26 Desember 2008

Bulan Separuh Bayang

/Anwar Putra Bayu/


Kauberada di dalam alam
terbentang dan sejuk
melihat diri sendiri
melewati kegelapan yang sempurna.

12 Desember 2008

Marlen di Golgota

/Anwar Putra Bayu/

/1/

Malam.

Bintang berkedip-kedip di langit sana, sementara Marlen berdiri tegak dan kepalanya tengadah ke atas. Bintang terus berkedip kemudian mata Marlen pun berkedip. Rasa kantuk mulai menyerangnya. Marlen sendiri dan bersiul memecah kesunyian.

Dia merasakan bau di sekitarnya. Ia mencium bau lumut yang datangnya dari dinding-dinding rumah. Pikiran Marlen berkecamuk, selimut, kasur, bantal, bantal guling, dan bulu ayam untuk mengorek kuping melintas dalam benaknya. Tapi sebelumnya terlintas bau lumut dari dinding rumah itu berubah menjadi bau ikan asing goreng, sehingga perut Marlen semakin lapar, dan kedua mata Marlen pun berkedip-kedip.

Malam.

Bintang salib di matanya lalu turun ke mulut Marlen menjadi senyuman. Kini dia menyandarkan tubuhnya di dinding rumah. Hawa dingin menggerayangi badanya hingga ke tulang sumsum, ngilu! Daun telinganya bergerak-gerak, suara langkah dan ringkikan kuda seakan mengejarnya. “Aneh,” katanya membatin. Marlen tidak melihat apa-apa.

Dari sebelah utara sana dia sempat mendengar sesayup percakapan beberapa orang. Marlen bengong lantaran tidak mengerti bahasa apa yang digunakan mereka. Dia kelihatan tolol dan lucu. Kemudian dia garuk-garuk kupingnya hingga lecet. Dia pandang langit dan pandangannya gelap.

Sinar matahari merayapi tubuhnya setelah semalam berjuang keras agar bisa mendengkur dengan nyaman. Tubuhnya meringkuk seperti udang. Dia menggeliat s mengeluarkan suara sengau dari mulutnya. Kedua matanya terbuka lebar.

Marlen bengong menyaksikan rumah-rumah kotak bewarna putih di bawah bukit-bukit tanah merah. Dia semakin bego menghadapi kota yang begitu sunyi. Dia baru sadar kalau dia berada di kota mati. Mau cari voucher susah, mau kirim email sulit, apalagi mau makan pizza sukar sekali. Padahal, Marlen baru kemarin lusa berada di tengah kota yang hidup penuh kesibukan. Marlen juga sadar bahwa tiga hari lalu dia berjalan dengan seorang perempuan yang berpakaian seronok. Kemudian mereka masuk dari pintu masjid seterusnya keluar melalui pintu cineplek.

Bahkan, sebulan lalu Marlen sempat pula berkencan dengan seorang penyanyi café di taman yang dikelilingi bunga Mawar hutan. Kencan itu sungguh berkesan di hatinya. Marlen sempat mengalungkan seuntai kalung mas Jawa ke leher jenjang milik penyanyi café itu. Sudah bisa dibayangkan, dia pun mengulum bibir penyanyi itu di bawah cahaya bulan sabit. Dia serasa terbang masuk surga.

Muka Marlen penuh keringat, sinar matahari yang sangat terik menyentuh wajah bloonnya. Pikiran berkecamuk, Marlen kehilangan kotanya, dia kehilangan layar-layar bioskop, dia kehilangan taman dengan bunga Mawar hutan, dia kehilangan musik rock yang selalu memompa semangat hidupnya, dia kehilangan baju Armani, dia kehilangan jeans Tsusardi, dia kehilangan internet, dia kehilangan novel, dia kehilangan partai, dia kehilangan ingatan jernih, dia kehilangan percaya diri, bahkan kini dia telah kehilangan sesuatu yang paling berharga, yakni penyanyi café sebagai belahan jiwa katanya.

“Mariye,” ucapnya lirih.

“Ya, aku di sini Bang,” sahut Mariye.

Marlen terkejut ketika menemukan seorang perempuan dengan tubuh yang tinggi dan sintal. Perempuan yang di lihatnya itu mengenakan gaun dari bahan sutra halus dan bewarna putih. Gaun perempuan berkebaran kena tiupan angin yang cukup kencang. Tubuhnya terlihat seksi, Marlen terpesona dan ada sesuatu yang bangun dari dalam dirinya. Perempuan di hadapannya tersenyum manis, denyut jantung Marlen mulai kacau. Marlen balas senyum, kedua mata mereka bertabrakan. Muncul Mawar-mawar hutan.

“Mariye,” kata Marlen membatin.

“Bukan. Aku Maria. Kamu siapa?”

“Aku Marlen, putra dari Tuan Kadi. Ya..ya, kamu memang bukan Mariye, maaf…maaf..Aku begitu terpengaruh oleh bunga Mawar hutan itu,” jelas Marlen dengan sikap hormat.

“Tapi, kami sama-sama perempuan dari keturunan Siti Hawa. Punya perasaan lembut laksana baju sutra yang kukenakan ini.”

“Kamu datang dari mana?” Maria diam.

“Sejak tadi aku tidak melihat satu manusia pun di sekitar ini, lalu tiba-tiba kamu muncul tanpa pamit, tanpa suara.” Maria masih diam. Marlen berharap Maria mau ngomong.

“Apakah kamu iblis?” Maria menggeleng.

“Peri?” Maria menggeleng.

“Jin?” Maria menggeleng.

“Hantu?” Maria menggeleng.

“Bukan, aku sepertimu juga, manusia.” Marlen diam.

“Memang kota ini sudah berbulan-bulan sepi.” Marlen diam.

“Semua penduduk mengungsi di balik bukit batu sebelah Timur. Aku sendiri baru saja turun dari bukit itu,” kata Maria penuh hormat. Wajah Marlen berubah jadi bloon.

“Bukit apa itu? Tanya Marlen penasaran.

“Golgota.”

“Golgota?”

“Ya.” Marlen tampak tidak percaya.

“Aku perempuan yang terluka parah oleh tikaman pedang-pedang kemurkaan. Karena aku telah menentang seorang yang menyebarkan penderitaan,” ucap Maria dengan perasaan sedih. Marlen diam, sesuatu di dalam dirinya ada yang bergerak.

Para manusia terus diburu-buru, termasuk kamu sendiri pada akhirnya. Itu sebabnya aku peringatkan untuk berhati-hati. Tengok rumah-rumah itu sudah berubah warna, itu karena daki para pendosa,” sambung Maria kemudian. Marlen mengalihkan pandangan. Dia melihat rumah-rumah kotak yang kemarin putih berubah jadi warna hitam.

Berderap langkah kaki kuda yang berlari, bersamaan itu wajah Maria kelihatan gusar dan cemas. Dia ketakutan. Di sisi lain Marlen tambah bingung sebelum sempat mencegah perempuan cantik itu lari terbirit-birit. Tiga orang penunggang kuda berbaju zirrah berhenti. Mereka meneliti muka Marlen kemudian selop yang dipakainya. “Siapakah kamu? Tampaknya kamu adalah orang asing di wilayah ini. Anda mata-mata?”

“Ah, eh, ah tidak. Saya hanya pengembara yang tersesat jalan,” jawab Marlen. Penunggang kuda saling berpandangan.

“Tuan-tuan siapa?” Marlen balik bertanya. Para penunggang tertawa serempak. Gerakan-gerakan mereka sangat kompak. Gerakan itu menandakan dari disiplin yang kuat dan terlatih. Wajah Marlen menggambarkan kemuakan atas sikap para penunggang kuda. Perut Marlen mual. Dia rasanya mau muntah.

“Anda mengidam?” Tanya seorang penunggang.

“Tidak. Saya hanya masuk angin.” Tiba-tiba Marlen terkentut.

“Saya kurang tidur,” sambung Marlen.

“Oooo.”

“Sekali lagi saya bertanya dengan rasa penuh hormat. Siapakah sesungguhnya tuan-tuan.” Tiga pengunggang kuda serentak mengacungkan pedang. Marlen tambah jadi tolol.

“Dasar kamu itu goblok. Tidakkah kamu lihat zirrah yang kami kenakan ini?” Marlen terhipnotis.

“Juga kuda Zanggi ini sebgai lambang kebesaran.”

“Baiklah. Jika kamu ingin tahu, iya kamilah ksatria raja Pontius Pilatus.”

“Iya, sambungan Maharaja Herodes.”

“Hah!” Marlen tegang. Dia membanding-bandingkan pakaiannya dengan pakaian tiga penunggang kuda. Ketiga penunggang kuda tampak bangga. Kuda-kuda mereka berdiri, kaki-kaki depannya menggapai-gapai ke udara, dan kemudian turun. Ketegangan Marlen menurun.

“Lalu saya ada di mana?”

Ada di wilayah kekuasaan maharaja, dan tuan melangar hukum wilayah ini tanpa izin dari petugas keamanan pintu gerbang kerajaan. Tuan kami dakwa melakukan gerakan bawah tanah, itu sebabnya kami mengira bahwa tuan adalah agen.” Marlen semakin bingung, mulutnya seakan terkunci rapat kini.

/2/

Marlen terpancang pada sebatang tiang. Dia menyaksikan orang-orang telah mati. Dia seorang lelaki perkasa yang masih hidup. Lelaki itu menyapanya. “Mereka mati tidak bersalah dan tidak berdosa,” kata lelaki itu memulai bicara. Marlen diam. Dia tak bisa menoleh ke arah orang yang menegurnya.

“Jangan takut dengan kematian. Kematian seperti ini begitu romantis.”

