BUKU



Judul Buku :   Max Xavelaar
Pengarang   :   Multatuli
Alih Bahasa:    Andi Tenri. W

Penyunting :    Hamonangan Simanjuntak
Penerbit      :    Narasi, Yogyakarta
Tahun         :    Cetakan Pertama, 2008
Halaman     :    396 Halaman


SEBUAH INSPIRASI PERLAWANAN

 Max Havelaar karya Multatuli merupakan novel bercitra antikolonial. Konon, maha karya sastra Max Havelaar (MH) yang ditulis Douwes Dekker yang punya pseudo name Multatuli ini juga yang menginspirasi lahirnya Budi Utomo sebagai gerakan awal kebangkitan nasional yang tahun ini genap 103 tahun dirayakan bangsa Indonesia.  Buku ini juga yang ditengarai memberi ilham bangsa Indonesia untuk merdeka. Benarkah?

Novel Max Havelaar sangat popular di kalangan cendekiawan dan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia sebelum perang dunia kedua. Anehnya, karya sastra yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa ini, baru terbit dalam edisi  bahasa Indonesia pada tahun 1972, yang diterjemahkan oleh sastrawan H.B Jassin. Dan saat ini  Max Havelaar bisa ditemukan  dalam edisi baru yang merupakan hasil alih bahasa dari Andi Tenri W.


Buku ini ditulis pada musim tahun 1859 oleh Multatuli di sebuah losmen sederhana di Belgia. Berisi kritik tajam pada ideologi kolonialisme. Buku ini membuka mata dunia, betapa kejam dan perihnya arti dari sebuah penindasan.

Buku Max Havelaar ini merupakan “nyanyian” Multatuli alias Douwes Dekker karena melihat  ketimpangan yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap rakyat di daerah jajahannya. Douwes Dekker sempat menduduki jabatan controleur ----pegawai pemerintah Belanda tertinggi--- di Natal (Sumatera Utara), kemudian dimutasi ke Padang  (Sumatera Barat) dan Rangkas Bitung, Lebak, Banten. Dia selalu menentang kebijakan atasannya yang selalu merugikan kaum pribumi.

Selama bertugas sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda, Douwes Dekker selalu menolak tegas model pemerintahan Belanda. Yang jadi titik tolak kritik dan perlawanannya, karena ketidakadilan dan perampasan hak yang dilakukan Belanda. Douwes Dekker justru bersimpati pada rakyat pribumi yang teraniaya dan tertindas. Douwes Dekker justru memalingkan perhatiannya pada rakyat yang tertindas dan kelaparan.

Douwes Dekker sering melihat proses peradilan yang curang dan juga kecurangan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah Belanda yang jelas-jelas merugikan penduduk. Berbagai kasus dibeberkannya, sebagai contoh, kasus si Pamaga, anak angkat Sutan salim yang didakwa mencoba membunuh tuanku Natal dan controleur Belanda di Natal.


Karena tekadnya—kekekehannya-- dalam membela kaum pribumi Douwes Dekker pernah diskors. Bahkan  yang lebih menyakitkan hatinya, gaji Douwes Dekker hanya dibayar separuh. Akibatnya, dari perlawanannya ini pada tahun 1856 Douwes Dekker diberhentikan dari jabatannya. Bahkan pemerintah Belanda  sempat mengajukan Douwes Dekker  ke pengadilan.

Setelah kalah dalam perkara Douwes Dekker yang tak lain adalah Multatuli dipulangkan ke Eropa. Namun semangat perlawan dan pemberontakan yang dilakukannya tak kunjung padam. Pemerintah Belanda tak bisa memberangus “ideologi” Multatuli. Dengan menyewa sebuah apartemen sederhana di Belgia mulai melakukan perlawanan.

Manifestasi Sebuah Keyakinan
Dengan berbekal keyakinan yang termanifestasikan dalam kata-kata “ya, aku bakal dibaca” Multatuli melahirkan karyanya bertajuk Max Havelaar. Novel Max Havelaar karya Multatuli yang diterbitkan pada tahun 1860 ini sangat laris dan menggemparkan daratan Eropa.

Dan sudah pasti pemerintah Belanda tak menyukainya, karena melalui Max Xavelaar ini Multatuli membuka “borok” dan mempermalukan pemerintah Hindia Belanda di mata dunia.

Novel Max Havellar yang menggunakan tokoh Multatuli dan Stren sebagai pihak yang menentang tanam paksa dan kerja rodi. Sedangkan  tokoh Droogstoppel yang mendukung tanam paksa dan dagang kopi.

Memang masalah tanam paksa mendapatkan porsi yang istimewa dalam Max Havellar. Untuk itulah Max Havelaar juga mengupayakan pemberian upah yang layak bagi para pekerja.

Sifat antikolonial Max Havelaar ditunjukkan dengan menolak penindasan, perampasan, penganiayaan, antidiskriminasi, meskipun berimbas pada perdaganganan kopi.

Pada sisi lain, Max Havelaar adalah novel prokolonial, karena juga ikut mendukung kekuasaan pemerintah Belanda atas wilayah Indonesia. Novel ini terpengaruh oleh hegemoni kolonial atas kompetisi produk-produk industri dari negara jajahan Eropa pada abad ke-19.

Memang wacana pembebasan pada novel ini baru  terbatas pada kelas pekerja (buruh tanam paksa) dan kelas bawah (rakyat) atas pengusaha dan penguasa. Novel ini memang belum berbicara pada pembebasan politis. Tetapi paling tidak lewat “keberanian” yang dipompakan Multatuli lewat Max Havelaar orang berani melawan kolonialisme.

Melalui novel Max Havelaar , Multatuli dapat menyampaikan pandangan-pandangan  dan idiologinya secara implisit dan imajinatif. Pandangan-padangan Multatuli bisa membuka pikiran termasuk tokoh-tokoh pergerakan Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan yang memang menjadi hak segala bangsa.

Max Havelaar sebagai sebuah novel, meskipun sudah diterbitkan hampir 150 tahun lalu tetap relevan hingga kini. Selama ketidakadilan dan ketertindasan masih ada di muka bumi ini, suara-suara Multatuli lewat Max Havelaar masih layak terus digemakan. Max Havelaar, sebagai sebuah karya sastra memang layak menjadi inspirasi bagi orang-orang yang ingin merdeka dan melakukan perlawanan dari segala bentuk penjajahan dan ketidakadilan.

Christian Heru Cahyo Saputro, Editor dan Penghayat kesenian, tinggal di Lampung.
Jalan Imam Bonjol – Gg.Nangka 018 Bandar Lampung

Sumber tulisan: www.horisononline.or.id