpen). Selain juga muncul pengarang laki-laki antara lain, untuk skedar menyebut beberapa nama, Anton Bae (puisi, cerpen), Pinasti S. Zuhri (cerpen, puisi), Rendi Fadillah (cerpen, puisi), Sena B. Sulistya (puisi), Nurahman (cerpen), Rizal Bae (cerpen, drama), dan Koko P. Bhirawa.
Kedua adanya kecenderungan beberapa orang beralih menulis novel. Dalam lebih kurang dua tahun belakangan ini Jagad sastra Sumsel sudah memiliki novel antara lain Juaro (T. Wijaya), Angin (Toton Dai Permana), Jungut (Dahlia), Dinding (M. Rahman Arpan), Sekojo (Anton Bae), Pulau Kemaro (Anwar P Bayu), dan Napsiah Matjik (Antonarasoma). Penulisan novel ini sebelumnya sudah dimulai oleh Helmi Apri HZ. (Hutan Karet Gugusan, 1987) dan Kamil (………………………………..).
Ketiga adanya kecenderungan warna lokal dalam beberapa tulisan, baik puisi, cerpen, drama, dan novel. Novel Buntung misalnya, novel ini bercerita soal masa depan Indonesia, sebuah prediksi (materialisme marxis) yang membenturkan kondisi sosial, ekonomi, politik, sejarah, dan kepercayaan (agama) masyarakat Indonesia. Namun dengan mengambil setting “ Indonesia kecil” yakni Palembang, di mana Palembang memiliki sejarah yang panjang dan besar di nusantara, tentunya menjadi contoh ideal buat Indonesia .
Tokoh-tokoh di dalam novel Buntung ini tidak ada yang menonjol. Semua tokoh sama. Cerita terbangun atas peristiwa seperti karakter manusia, ketegangan sosial, ekonomi, dan kepercayaan. Pada akhirnya cerita Buntung ditutup dengan keinginan manusia kembali pada hati nuraninya untuk hidup damai dan tenang. Dan tidak peduli dengan sejarah, Negara, atau peradaban besar.
Tidak peduli dengan Indonesia itu masih ada atau tidak ada. Novel yang ditulis oleh T. Wijaya ini merupakan hasil studi teks sejarah, kultural, dan empirik dengan peristiwa-peristiwa sosial, seperti mengenai perilaku dan sikap para preman Palembang .
Yang menggembirakan untuk perkembangan sastra di Sumatera Selatan saat ini, adalah munculnya novel Jungut (saat ini masih dalam proses cetak) yang ditulis oleh seorang perempuan, Dahlia namanya. Novel itu bercerita tentang perampasan tanah adat seluas 3000 Ha, yang pada gilirannya tana itu menjadi hutan industri. Setting lokal begitu kental dalam novel Jungut.
Gerakan menulis novel dan membangun lokalitas yang terjadi saat ini di Sumatera Selatan, khususnya di Palembang setidaknya “jihad kembali ke akar” yang dilakukan oleh Taufik Wijaya, hasilnya beberapa pengarang mengalami bunting! Hal ini mengingatkan saya pada pandangan Maman S. Mahayana, bahwa penting memproklamirkan semangat lokalitas menjadi sebuah gerakan yang lebih mandiri dalam arti tidak lagi bergantung pada dominasi pusat.

Puisi /4/

Nasib yang Berputar
Suatu hari di kotamu hanya ada keberuntungan
Bila kau mau melambatkan jam dari detik yang berlalu
untuk membawa kehidupan lebih baik.

Bagaimana kau temukan
kehidupan sekarang ini
jika segalanya serupa neraka? –-di mana-mana tersiksa—
senantiasa menemukan kecemasan.

Kesedihan dan kegembiraan selalu beriringan
seperti daun-daun jatuh, melayang.
Seperti gerimis turun bersama saat menaruhmu
di antara kemarahan.

Semasih pagi kaulah barangkali orang yang kukira
membawa secangkir kopi.
Di piringnya kau selip bunga Tristan—di mana-mana ada bujuk rayu--

Sekiranya kau penyair itu
yang membuka kedua mataku untuk melihat segala kecemasan
maka kaulah orang memainkan sentuhan.
Saat ini kau mungkin telah melihat sebilah pedang dan sarung
maka di dalamnya ada lembaran kartu tarot
di antaranya kosong dan mematikan—di mana-mana ada menyimpan tanda kesialanmu—di situlah kau akan mati. Nasibmu berputar.

Kalau saja kau berangkat ke kota tanpa kau kenal,
lalu kau permainkan lagi nasibmu sendiri
maka sebuah kecepatan yang lebih lamban
kau bisa rasakan pada kocokkan serta kecepatan tangan,
sebuah bencana sedang memainkan kehidupanmu
kesedihan dan kematian hanya dibatasi kain sutra—di mana-mana kau tak melihat—kiranya kau dapat merasakannya.


2006

Puisi /9/

Di Jalan Kubur
Lencang jalan pekuburan, lengang.
rasa takutlah yang melenggang
sayang anak perawan kini kan melayang

Pepohonan risau
alamat mereka mengenal degup jantung peziarah

Mak lama tertidur
antara kota, laut dan pulau
sayang tak dikenalnya lagi

Kubawakan kau bunga setaman
kusyahadatkan air mawar dengan air mata
maka wiridku cukuplah sudah
seperti lebah yang gelisah
kemanakah pergi?

Kami lesap di dalam kemayaan
Kamikah arwah?


2006-2007