“Saya tak pernah takut mati. Karena Saya sudah melihat surga, ah sungguh menyenangkan di sana.”

“Di mana kamu lihat itu?” Lelaki di sebelahnya terkejut.

“Di layer-layar cineplek, dan pada acara-acara televise Amerrika, Jepang, Hongkong, Belanda, dan lain-lain. Lelaki di samping Marlen melongo.

“Lalu surga itu seperti apa?”

“Untuk sementara tak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan. Ibarat merasakan cinta. Terakhir saya merasakannya di taman bunga mawar hitam,” kata Marlen yang membuat kawannya itu mengangguk-anggukan kepala.

“Tapi mengapa kita harus mati di tiang ini? Apakah tidak lebih baik kita mati di depan regu tembak atau di kursi listrik, atau di kamar gas beracun, atau di suntik,” protes Marlen kepada lelaki di sampingnya.

“Itu ada pada pikiranmu sekian ribu tahun mendatang. Raja Pontius tidak berpikiran maju sepertimu saat ini. Bahkan, apa yang dia kerjakan sekarang ini dia juga tidak tahu sesungguhnya. Mari kita maafkan saja mereka yang bodoh karena kebutaannya.”

“Lalu mengapa kita dihukum?”

“Karena mereka tidak tahu apa yang sudah kita ketahui.”

“Lalu siapakah tuan?”

“Akulah orang yang dihianati mereka. Saatnya nanti kau akan tahu lebih jelas siapa aku. Itu pun jika aku sudah mendahuluimu.”

Kedua mata lelaki di samping Marlen terkatub. Angin menderu. Seekor burung merpati terbang melintas di depan mata Marlen. Kini hadir seorang perempuan di hadapan Marlen, perutnya buncit. Rambut dan gaunnya berkebaran. Angin padang pasir bertiup kencang. Perempuan mendekat dan bersimpuh di hadapan Marlen. Marlen terkesima. Perempuan itu adalah perempuan yang pernah diberikannya seuntai kalung emas Jawa.

Aneh. Dia lupa namanya. Mata perempuan itu basah. Perempuan itu menangis lagi dan suaranya parau. Perempuan menyanyikan sebuah lagu yang pernah didengar oleh Marlen di café. Marlen terharu. Langit mendung dan hujan turun. Mata Marlen basah.

“Maria,” tegur Marlen.

“Aku di sini sayang.”

“Maria mengapa engkau meninggalkan aku sendiri?”

“Aku Mariye, bukan Maria.”

“Ya. Kamu Mariyeku yang pernah membukakan pintu surga bagiku, yang pernah melahirkanku kembali dari kematian yang belum saatnya, yang pernah mengajariku main piano, dan yang mengajariku segala hal.”

“Maafkan. Aku telah menyiksamu, aku takut melepaskanmu. Raja akan murka. Kini aku membawa calon orokmu. Lihat perut ini. Dia adalah anakku, juga anakmu. Kini aku mau pergi ke puskesmas. Aku ingin nemui Dr. Jolo sepesial kandungan untuk cari tahu apakah anak kita laki atau perempuan. Maafkan aku.”

“Ah betapa nasib menentukan lain.” Mariye berdiri. Dia berbalik dan berjalan. Marlen memanggil-manggil, tubuhnya meronta. Suaranya ditelan deru angin.

“Mariye!” Mariye berjalan lurus tanpa menoleh.

“Jangan tinggalkan aku sendiri.” Marlen terus meronta. Gerakannya membuat tiang pancangan rubuh ke tanah. Hidung berdarah dan mengucur deras. Dia merasakan bau amis. Kini hidungnya membaui vodka.

Malam.

Tanpa bintang berkedip-berkedip. Hujan turun dengan deras. Marlen basah kuyub. Kedua matanya berkedip-kedip. Di matanya bunga Mawar hitam sedang mekar dalam siraman air hujan. Hatinya mekar.

24 November 2008

Kauharus Marah

/Anwar Putra Bayu/

Begitu? Kaumemarahi diri sendiri

karena jalan hidup yang tidak sehat

lalu bagaimana dengan pikiran

serta para perempuanmu?.

Perempuan itu suka padamu

tapi dia harus membutuhkan akal sehatnya berjalan

dan dia memerlukan perasaan

sebagai manusia. Bukan perempuan.

Perempuan seperti dia

memerlukanmu cuma untuk mencari kehangatan

di samping mendengarkanmu membaca novel

dengan suara keras

Baik, baik,

kauharus marah-marah pada dirimu sendiri

karena kau tak punya persediaan kata-kata

untuk kemarahanmu

kata-katamu untuk cinta, kemarahan, kasih sayang, rindu dendam,

habis kau buang dalam puisi-puisimu

sebagai manusia saatnya kaumulai marah

dan katakanlah: dasar cinta!

2008

17 Oktober 2008

Merayakan Eksotisme Cerpen ASEAN

Oleh: Anis K Al-Asyari.

MASIHKAH cerita pendek (cerpen) memadati ruang pembaca? Ruang mencipta bagi sejumlah cerpenis? Atau ruang yang memikat untuk semacam pengantar diskusi di keseharian kita? Tiga pertanyaan di atas sepertinya tak banyak muncul dalam program penulisan cerpen Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera) yang berlangsung tanggal 28 Juli-2 Agustus 2008 di Cisarua Bogor. Yang dominan justru mengenai proses penciptaan karya yang bermetamorfosa, mencari bentuk dan beradaptasi terhadap kebutuhan pembaca, industri buku, media dan kenakalan para cerpenis.

Benturan Budaya dan Kreativitas

Empat Negara anggota Mastera yang hadir antara lain; Brunai Darussalam, Malaysia, Indonesia dan Singapura membawa spirit melayu dengan kebudayaan berbeda seperti sebuah pertemuan yang tidak asing.

Peserta dari Indonesia sendiri diwakili Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta), Alimuddin (Aceh), Anton Bae (Palembang), Putu Budi EY (Bali) Saifun Salakim (Pontianak), Ragdi F. Daye (Padang), Anis K Al-Asyari (Makassar), Imam Muhtarom (Surabaya), Fina Sato (Bandung) dan Nadhira Khalid (NTB), sepuluh nama tersebut sebagian besar adalah “pengarang muda” (meminjam istilah Putu Wijaya) yang mulai menyemarakkan media lokal, nasional dan pentas buku-buku cerpen yang belakang sangat kompetitif. Dan sebagian besar adalah cerpenis yang telah memenangkan beberapa lomba seperti Wa Ode Wulan Ratna (Pemenang Cerpen terbaik CWI 2005), Imam Muhtarom yang masuk sepuluh besar cerpen terbaik nasional yang diselenggarakan Bali Post 2002, Putu Budi EY cerpennya masuk sepuluh besar cerpen terbaik Indonesia versi Mendiknas 2007 dan beberapa pengarang lainnya yang telah memadati ruang media raksasa seperti kompas, media Indonesia, Horisin dan sebagainya. Ke sepuluh nama pengarang muda dari Indonesia tersebut juga telah menerbitkan sejumlah buku baik kumpulan cerpen, novel maupun puisi.

Wakil dari Malaysia antara lain Nazmi Yaakub adalah seorang cerpenis yang sekaligus sebagai jurnalis sebuah media sastra (Berita Harian Sdn Bhd) di Malaysia, penulis peranakan Tionghoa Tung Wai Chee, Ibnu Ahmad Al-Kurauwi yang telah menerima anugerah penulis terbaik, maupun Noorainie Othman yang dikenal sebagai novelis remaja. Brunei Darussalam mengutus empat pengarang muda; Azmi, Munshi, Efe dan Ima—nama-nama tersebut belakangan memadati tradisi penciptaan cerpen di Brunai. Sementara Singapura diwakili Ishak Latiff (cerpenis terbaik Singapura 2007), Roslie Sidik (karyanya masuk dalam Kota Tanpa Karya bersama pengarang se-ASEAN lainnya).

Selama bengkel penulisan berlangsung ruang diskusi lebih bersifat diskusi lepas dimana pengarang akan saling membaca karya dan melacak kelebihan dan kekurangan masing-masing karya. Peserta yang dibagi ke dalam tiga kelompok akan didampingi oleh para pembimbing seperti; Budi Darma (Novelis dan Kritikus), Oka Rosmini (Cerpenis dan Novelis), Helvy Tiana Rosa (Cerpenis) dan Joni Ariadinata (cerpenis) mewakili pengarang Indonesia. Pembimbing lainnya seperti pengarang produktif Encik Malim Ghazali (Malaysia), Zefrri Arief (Brunei) dan Langkah Seribu (Singapura) juga menjadi pembanding di setiap diskusi yang kritis dan terbuka.

Persoalan proses penggarapan cerita rupanya masih menjadi topik diskusi yang begitu berat dilepaskan. Kadangkala ditemukan sebuah karya yang penyajiannya sederhana tapi lebih mementingkan pesan yang ingin disampaikan. Ada pula sejumlah karya yang sebaliknya, penyajian yang mempesona tapi tidak jelas isi cerita. Kritikus Budi Darma pada akhirnya memetakan tiga karakter cerpen dari semua peserta antara lain: cerpen lokal, cerpen konvensional dan cerpen eksperimentatif. Ketiga varian tersebut sekaligus menandai adanya kehendak dari masing-masing pengarang untuk tidak sekedar mengarang atau mencipta tetapi juga bergerak jauh ke arah yang lebih menantang, fantastis dan melampauhi batas-batas imajinasi maupun bentuk penciptaan yang ada.

Isu lokal sangat kental terlihat dalam beberapa karya pengarang seperti Wa Ode Wulan Ratna lewat cerpennya Batavus yang mencoba kembali ke masa Jakarta 1950-an, Alimuddin dengan safrida Assakariyah yang membawa karakter perempuan Aceh ditengah perang dan konflik berkepanjangan. Alimuddin memunculkan karakter perempuan Aceh yang tegar, berani, sebuah manifestasi kehidupan perempuan yang dihantui kekerasan dan pelecehan seksual serta bayang-bayang kematian. Anton Bae dengan Bongen seolah-olah memperkenalkan kita pada legenda dan kekhasan sungai musi dan sejumlah sungai lainnya di Palembang yang penuh nilai histori. Anton menggali ornamen-ornamen lokal dengan menemukan persoalan sosial seperti kemiskinan yang muncul di ruang-ruang terpencil serta bagaimana spiritualitas masyarakatnya justru sangat kental dengan mentalitas yang kokoh.

Putu Budi EY menulis Bambu di Tebe sangat kental dengan warna lokal tidak saja pada tema cerita tetapi juga pada peletakan bahasa-bahasa lokal yang menyatu dalam struktur teks yang mengalir. Putu tidak saja menjelaskan dirinya sebagai orang Bali asli yang memahami perubahan-perubahan sosioligis yang ada tetapi juga seorang Bali yang gelisah menghadapi gempuran global yang sedemikian pesat. Bambu di Tebe jelas sebuah cerpen yang mengeksplorasi bagaimana mistisisme yang kental beratus-ratus tahun lamanya di Bali tumbang akibat teknologi dan benturan budaya yang masuk di sana. Kisah seorang anak gadis yang meminta ayahnya menebang bambu di belakang rumahnya (tebe) jelas mewakili adanya regenerasi di ruang lokal yang perlahan menghindar dari ruang lokal seperti kasus menanam bambu di belakang rumah yang kemudian hilang ditengah ruang kota yang mendesak.

Begitu pula dengan cerpen Fina Sato berjudul Lawalata yang mengeksplorasi ruang lokal suku Dayak. Cerpen bertemakan lokal tersebut seperti membawa kita pada sebuah keinginan untuk kembali memandang pada sesuatu yang dekat dengan diri. Kebudayaan dalam arti bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi bermetamorfosa cepat ditengah desakan zaman untuk berubah. Tema lokal ini sebenarnya sudah berkembang lima tahun terakhir ini seperti munculnya Oka Rosmini (Tarian Bumi) dan kecenderungan tematik pada kompetisi cerpen yang ada di Indonesia.

Isu lokal mungkin saja mewakili gejala sosial masyarakat yang mulai jenuh dan gelisah terhadap arus global yang menjauh dari nilai-nilai yang pernah ada. Kota yang penuh hirup-pikuk kendaraan dan gedung-gedung bertingkat men-suplai global warming, kriminalitas bahkan korupsi. Kepekaan sosial mulai hilang dan digantikan dengan perilaku individualistik dan serba instan. Dalam situasi tersebut, belakangan ini orang-orang kota sangat banyak yang merindukan desa, merindukan masa lalu dan mendambakan nilai. Cerpen bertema lokal bisa jadi semacam obat bagi mereka yang benar-benar merasa kehilangan spiritualitas nilai dan sejarah.

Penggunaan bahasa lokal dan setting lokal cenderung memaksa pembaca untuk lebih dulu mengenal sejarah dan sosiologis masyarakat. Hal ini tentu saja membebani pembaca yang sama sekali tidak mengenal ruang lokal yang ada dalam cerita. Oka Rosmini sendiri menyadari bahwa persoalan utama yang dihadapi dalam penggarapan isu lokal adalah penggunaan istilah lokal yang mesti dijelaskan melalui catatan kaki. Sesuatu yang tetap saja mengganggu pembaca untuk mengingat sejumlah kata-kata atau istilah bergaris miring. Oka Rosmini menyarankan agar pengarang mendeskripsikan setiap istilah lokal agar tidak menyulitkan pembaca. Cara ini memang bisa efektif dan memudahkan tapi jika istilah lokal dalam jumlah yang sangat banyak, beberapa pengarang berpendapat bahwa hal tersebut justru akan mengganggu penyajian cerita.

Apa pun cara yang dipilih pengarang untuk menghidupkan ruang lokal yang jelas tendensinya adalah menghidupkan wacana lokal sebagai perbandingan budaya akan sangat berharga bagi masa depan per-cerpenan dunia. Pembaca akan menemukan semacam telaah kritis yang lebih blak-blakan tentang diskrimininasi, kemelut sosial maupun sejarah dan nilai pada ruang-ruang lokal dalam cerita yang selama ini tersub-ordinasi.

Entah sampai kapan tema lokal ini bertahan ditengah isu-isu urban maupun tema seksualitas dan kekerasan justru berkembang pesat tanpa mengenal lokal maupun non-lokal. Atau jangan-jangan isu lokal dalam cerpen tersebut mewakili teriakan lokal yang tak berdaya oleh gempuran global dan sebentar lagi tutup usia dan merayakan kekalahan.

Pada sejumlah sesi dalam diskusi yang menghadirkan pengarang dengan latar belakang budaya yang berbeda justru tidak banyak mempersoalkan hal tersebut di atas. Ada kecenderungan kebanyakan pengarang menggarap isu lokal karena ketagihan bermain-main mesra dengan warna lokal yang unik itu. Semoga saja hal tersebut tidak menjamur dan mewarnai isu lokal pada cerpen yang ada. Tetapi sekali lagi membawa aroma lokal pada upaya menghidupkan makna, membuka kesadaran kritis dan tentu saja meluruskan distorsi sejarah yang mungkin ada.

Dari konvensional hingga eksperimen fiksi

Yang tak kalah menariknya adalah masih bertahannya cerpen berbau konvensional baik dalam struktur teksnya msupun pola-pola penyajian permasalahan di dalamnya. Nasi Ambeng karya Ishak Latiff (Sinagapura) memainkan struktur yang sangat formal khas cerpen yang sering kita jumpai sejak lama. Persis sama dengan Sebebas Merpati Putih (Saifun Salakim) yang dari judulnya saja begitu konvensional, teks-teks dalam cerpen ini kelihatan sangat menghindar dari narasi-narasi yang berat dan metafora.
Ragdi F Daye melalui Pemburu Babi memainkan narasi secara terencana antara pembuka cerita, awal konflik dan ending cerita sebagai konflik. Gaya penceritaan semacam ini juga terlihat pada Tanah Sunyi Wangi Kamboja karya Ibnu Ahmad Al-Kurawi, cerpen tersebut menggunakan alur yang sangat datar. Tidak saja dengan penyahian yang demikian ringan tapi penempatan konflik yang sangat konvensional sebagaimana film-film klasik. Karya lain semacam itu adalah Matahari karya Noraini Osman atau Nadhira Khalid dengan Sebuah Ruang Kosong.

Karya-karya konvensional tersebut umumnya memenuhi standar cerpen media popular maupun standar umum cerpen yang ada. Menariknya adalah ketika karya-karya tersebut mencoba mengetengahkan pesan-pesan secara tersurat sebagai kata kunci dari apa yang hendak disampaikan pengarang. Konflik yang sederhana mewarnai cerpen yang digarap secara konvensional—konflik amat tidak menonjol, sesuatu yang mewakili karakter budaya ketimuran seperti istilah Budi Darma.

Hal lain yang patut direnungkan adalah masih bertahannya gaya konvensional ditengah desakan penciptaan yang serba baru. Barangkali bukan persoalan bahwa kebanyakan pengarang tersebut terbatas pada pengalaman menulis demikian, tetapi dengan gaya itu mereka bisa lebih menemukan karya yang khas. Dan terutama kemudahan dalam mengolah imajinasi dan realitas sebagai fakta yang unik dalam teks.

Cerpen konvensional akan tetap mendapat tempat yang monumental sebab pada saat yang sama cerpen eksperimental begitu pesat dan seperti bergerak bebas tanpa batas. Hal itu sangat menonjol pada program penulisan Mastera 2008.

Apa batasan cerpen eksperimental itu? Setidaknya bisa kita lihat dalam hal penyajian dan bagaimana pengarang tersebut memainkan gagasan. Penyajian cerita secara eksperimental sudah pasti melanggar kebiasan-kebiasaan penceritaan dan kadang-kadang mengagetkan pembaca. Banyak kritikus memberi penilaian khusus terhadap cerpen eksperimen sebagai bagian dari kemajuan proses kreatif. Walaupun dalam beberapa sesi diskusi Mastera, Budi Darma kadangkala menyadari beberapa persoalan yang ada baik pada kebablasan yang terjadi pada penyajian maupun realitas-realitas aneh yang kadang muncul tanpa kausalitas yang kokoh.

Beberapa karya yang eksperimentatif pada Mastera 2008 antara lain; Ruslie Sidik Gerimis Duka di Kota Chennai yang memainkan teks-teks yang terpisah satu sama lain. Walaupun sebenarnya berangkat dari kisah cinta sederhana namun penggarapannya sangat berani dan mengebiri struktur alur cerita sebagaimana biasanya. Sementara Munshi lewat Aku seperti menghindari pola-pola formal penggunaan tokoh, Munshi lebih senang memainkan tokoh aku secara spesifik dan bebas tanpa mementingkan peran tokoh yang lain. Cerpen Aku pada akhirnya terlihat seperti bangunan esai yang penuh dengan pesan-pesan secara verbal. Dalam konteks cerpen sebagai karya fiksi, cerpen Munshi tersebut seolah mendobrak keterkungkungan pengarang terhadap pola-pola yang biasa. Lalu menawarkan semacam strategi unik, sekalipun kadang-kadang membingungkan bagi pembaca.

Begitupula dengan Pencuri Hidung karya Anis K Al-Asyari seolah mengembangkan narasi tanpa dialog sehingga pembaca diajak untuk menentukan dialog-dialog cerita pada narasi yang pasif. Ide cerita pada Pencuri Hidung seperti ditemukan begitu saja tanpa konsep awal, ceritanya mengalir dengan bebas lalu kadangkala memusingkan pembaca karena banyak sesi penceritaan yang kadang muncul tanpa pengantar yang spesifik.

Berbeda halnya dengan Imam Muhtarom yang menulis Anak Haram, karyanya seperti bukan karya Imam yang pada cerpen-cerpennya sebelumnya sangat progresif dan penuh metafora dan pergulatan tokoh. Seperti halnya Munshi, Imam juga larut dalam permainan yang otonom seorang tokoh aku yang bergerak bebas tanpa jelas kepada siapa ia bertemu dan bercerita. Anak Haram pun mirip esai yang didalamnya persitiwa tidak berlangsung secara berunut tapi lebih mengutamakan ideology pengarang secara blak-blakan.

Baik narasi eksperimentatif, konvensional maupun yang berbau lokal, cerpen-cerpen para pengarang muda ASEAN menunjukkan adanya pencarian bentuk terus-menerus tanpa melupakan pesan-pesan ideologis yang kental dengan budaya masing-masing. Semua itu menunjukkan adanya perkembangan yang pesat dalam dunia kepenulisan mutakhir di Asia Tenggara terutama cerpen. Kini, pengarang muda tersebut kemudian menyadari betapa pentingnya penciptaan karya berkualitas untuk memadati ruang-ruang sastra yang kompetitif hingga di media massa.

Itulah masa-masa yang paling eksotis per-cerpenan mutakhir yang sepertinya menandai kemungkinan posotif bangkitnya semangat untuk saling berbagi lewat sastra. Dan yang lebih penting adalah memajukan proses penciptaan bersamaan dengan pesatnya minat membaca masyarakat yang semakin hari semakin pening akibat derasnya gelombang teknologi dan kompleksitas persoalan--itulah eksotisme percerpenan yang sesungghnya.

Anis K Al-Asyari, Cerpenis, Delegasi Indonesia pada Program Penulisan Cerpen MASTERA 2008

06 Oktober 2008

Cara Eko Putra Bersastra dan Beberapa Catatan Puisinya.

Jika kita membuka sebuah situs http://eko-putra.blogspot.com, maka kita akan mendapatkan puisi-puisi yang ditulis seorang remaja bernama Eko Putra yang tinggal di kota Sekayu, Musibanyuasin. Kota tempat dia menetap merupakan kota yang miskin dari aktivitas atau denyut kehidupan sastra.

Menurut sepengetahuan saya, di kota Sekayu satu-satunya kegiatan sastra yang pernah ada hanyalah Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) di tahun 2004 di masa Alex Noerdin menjadi bupati. Namun jauh sebelumnya sulit sekali menemukan aktivitas sastra.

Di kota itu, meskipun sudah terbilang maju dibanding sebelum kepemimpinan Alex Noerdin sangat sulit menemukan toko buku yang isinya terdapat buku-buku sastra, seperti novel, kumpulan cerpen, dan kumpulan puisi. Dan jangan berharap kita akan mendapatkan kantong-kantong sastra atau diskusi-diskusi mengenai sastra.

Suasana itulah yang dialami oleh Eko Putra yang menetap di kota Sekayu sejak dia SMP. Apalagi jauh sebelumnya dia hidup di desa. Suasana desa-desa yang ada di Musi Banyuasin tak luput menjadi perhatiannya belakangan ini sebagai sebuah kenangan baginya karena banyaknya perubahan, sebagaimana yang dia tulis pada puisi di bawah ini.

Muara Tirau

dari bebatangan pohon
kapal-kapal berlabuh penuh semangat
inilah zaman telah menjadi sebuah kota

tragedi cinta kami
yang patut dikenang melalui lampu-lampu
di setiap malam yang bercakap
mungkin mereka si para penjaga
di muka-muka sebelum fajar

dan siapa ini sebuah kota
telah merubah suasana kami
pada cuaca
yang berlalu antara kapal-kapal yang berlabuh

2008

Muara Tirau, sebelumnya merupakan tempat di mana kapal-kapal pengangkut barang dari sungai Batanghari Leko, ke Sekayu, dari kota Sekayu hanya berjarak sekitar tiga kilo meter. Sekarang ini namanya Desa Bandar Jaya sejak berlakunya undang-undang pedesaan.

Masih beruntung bagi Eko Putra, meski kota Sekayu tidak selamanya menjadi “mimpi buruk” bagi kehidupan bersastranya, ternyata kota itu memiliki akses internet. Dari sinilah dia membangun “dunia sunyinya” menuju ke dunia maya. Dari dunia maya inilah Eko Putra bergaul secara tekstual dengan sejumlah penyair seperti Sunlie Thomas Alexander, Jamal D. Rahman, Iyut Fitra, Romzi Kembara, Isbedy Stiawan, dan lain-lain. Melalui dunia maya Eko Putra memposting dan mepublikasikan puisi-puisinya yang sudah cukup banyak pada weblognya. Begitulah cara Eko Putra bersastra.

Dalam usianya yang masih remaja, Eko Putra (16 thn) memiliki potensi serta bakat yang cukup bagus dalam menulis. Cermati saja puisi-puisi yang terdapat pada blognya. Saya menilai bahwa sebagai remaja dia telah memiliki bahasa yang tidak dipunyai seperti kebanyakan remaja lainnya dalam menulis puisi (baca: puisi remaja). Pengolahan kata-kata serta pemilihan kata mengalir begitu saja dan cukup mengesankan. Tentunya ini amat penting bagi seorang penyair, sebagaiman yang pernah diungkapkan oleh Sapardi Djoko Damono bahwa “kata” adalah segalanya bagi seorang penyair. Puisi “Secangkir Kopi untuk Ayah” misalnya merupakan dunia keseharian yang dilalui Eko Putra di rumah adalah gambaran bahwa Eko Putra secara teknis sudah menguasai bagaimana memilih kata serta mengolah kata dengan baik sebagaimana puisi tersebut di bawah ini.

Secangkir Kopi untuk Ayah

ayah, tak ada sesiapa
yang menjadikan secangkir kopi ini
mengepul, adalah sisa nafasku
untuk kau hirup dalam kenangan

lalu udaranya, mengental
menjadi butiran candu
dan sedikit kuhidang di soremu

sebagaimana kau aliri
kedalam sum-sum
merasuk dan segalanya kental

2008

Bahkan sebut saja puisi Muara Tirau sebelumnya, dalam memilih judul puisi saja Eko Putra lebih pas memilih Muara Tirau ketimbang judul Bandar Jaya misalnya. Selain ada makna histori, Muara Tirau memiliki efek bunyi yang enak. Puisi-puisi yang ditampilkan Eko Putra di blognya sangat beragam temanya seperi cinta, kernduan, kebahagiaan, protes sosial, dan lain-lain. Demikian pula akan kita temukan juga beragam diksi, tipografi, metafora, dan pengucapan yang mewarnai puisi-puisinya. Sebagai perbandingan dapat kita cermati puisi berikut.

Zamanan dan Televisi

zaman telah menjadi gambar televisi, dan waktunya adalah lampu-lampu neon dengan ketegangan suara-suara, lagu kenangan empat sore. aku memakai perubahan pada bulan koran, lalu bermain playstation, dan akhirnya sebuah pesawat menderu-deru di atap kota, sehabis menulis puisi. maka hari ini, orang bilang umbul-umbul bagai selembar uang kertas, di situ ada foto keluarga tersenyum manis dengan kenangan, empat bulan kedua puluh, berkibar dari televisi, ku menjadi dua rim kertas, dan puisi, tempat duduk-duduk nikmati secangkir kopi, melamar kau untukku dari zaman dan televisi.

2008

Kehadiran Eko Putra, dalam dunia cipta puisi dapat kita ibaratkan sebutir bibit padi yang bagus, tapi memiliki sawah yang kering kerontang. Lantas petaninya seperti apa? Terlepas dari itu, paling tidak kehadiran Eko Putra dalam dunia cipta puisi patut kita syukuri. Secara positif Eko Putra merupakan aset sastra Sumatera Selatan setelah Pinasti Zuchri, Anton Bae, dan lain-lain.

Di sisi lain kehadiran Eko Putra tentu akan menambah barisan penyair di Sumatera Selatan, apalagi dia masih muda dan punya rentang waktu yang panjang dalam berproses. Mudah-mudahan. /anwarputrabayu/

05 September 2008

Pesan Terkirim, Ungkapan Birahi Sang Nyonya Lirik?

Anto Narasoma

MAUT
dan kematian, bagi banyak orang merupakan peristiwa seram dan menakutkan. Terutama bagi mereka yang tak siap menghadapi hal tersebut, tentu akan sangat takut mengalaminya. Padahal, bagi orang hidup, kematian adalah peristiwa pasti yang akan melanda siapa pun. Tidak ada makhluk hidup yang tidak mati pada akhir riwayat mereka.
Tapi bagi penyair, keseraman kata maut atau ungkapan kematian, secara konotatif merupakan pintu masuk yang sangat indah bagi perpindahan ‘’ruang hidup’’ hamba Tuhan. Benarkah demikian? Coba kita telusuri maknanya melalui pendekatan teks, maka penjelasannya akan menyiratkan kepada kita kecenderungannya memang seperti itu.
Proses sakaratul maut (menjelang kematian) seperti yang dituturkan di atas, digambarkan penyair Anwar Putra Bayu dalam puisinya bertajuk, Pesan Terkirim. Tapi penggambaran itu tidak seseram seperti perasaan seseorang yang tak siap menghadapi kematian. Justru, penggambaran sakaratulmaut dalam puisi itu dikemas dalam bahasa puitis yang kaya jebakan persepsi. Bahkan kehadiran sang nyonya lirik dalam puisi itu tergambar begitu bergairah menumpahkan birahinya.
Meski gambaran puisi itu menyiratkan tentang gairah kemesraan seorang nyonya, tapi untuk memahami isi puisi tak segampang ketika kita membaca karya fiksi seperti cerpen, cerber, atau novel. Banyak karya fiksi seperti cerpen, misalnya, format penyajiannya selalu menggambarkan peristiwa secara bertutur, sehingga pembaca akan langsung dapat menangkap maksud pengambaran cerita yang disajikan penulis.
Bahkan, si pembaca terkadang bisa langsung mencerna isi cerpen kendati ia belum menuntaskan bacaannya. Tapi untuk mengerti maksud pada larik-larik (kalimat) puisi, seseorang perlu membedah atau melakukan pendekatan empirik untuk memahami pikiran penyairnya. Lantas, bagaimana orang bisa menerobos masuk ke makna dunia puitika?
Guru besar Rijks-Universiteit Utrecht, Dr TH Fischer mengatakan, masuk ke dalam rumusan budaya pikir seseorang atau masyarakat, perlu mengenal kehidupan mereka sehari-hari. Dengan begitu akan dapat diketahui rumusan pola pikirnya mengenai perkembangan sesuatu hal yang ia tulis (halaman 10 buku.. Enleiding Tot De Culturele Anthropologie Van Indonesie terbitan PT Pembangunan 1953).
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, budaya puisi (baca: pantun) selalu terkait dalam kehidupan sehari-hari mereka. Maka itu andai-andai (bahasa perumpamaan) yang digunakan selalu tercermin dalam berbagai pola idiom. Karenanya, kekayaan puisi modern terhadap idiom yang disajikan lewat kata-kata pilihan (diksi), selalu menggambarkan kekayaan pola pikir sang penyair. Sebab, ia mampu meneropong beragam persoalan melalui kiasan alam, wujud Tuhan lirik, serta kepribadian sang penyair yang lebur sebagai aku lirik.
Tentu saja, idiom dan diksi tidak mungkin akan tergambar jika ide yang muncul dalam gagasan seorang penyair tidak ia kelola dengan pengalaman batin yang mengendap sebagai residu yang kental. Jika tidak demikian, akan terjadi kekaburan makna (misinterpretasi). Kekaburan makna ini tidak mampu mengangkat kekuatan karyanya untuk dijadikan pokok bahasan, karena ketidakjujuran sikapnya sendiri.
Seorang penyair seperti Anwar Putra Bayu (APB) yang sudah saya kenal sejak sama-sama berkecimpung dalam dunia sastra pada awal 1980-an, seringkali memiliki ide-ide nakal yang dinamis. Karenanya, sejumlah karyanya kerapkali menggelitik minat untuk dipahami sebagai karya yang perlu dianalisis.
Dalam puisinya berjudul Pesan Terkirim yang direlease tahun 2005, penyampaiannya mengacu ke soal pengiriman SMS pada seseorang dalam lirik. Tapi dari lirik-liriknya yang nakal membuat puisi itu menjadi menarik, karena ada rasa dan ‘’rangsangan’’ gagasan.
Dalam konteks itu pula kritikus sastra Indonesia, Maman S. Mahayana, mengatakan keelokan puisi APB tergambar dari kebinalan ide dan keberaniannya mematok diksi aneh, sehingga menarik untuk dianalisis dan dibaca.
Padahal idenya sangat sederhana. Seperti puisi Pesan Terkirim, misalnya. Tapi karena APB cukup berpengalaman mengolah ide menjadi karya yang nakal, maka sejumlah puisinya menjadi sangat kuat dan seringkali menjadi pokok bahasan di berbagai media massa dan perguruan tinggi,’’ kata Maman.
Apa yang melatarbelakangi seorang APB menulis puisi Pesan Terkirim? Bentuk apapun ide yang muncul, maka itulah bahan yang harus digarap sekuatnya, sesuai dengan tahap kemampuan dan pengalaman sang penyair.
Andaikan saya mencoba mengupas puisi Pesan Terkirim menurut analisis yang terbatas dan sesuai dengan sudut pandang saya sendiri, itulah maksud tujuan sang penyair. Lantas, apakah hasil analisis saya tentang puisi Pesan Terkirim itu sesuai makna yang tepat?
Kritikus sastra, HB Yassin (alm) sendiri tidak berani mengatakan bahwa analisanya terhadap sebuah karya puisi merupakan analisis yang tepat. Sebab, kandungan interpretatif dalam wilayah jangkau puisi memiliki areal pemahaman yang sangat luas. Meski demikian, kedalaman dunia interpretasi pada sastra puisi, tersedia sebuah ruang bagi pembedah untuk memberikan nilai pemaknaan (apresiasi) sesuai sudut pandang yang ia kuasai.
Ada hal menarik yang perlu dicermati pada kandungan majas puisi Pesan Terkirim. Pada bait pertama terdapat empat larik, Sesenja ini kau tiba di depan pintu, nyonya/ seraya menggincu bibir kau pun berkata:/ Aku telah datang/ siapkah kita terbang sayang? Sepintas kita disuguhi penafsiran tentang kegenitan seorang wanita yang datang kepada.. (aku lirik).
Kemudian kegenitan dan kebinalan itu berlanjut pada bait kedua, Kau jilati tubuhku setelah merayu/ lalu kau raba serta mencium ubun-ubun./ Nyonya sabarlah/ Aku ingin kirim pesan ke Sana, sebentar. Pada bait kedua ini keberanian sang nyonya lirik menumpahkan segenap rasa birahinya kepada sang aku lirik benar-benar mengikat persepsi para penikmat puisi. Terutama pada larik pertama dan dua (bait kedua), gambaran yang disajikan benar-benar aduhai.
Dapat dibayangkan, ketika larik-larik itu menjelaskan ekspresi birahi sang nyonya lirik (Kau jilati tubuhku setelah merayu/lalu kau raba serta mencium ubun-ubun). Pada larik ketiga (bait kedua), aku lirik mencoba meredakan rangsangan birahi sang nyonya lirik, Nyonya sabarlah. Justru larik keempat, aku lirik menjebak persepsi kita dengan kalimat, Aku ingin kirim pesan ke Sana, sebentar.
Dalam bait empat, APB meningkatkan persepsi yang kian menanjak, misalnya, Lewat udara bergelombang/ Sejak kau datang/ Telah membaui kamar ini dengan merangsang. Wah, dia (APB) begitu pandai menggiring persepsi kita pada jebakan interpretatif kebirahian. Memasuki bait lima (tiga larik), persepsi birahi jadi pecah. Coba kita simak, Kau menghisap/ledakan nafas terhenti/tak ada ampunan di sekeliling. Apakah di bait ini ada puncak persetubuhan persepsi yang begitu binal? Pertanyaan itu kian tak terjawab setelah bait enam (tiga larik) menutup kelengkapan puisi Pesan Terkirim,.. Telepon genggam masuk di kepala merusak jaringan/sinyal berbunyi: Pesan terkirim.
Benarkah puisi Pesan Terkirim ini bertutur tentang kebinalan seorang nyonya (lirik) yang selalu mengumbar birahinya? Bisa jadi ini sebuah jebakan. Jebakan-jebakan persepsi secara interpretatif di dalam ruang puisi ini menarik kita untuk menerobos masuk ke lorong persepsi.
Maka itu, untuk mencari pintu masuk ke ruang interpretatif sebuah puisi, kita perlu membaca keseluruhan majas puisi tersebut. Dengan begitu, secara semiotik, kita dapat melakukan pendekatan terhadap kata per kata yang dipapar dalam larik-larik puitika.
Saya menangkap, ketika seorang APB mulai merelease Pesan Terkirim, maksud sesungguhnya bukan menuturkan ’’kebinalan birahi’’ sang nyonya lirik. Pengaburan persepsi ini merupakan jebakan puitika yang paling banyak dilakukan penyair. Kekayaan konotasi dalam ide dan gagasan karya seperti itu merupakan kreatifitas yang dinamis dari sang penyair ketika mengungkapkan keutuhan bentuk dan isi puisinya. Maka itu corak karya APB ini (Pesan Terkirim) perlu disimak secara hati-hati.
Pesan Terkirim, setidaknya mengingatkan kita kepada konteks person tertulis melalui telepon genggam. Entah, hanya sang penyair sendiri yang tahu persis ketika ia mengembangkan idenya dari telepon genggam. Tapi saya yakin maksudnya bukan itu. Jika kita telusuri pada lorong-lorong makna melalui pendekatan teks, gambaran estetik yang terang-terang buram dalam puisi Pesan Terkirim, menyirat tentang sebuah peristiwa sakarultmaut (kehadiran malaikat pencabut nyawa) pada diri sang aku lirik.
’’Kengerian’’ peristiwa itu dijelaskan pada bait ketiga dan keempat,...Lewat udara bergelombang/Sejak kau datang/Telah membaui kamar ini dengan merangsang. Kemudian berlanjut pada tiga larik di bait keempat.. Kau menghisap/ledakan nafas terhenti/tak ada ampunan di sekeliling. Pada bait selanjutnya dari puisi Pesan Terkirim itu makin memperjelas peristiwa tersebut.
Coba kita simak, ..Ledakan napas terhenti (larik kedua bait empat) menjelaskan tentang kematian sebenarnya. Tiga larik di bait terakhir, keperkasaan malaikat maut (ajal) begitu berkuasa. Bagaimana keperkasaannya merusak segala metabolisme hidup aku lirik yang mampu mencabut nyawa setelah seluruh jaringan tidak berfungsi..sinyal berbunyi: Pesan terkirim..(nyawa lepas dari jasad)
Begitu bergetarnya pengalaman religusitas yang mengerikan aku lirik ketika menghadapi sakaratulmaut memenuhi panggilan Tuhannya dalam arasy sanubari yang dekat tapi terasa jauh, jauh namun teramat dekat (..jika ada yang bertanya tentang Aku, katakan (ya Muhammad), Aku tidak jauh dari urat lehermu...:Wa nahnu aqrabu ilaika min hablil warid, QS Qaf Ayat 16).

Sumber: www.sumeks.co.id

03 September 2008

Wiranata Prahara Ilahi

Mengaku Belajar Puisi dari Anwar Putra Bayu

Wiranata Prahara Ilahi, siswa kelas dua Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 8 Palembang, berperawakan kecil saja. Tapi dia sukses meraih juara pertama Lomba Cipta Puisi Anak-Anak Tahun 2008 tingkat nasional, yang berlangsung di Istana Kepresidenan Cipanas, Jawa Barat, Minggu, 24 Agustus 2008. Ketika Putu Wijaya sebagai ketua dewan juri menyebut namanya, Wiranata langsung berdiri dari duduknya dan berlari kecil kedepan panggung. Nampak jelas kegembiraan diraut wajah dan tingkahnya. Tingkah seorang anak yang beranjak dewasa.

“ Saya tak menyangka bisa meraih juara ini. Apalagi tiba dari Palembang hari Sabtu, langsung bertanding hari Minggu. Badan masih lelah, pegal-pegal. Tapi karena membawa nama daerah, saya semangat lagi,” kata Wiranata.

Semangat itu akhirnya memang membawa hasil. Setelah bersaing dengan puluhan siswa dari 33 propinsi, Wiranata akhirnya bisa meraih juara pertama. "Ssaya sangat senang. Apalagi langsung bertemu Presiden SBY dan Ibu Ani serta diberi hadiah dan tabungan pendidikan. Syukur Allhamdulillah,” ujar putra pasangan Syamsuddin dan Henny Wastin ini.

Pusinya yang meraih juara berjudul Garudaku Terbang ke Awan, adalah karya puisi terbaik berdasarkan penilaian tim juri yang sangat orisinil. ”Saya menulis puisi ini karena kondisi Indonesia yang hutannya habis ditebangi orang tak bertanggung jawab,” tambahnya, yang mengaku belajar puisi dari Anwar Putra Bayu, penyair senior di Sumatera Selatan.

Berbagai prestasi telah diraih Wiranata dalam lomba cipta puisi, sebelum berlomba di Cipanas. Puisinya yang berjudul Bunga Itupun Menjerit meraih juara pertama pada Festival Seni Siswa Tingkat Nasional di Palembang. ”Sejak sekolah dasar saya mulai senang buat puisi. Saat ini ada sekitar 38 puisi yang telah saya tulis, sebagian telah dimuat di koran daerah,” ujar Wiranata.

Lomba Lukis dan Cipta Puisi Anak-Anak Tingkat Nasional dilaksanakan pertama kali tahun 2006, adalah ide dari Presiden SBY untuk mewujudkan tiga pilar yang diperlukan dalam kehidupan manusia, yaitu logika, etika dan estetika.

Untuk para pemenang, panitia menyediakan piala dan piagam dari Presiden SBY, ditambah tabungan. Juara pertama mendapat Rp. 10 juta, juara dua Rp. 8 juta, dan juara tiga Rp. 7 Juta. Sementara tiga juara harapan masing-masing mendapat tabungan Rp. 6 juta, Rp. 5 juta dan Rp. 4 juta.

Para juuri terdiri dari para seniman yang sudah tidak asing lagi, antara lain Putu Wijaya, Sapardi Djoko Damono, Sujiwo Tedjo, Taufik Ismail, Sony Farid, Gilang Cempaka, Setiawan Sabana, Ayuningsih, Watie Maerany dan Heyi Ma’mun. (win)

Sumber:http://www.presidensby.info

11 Agustus 2008

Kecendrungan Dunia Penulisan Dewasa Ini

Hamsad Rangkuti/

Karya sastra, seni pada umumnya, adalah dunia angan-angan yang kreatif, hasil dari kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru, yang di dalamnya diperlukan fantasi. Kekuatan sastra bukan karena memapar realitas dengan tepat tetapi menggambarkan dunia yang tidak nyata begitu rupa hingga kelihatan seperti nyata. Sastra merupakan sebuah cermin masyarakat.

Kalau kita amati tema garapan para penulis dewasa ini terasa kreativitas yang disuguhkan menjelajah tokoh-tokoh yang muncul dengan permasalahan yang beragam di kota-kota besar cukup bervariasi. Karya-karya yang digarap, terutama prosa menyuguhkan penggambaran fisik dan sifat tokoh yang tinggal di kota-kota besar. Perkembangan watak tokoh dan alasan/dasar perkembangan watak tersebut tak lepas dari hubungan antarkejadian, konflik, tegangan dan kejutan hingga klimaks.Tempat/ruang dan waktu terjadinya peristiwa yang melibatkan para tokoh sangat diperhitungkan. Misalnya bagaimana mereka memperhitungkan kesesuaian latar dengan tuntutan cerita, dan kegunaan latar bagi penggambaran tokoh.

Bahasa yang digunakan, terutama bagi penulis-penulis muda sangat berindah-indah dan ada kecendrungan mereka bergulat pada kata-kata tanpa mengusung tema. Terkadang terasa mereka bermain-main saja dengan bumbu kata-kata karena menurut saya mereka tidak bisa bercerita. Tidak bisa membuat cerita. Bila kita perhatikan dalam mereka bergulat menyuguhkan permainan kata-kata, tema-tema yang diusung akrobatik kata-kata itu adalah tema-tema para penulis pemula. Sebagian besar hampir dikuasai corak bahasa kota-kota besar, walau demikian tidak terlepas dari ketepatan pemilihan kata dan kalimat bagi penyajian cerita, kegunaan pemakaian kata dan kalimat bagi pengembangan tokoh, alur, dan latar cerita, juga keterbacaan bagi kelompok pembaca yang luas.

Demikian pula kreativitas mereka yang khas. Hampir semua mereka berusaha membiarkan kemampuan menemukan dan mengembangkan gagasan yang baru atau khas dengan cara penyampaian yang baru atau khas pula. Malah mereka tak ragu-ragu kalau kreativitas itu keluar dari kebiasaan kehidupan. Walau demikian mereka tetap memperhatikan kesesuaian sudut pandang, cara melihat gagasan dan pengungkapan dengan kelompok pembaca yang beragam. Kegunaan gagasan dan cara pengungkapan yang baru atau khas bagi pengembangan tokoh, alur, dan latar cerita. Demikianlah mereka mencari hal-hal yang menjadi tonggak penilaian.

Di kehidupan kita sekarang ini budaya baru menjejali kita. Didominasi centang-perenang tiruan keadaan yang dapat dilihat. Kita dihidupi dan menghidupi dunia penglihatan dari yang disodorkan ke hadapan kita. Halaman koran dan majalah, televisi, keping vcd, dvd, papan iklan yang bertebar di pinggir jalan, handphone, internet dan sebagainya, membanjiri kehidupan kita hingga ke pojok paling terpencil, mengepung setiap individu di semua lapisan sosial.

Semua perangkat itu merajalela di zaman reformasi ini dan membuka keran penyalur bagi sebagian pekerja di bidang produksi budaya. Suatu generasi penulis mengikuti kurun waktu reformasi itu, munculnya para penulis yang segera menyedot perhatian. Karya-karya generasi penulis perempuan berlatar kelas menengah menawarkan pandangan atas krisis yang sedang terjadi. Kebebasan baru yang dihembuskan perubahan secara drastis untuk perbaikan itu, muncullah para reformis di bidang penulis-penulis ini menawarkan sudut pandang jenis kelamin yang secara problematis menjadi bingkai baru; menurut mereka. Padahal apa yang mereka suguhkan, keberanian membuka selangkang kaum para penulis perempuan itu sudah dilakukan para penulis pria di zaman jauh sebelum mereka merasa bebas menyuguhkannya. Terutama milik pribadi yang tersembunyi itu. Pernah saya mendengar ucapan sinis seorang teman; modal mereka hanya keberaian menuliskan apa yang mereka lihat di dalam cermin saat mereka melepas semua penutup tubuh. Bedanya barangkali kalau dulu yang mengungkapkan kaum penulis pria, yang menggambarkannya dari imajinasi, sekarang pemilik tubuh itu, kaum penulis perempuan itu cukup menuliskan apa yang mereka pandang di cermin. Sebab kaum penulis perempuan itu sangat akrab dengan apa yang ingin mereka suguhkan: abaikan norma.

Banyak di antara penulis ini adalah orang kota yang bergelut setiap harinya dalam hingar-bingar gaya hidup urban yang terkekang dalam karya-karya mereka.

Kemudian muncullah warna baru yang menyita perhatian sebagai penulis di era reformasi akhir-akhir ini. Masalah etnisitas cukup gencar dipersoalkan dalam karya-karya bersetting kampung/daerah, sejak berlakunya otonomi daerah. Karya-karya etnisitas, budaya dan sejarah lokal mulai bermunculan. Digarap secara serius oleh mereka, dan merupakan kebanggaan kedaerahan. Berbagai macam unsur khas budaya etnis seperti kepercayaan dan upacara, dan mitos.

Mungkin jemu dijejali cerita-cerita yang mengarah ke kota-kota besar, para sastrawan kembali mengakrabi sub-kulturnya masing-masing. Para sastrawan memberikan kultur daerahnya. Kultur daerah ini memberi kebetahan batin dan menimbulkan rangsangan kreatif. Kultur lokal atau tradisi daerah sangat dikenal dan diakrabi mereka di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Warna lokal atau tradisi, kultur setempat, mitos-mitos, menjadi acuan dalam karya-karya mereka yang menjamur.

Perkembangan karya-karya sastra dewasa ini diperkaya mereka dengan menggarap kultur dan tradisi daerah. Masuknya kembali pada kultur dan tradisi daerah mendapat tempat setelah datangnya era reformasi dan maraknya otonomi daerah.

Otonomi daerah membakar mereka untuk menjadikan semua harus dari daerah. Termasuk garapan kultur dan tradisi daerah pun mendapat tempat.

Barangkali itulah yang terjadi dalam perkembangan penulisan dewasa ini. Kalau saya keliru, maafkan!

Tulisan ini pernah disajikan pada pertemuan sastrawan Sumatera Utara di Medan, 28 – 30 Desember 2007.

27 Juli 2008

Catatan Temu Sastrawan Indonesia, Jambi (3-Habis)

Kasus lain juga pernah menimpa cerpenis asal Palembang, Purhendi ketika cerpennya berjudul Perempuan di dalam Masjid, yang dimuat harian umum BeritaPagi, 27 Agustus 2006 sempat membuat cemas penulisnya lantaran penulisnya mendapat reaksi melalui sms, surat pembaca, dan telepon dari pembaca. Ketika itu Puherndi hanya bisa menghubungi beberapa person untuk meminta pendapat. Dalam konteks itu, maka wadah yang mengelola persoalan advokasi untuk sastrawan sangat dimungkinkan ketika para pelaku sastra, seperti Saeful Badar dan Purhendi jika mendapat hal-hal yang tak diinginkan. Kendati advokasi secara formal dapat ditangani pengacara..

Di luar komunitas sastrawan, kasus yang menimpa pelukis asal Palembang, Eden Ariffin mengenai hasil ciptaannya melalui sayembara berupa lukisan Sultan Mahmud Badaruddin II, bisa dijadikan contoh yang sangat signifikan. Manakala Eden Ariffin menggugat Bank Indonesia soal royalti lantaran hasil ciptaannya dijadikan gambar uang sepuluh ribu rupiah. Kasus Eden itu memang terasa tidak ada advokasi dari para pelukis atau organisasi seni rupa yang menanganinya.

Padahal menurut Prof. Dr. Abdul Bari Azed, Guru Besar FHUI, Sekjen Departemen Hukum dan HAMRI ini, seorang pecipta (seniman) memiliki “Hak Ekonomi” yang berhubungan dengan karya ciptanya, yakni hak untuk mengumumkan, memperbanyak, memberi izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Hak Ekonomi ini dapat dialihkan kepada orang atau badan hukum. Hak ekonomi ini dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta “Produk Hak Terkait”.

Di sisi lain, Fadillah seorang Dosen dan Peneliti Sastra dari Universitas Andalas Padang ini memandang advokasi dalam relasi sastra apabila terjadi penindasan terhadap dunia sastra oleh pemerintah atau penguasa, maka ada empat aspek yang ditindas; pertama karya, kedua pengarang, ketiga kritikus, keempat pencinta atau pembaca karya sastra.

Menurutnya, bentuk penindasan terhadap karya biasanya terjadi pelarangan atau pembakaran karya sastra. Kedua adalah dipenjarakan atau dijatuhi hukuman mati terhadap pengarang, Begitu juga kritikus, yakni dipenjara atau dihukum mati. Sedangkan pembaca, dilarang membaca, dipenjarakan atau dijatuhi hukuman mati.

Dari topik-topik yang disajikan dalam Musyawarah Temu Sastrwan Indonesia itu seperti Pecapaian estetika Sastra Indonesia, Pengajaran Sastra Indonesia, dan Tradisi Kritik Sastra Indonesia bukanlah isu baru bagi para peserta.

Kritik Sastra Indonesia misalnya, masih dalam sorotan negatif ketika Hary S Harjono, Maizar Karim maupun Ahda Imran saat menyampaikan berbagai pandangan mereka. Itu sebabnya, Afrizal Malna yang juga mengusung persoalan kritik agak ragu bahwa kritik sastra Indonesia itu ada, dalam pengertian kritik sastra tidak dalam perbincangan apa yang sudah disampaikan oleh Hary S Harjono, dan lain-lain.

Afrizal tampak memiliki pandangan lain yang pada gilirannya mempertanyakan apakah kita memerlukan kritik sastra, agar pembaca mengerti sastra atau dengan kata lain apakah pembaca itu memerlukan mata krtikus untuk membaca karya sastra? Malahan kenyataan yang berkembang menurut Afrizal bahwa saat ini kritik sastra sudah diambil alih oleh lembaga-lembaga sayembara pemberi hadiah, diambil alih oleh penerbit, diambil alih oleh redaktur budaya di media massa. Mungkin juga hal itu sebuah fenomena untuk mengatakan bahwa memang kritik sastra tidak diperlukan.

Jauh sebelumnya, menurut Afrizal Malna lagi, bahwa kritik sastra itu ada lantaran kesibukan dunia akademis. Kemudian manakala pasar tumbuh, ekonomi tumbuh, industri berkembang, mereka punya cara tersendiri dalam mengakses sastra, dan pada saat itu memang menjadi cukup penting untuk bertanya ulang, apakah kritik sastra itu memang harus ada?

Diskusi sastra yang memakan waktu dua hari memang cukup membuat para peserta untuk berbetah diri mengikuti proses berlangsungnya alur diskusi. Selain seminar, peserta juga ikut menikmati kegiatan panggung apresiasi, wisata budaya, dan pameran foto penyair. Pada akhirnya Musyawarah Temu Sastrawan Indonesia melalui tim perumus yang terdiri dari Acep Zamzam Noor, Triyanto, Kartini, Tan Loie, dan Koko P Bhairawa memandang perlu untuk meneruskan kegiatan pertemuan sastrawan berikutnya yang direncanakan di Bangka Belitung dan Palembang. Habis. /anwar putra bayu/

24 Juli 2008

Panggung Apresiasi TSI 2008

Hamsad Rangkuti tengah membacakan cerpennya

Penampilan sastra tutur pun ikut mewarnai panggung apresiasi
Diah Hadaning meski usianya sudah tua namun penyair perempuan ini masih enerjik
Tan Loie penyair dari Bali ini saat membacakan puisinya.
Selain itu ia tampil dalam musikalisasi puisi

20 Juli 2008

Catatan Temu Sastrawan Inonesia, Jambi (2)

Memakan waktu tidak kurang empat hari, para peserta Temu Sastrawan Indonesia yang terdiri dari cerpenis, novelis, dan penyair mengondisikan diri guna mengikuti menu acara yang disajikan panitia pelaksana, sejak dibuka oleh Staf Ahli Gubernur.

Dialog dan Musyawarah Sastrawan Indonesi, misalnya, merupakan salah satu agenda kegiatan yang penting. Dialog dan musyawarah ini setidaknya telah menyentuh apa yang sudah diplot oleh panitia. Salah satunya, yakni membicarakan adanya kemungkinan dibentuknya wadah atau forum bersama yang melibatkan “Ekologi Sastra” ( yang merupakan tempat berkumpulnya: sastrawan, kritikus, media, dan penerbit). Tentunya harus melampaui proses dialogis. Forum dialog dan musyawarah ini meyepakati adanya sebuah wadah advokasi sastrawan. Jauh sebelumnya, ada usulan-usulan yang ditawarkan peserta, seperti membentuk semacam badan yayasan, komunitas, dan aliansi. Akan tetapi, banyak pula para peserta memandang bahwa yayasan maupun komunitas akan menjelmakan “kultus” baru, seperti yang dilontarkan oleh Isbedy Stiawan ZS, penyair asal Lampung itu.

Untuk apa organisasi sastrawan? Pertanyaan itu pula yang sempat terungkap oleh Sosiawan Leak, penyair asal Solo, Jawa Tengah, di sela-sela sarapan pagi. Pertanyaan Leak itu, agaknya terwakili ketika Acep Zamzam Noor tampil sebagai narasumber di hari ketiga bersama Abdul Bari Azed, Guru Besar FHUI. Dengan nada yang sama Acep Zamzam Noor mengajukan pertanyaan dalam makalahnya “Wadah Sastrawan Indonesia, perlukah?”

Acep menyontohkan kasus penyair Saeful Badar, ketika puisinya yang berjudul “Malaikat” yang dimuat di rubrik budaya Pikiran Rakyat mendapat reaksi sangat keras dari sejumlah Organisasi Massa (Ormas) Islam di Jawa Barat karena dianggap telah melecehkan agama. Dalam hal ini, puisi itu sepertinya mengolok-olok malaikat yang dianggap suci oleh umat Islam. Ormas-ormas itu bukan hanya menteror Pikiran Rakyat melalui telepon, sms, maupun faksimile, bahkan di halaman pertama, esok harinya dimuat juga penyataan resmi ormas-ormas Islam yang mengutuk puisi karya Saeful Badar itu. Beberapa hari kemudian Rahim Asyik, Redaktur Budaya yang memuat puisi tersebut, diberhentikan dari kedudukannya sebagai redaktur budaya.

Bertolak dari pengalaman Saeful Badar yang sempat menghebohkan itu, kemudian menurut Acep Zamzam Noor, banyak temannya sesama sastrawan kemudian berpikir tentang pentingnya organisasi profesi bagi para sastrawan, seperti yang sudah dilakukan oleh profesi-profesi lain di Indonesia. Kawan Acep menyebut dokter, insinyur, pengusaha, advokat, guru, paranormal, atlit, pengamen, pengemis, preman, satpam, dan lain-lain yang sudah membentuk organisasi atau wadah bagi profesi mereka. ”Lalu fungsinya untuk apa?” tanya Acep Zamzam Nooor.

Jika dicermati lagi, di berbagai daerah tumbuh menjamur organisasi atau wadah-wadah sastrawan, yang pada gilirannya organisasi atau wadah-wadah itu tinggal papan nama saja karena tidak bisa menjalankan fungsinya secara baik. Pertanyaan Acep Zamzam Noor tentang ”fungsi Organisasi” cukup menggelitik, terlepas pilihan wadah maupun bentuknya.

Kasus lain juga pernah menimpa cerpenis asal Palembang, Purhendi ketika cerpennya berjudul Perempuan di dalam Masjid, yang dimuat harian umum BeritaPagi, 27 Agustus 2006 sempat membuat cemas penulisnya lantaran penulisnya mendapat reaksi melalui sms, surat pembaca, dan telepon dari pembaca. Ketika itu Puherndi hanya bisa menghubungi beberapa person untuk meminta pendapat. Dalam konteks itu, maka wadah yang mengelola persoalan advokasi untuk sastrawan sangat dimungkinkan ketika para pelaku sastra, seperti Saeful Badar dan Purhendi jika mendapat hal-hal yang tak diinginkan. Kendati advokasi secara formal dapat ditangani pengacara..

Di luar komunitas sastrawan, kasus yang menimpa pelukis asal Palembang, Eden Ariffin mengenai hasil ciptaannya berupa lukisan Sultan Mahmud Badaruddin II, bisa dijadikan contoh yang sangat signifikan. Manakala Eden Ariffin menggugat Bank Indonesia soal royalti lantaran hasil ciptaannya dijadikan gambar uang sepuluh ribu rupiah, memang terasa tidak ada advokasi dari para pelukis atau organisasi seni rupa yang melakukan advokasi.

Padahal menurut Prof. Dr. Abdul Bari Azed, Guru Besar FHUI, Sekjen Departemen Hukum dan HAMRI ini, seorang pecipta (seniman) memiliki “Hak Ekonomi” yang berhubungan dengan karya ciptanya, yakni hak untuk mengumumkan, memperbanyak, memberi izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Hak Ekonomi ini dapat dialihkan kepada orang atau badan hukum. Hak ekonomi ini dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta “Produk Hak Terkait” /anwarputrabayu/

18 Juli 2008

Menghilir di Sungai Batanghari Menuju Candi

Irmansyah dan Naba dalam perahu ketek, sebuah perjalanan...Yess!
Kata Naba, Om Hary B Khoirun tertidur atau sedang mencari ide untuk novel barunya
Purhendi dan Hamsad Rangkuti menikmati angin semilir di Sungai Batanghari
Naba memandang ke depan dari depan perahu ketek
Perahu Ketek menuju candi Muaro Jambi yang akan melewati jembatan gantung

17 Juli 2008

Muaro Jambi dalam gambar

Naba dan Hary B Khoirun di atas candi sedang semedhi
Tomo (anak dari EM. Yogisawra) dan Naba (anak dari Anwar PB)
Anwar P Bayu, Suyadi San, Sunlie, dan Hamsad Rangkuti

Thomson HS, Koko P Bhairawa, Marhalim Zaini, Jajang R Kawentar, Naba, Sunlie T Alexander, Miyoko, Tomo Irmansyah, dan Yogiswara foto bersama di area candi Muaro Jambi

16 Juli 2008

Sastrawan Sepakat Bentuk Aliansi


JAMBI (Lampost): Sastrawan se-Indonesia sepakat membentuk Aliansi Sastra Indonesia (ASI) untuk mengadvokasi hak cipta dan pembelaan sastrawan. Selain beranggotakan penyair, cerpenis, novelis, esai, dan penulis naskah drama, ASI juga melibatkan praktisi ahli di bidang advokasi.

Pembentukan lembaga tersebut disepakati dalam Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 1 di Jambi, kemarin (9-7) yang menjadi salah satu agenda TSI. Menurut ketua pelaksana TSI Sudaryono, wadah tersebut diharapkan mendorong penguatan posisi sastrawan di tengah ekologi sastra Indonesia yang tidak sehat. "Sastrawan, kritikus, penerbit, media, dan masyarakat perlu memiliki kemandirian. Ini penting untuk mengadvokasi sastrawan yang diintimidasi, dipecat kepegawaiannya atau mengalami pengekangan kreativitasnya," ujar Sudaryono.

Lain halnya sastrawan Lampung Isbedy Stiawan Z.S yang ikut dalam acara tersebut. Menurut dia, pembentukan lembaga semacam ASI tidak memiliki kontribusi yang jelas. "Lembaga-lembaga yang ada bahkan cenderung mengultuskan ketuanya, misalnya Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Komunitas Utan Kayu (KUK). Mestinya kalau mau membesarkan ya anggotanya atau karya," kata dia.

Menyinggung soal advokasi, Isbedy juga mempertanyakan efektivitas lembaga menjalankan fungsi pembelaan. Lembaga-lembaga tersebut hanya hangat di forum pertemuan. "Karena lembaga itu menurut penyelenggara harus dan ini disetujui peserta lain, saya bisa menerima lembaga itu," ujar Isbedy.

Selain Isbedy, sastrawan lain seperti Acep Zamzam Noor, Sosiawan Leak, Anwar Putra Bayu, dan Suyadi San juga tidak setuju dengan forum Aliansi Sastrawan Indonesia.

Terkait hak cipta, Sekjen Depkum HAM Abdul Bari Azed yang juga hadir sebagai pemateri menyatakan hak cipta karya sastra perlu diperjuangkan. Karya sastra juga bias jadi sasaran bajakan dan penjiplakan seperti yang terjadi pada buku atau musik. "Karya sastra juga dilindungi UU Hak Cipta No12/1997. Sudah seharusnya sastrawan mulai peduli dengan masalah ini," ujar Bari.

Temu Sastrawan Indonesia 1 diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi. Gubernur Jambi, Ketua DPRD, dan Muspida provinsi duduk sebagai penasihat. Kadisbudpar duduk sebagai ketua umum.

Menurut ketua pelaksana TSI 1 Sudaryono, dukungan pemda dan media massa menjadi kunci sukses acara tersebut. "Ini forum sastrawan yang acaranya diselenggarakan pemda. Tanpa ada birokrat yang peduli pada kesenian dan kebudayaan sepertinya sulit melakukan acara semacam ini," ujar dosen Universitas Negeri Jambi yang juga penyair ini.

TSI 1 diikuti sastrawan dari Sumatera, Jawa, Bali, NTB, Kalimantan, dan Sulawesi. Pada musyawarah sastrawan kemarin, seluruh peserta setuju TSI diteruskan. Untuk tahun depan, Bangka Belitung akan menjadi penyelenggara. n MAT/U-2

12 Juli 2008

Catatan Temu Sastrawan Indonesia 1 di Jambi

/1/

Hallo, selamat pagi saya Mahdayeni, LO yang akan mendampingi Bapak selama di Jambi. Kapan Bapak berangkat? Pastikan naik apa, nanti kami jemput. Tks.

Demikianlah bunyi SMS yang masuk ke handphone saya dua hari sebelum saya, Purhendi, Jajang R Kawentar, Isbedy Stiawan, dan Sudirman salah seorang wartawan budaya Lampung Post bertolak bersama dari Palembang menuju Jambi, Senin (7/7) lalu. Jauh sebelumnya, saya kerapkali menerima SMS dari penyair Dimas Arika Mihardja dan Firdaus. SMS mereka itu selalu mengingatkan pentingnya acara yang digelar di Jambi. Artinya, saya pribadi, juga Purhendi, Koko P Bhairawa, Jajang R Kawentar harus hadir.

Dengan gencarnya SMS yang datang dari tim kerja Temu Sastrawan Indonesia 1, saya berpikir kemudian membayangkan betapa kerja kawan-kawan di Jambi sangat serius. Sejak bulan Februari ketika saya menerima surat, kemudian email, dan SMS menunjukkan bahwa Dimas Arika Mihardja sebagai ketua penyelenggara tidak menyia-nyiakan teknologi komunikasi untuk menjalin hubungan komunikasi dengan tidak kurang 130 sastrawan Indonesia dari Nangro Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, Jabotabek, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.

Sebagaimana diakui Fakhrunas MA Jabar dari Riau yang hanya bisa hadir pada malam pembukaan bahwa kedatangannya lantaran sangat menghormati dan apresiatif atas kerja dan upaya yang sangat serius dilakukan oleh panitia. “Aku tak tega bila tak datang ke Jambi. Itu soalnya karena aku ada pekerjaan dari perusahaan yang tak bisa kutinggalkan, makanya aku hanya bisa mengikuti acara pembukaan,” kata cerpenis kelahiran Pekanbaru ini dengan nada menyesal. Begitu juga terjadi terhadap Hoenizar Hood penyair asal Kepulauan Riau yang hanya bisa mengikuti hari pertama musyawarah sastrawan mengungkapkan rasa penyesalannya.

Di sisi lain tampak sastrawan senior Hamsad Rangkuti, L.K. Ara, Sunaryo Basuki, dan Dinullah Rayes begitu setia mengikuti sepenuhnya acara TSI yang memakan waktu empat hari. Meski usia mereka rata-rata sudah separuh baya tapi semangat mereka tampak masih menyala-nyala, apa lagi cerpenis Sunaryo Basuki yang sudah tampak sangat tua. -anwar putra bayu-