27 Juli 2008

Catatan Temu Sastrawan Indonesia, Jambi (3-Habis)

Kasus lain juga pernah menimpa cerpenis asal Palembang, Purhendi ketika cerpennya berjudul Perempuan di dalam Masjid, yang dimuat harian umum BeritaPagi, 27 Agustus 2006 sempat membuat cemas penulisnya lantaran penulisnya mendapat reaksi melalui sms, surat pembaca, dan telepon dari pembaca. Ketika itu Puherndi hanya bisa menghubungi beberapa person untuk meminta pendapat. Dalam konteks itu, maka wadah yang mengelola persoalan advokasi untuk sastrawan sangat dimungkinkan ketika para pelaku sastra, seperti Saeful Badar dan Purhendi jika mendapat hal-hal yang tak diinginkan. Kendati advokasi secara formal dapat ditangani pengacara..

Di luar komunitas sastrawan, kasus yang menimpa pelukis asal Palembang, Eden Ariffin mengenai hasil ciptaannya melalui sayembara berupa lukisan Sultan Mahmud Badaruddin II, bisa dijadikan contoh yang sangat signifikan. Manakala Eden Ariffin menggugat Bank Indonesia soal royalti lantaran hasil ciptaannya dijadikan gambar uang sepuluh ribu rupiah. Kasus Eden itu memang terasa tidak ada advokasi dari para pelukis atau organisasi seni rupa yang menanganinya.

Padahal menurut Prof. Dr. Abdul Bari Azed, Guru Besar FHUI, Sekjen Departemen Hukum dan HAMRI ini, seorang pecipta (seniman) memiliki “Hak Ekonomi” yang berhubungan dengan karya ciptanya, yakni hak untuk mengumumkan, memperbanyak, memberi izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Hak Ekonomi ini dapat dialihkan kepada orang atau badan hukum. Hak ekonomi ini dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta “Produk Hak Terkait”.

Di sisi lain, Fadillah seorang Dosen dan Peneliti Sastra dari Universitas Andalas Padang ini memandang advokasi dalam relasi sastra apabila terjadi penindasan terhadap dunia sastra oleh pemerintah atau penguasa, maka ada empat aspek yang ditindas; pertama karya, kedua pengarang, ketiga kritikus, keempat pencinta atau pembaca karya sastra.

Menurutnya, bentuk penindasan terhadap karya biasanya terjadi pelarangan atau pembakaran karya sastra. Kedua adalah dipenjarakan atau dijatuhi hukuman mati terhadap pengarang, Begitu juga kritikus, yakni dipenjara atau dihukum mati. Sedangkan pembaca, dilarang membaca, dipenjarakan atau dijatuhi hukuman mati.

Dari topik-topik yang disajikan dalam Musyawarah Temu Sastrwan Indonesia itu seperti Pecapaian estetika Sastra Indonesia, Pengajaran Sastra Indonesia, dan Tradisi Kritik Sastra Indonesia bukanlah isu baru bagi para peserta.

Kritik Sastra Indonesia misalnya, masih dalam sorotan negatif ketika Hary S Harjono, Maizar Karim maupun Ahda Imran saat menyampaikan berbagai pandangan mereka. Itu sebabnya, Afrizal Malna yang juga mengusung persoalan kritik agak ragu bahwa kritik sastra Indonesia itu ada, dalam pengertian kritik sastra tidak dalam perbincangan apa yang sudah disampaikan oleh Hary S Harjono, dan lain-lain.

Afrizal tampak memiliki pandangan lain yang pada gilirannya mempertanyakan apakah kita memerlukan kritik sastra, agar pembaca mengerti sastra atau dengan kata lain apakah pembaca itu memerlukan mata krtikus untuk membaca karya sastra? Malahan kenyataan yang berkembang menurut Afrizal bahwa saat ini kritik sastra sudah diambil alih oleh lembaga-lembaga sayembara pemberi hadiah, diambil alih oleh penerbit, diambil alih oleh redaktur budaya di media massa. Mungkin juga hal itu sebuah fenomena untuk mengatakan bahwa memang kritik sastra tidak diperlukan.

Jauh sebelumnya, menurut Afrizal Malna lagi, bahwa kritik sastra itu ada lantaran kesibukan dunia akademis. Kemudian manakala pasar tumbuh, ekonomi tumbuh, industri berkembang, mereka punya cara tersendiri dalam mengakses sastra, dan pada saat itu memang menjadi cukup penting untuk bertanya ulang, apakah kritik sastra itu memang harus ada?

Diskusi sastra yang memakan waktu dua hari memang cukup membuat para peserta untuk berbetah diri mengikuti proses berlangsungnya alur diskusi. Selain seminar, peserta juga ikut menikmati kegiatan panggung apresiasi, wisata budaya, dan pameran foto penyair. Pada akhirnya Musyawarah Temu Sastrawan Indonesia melalui tim perumus yang terdiri dari Acep Zamzam Noor, Triyanto, Kartini, Tan Loie, dan Koko P Bhairawa memandang perlu untuk meneruskan kegiatan pertemuan sastrawan berikutnya yang direncanakan di Bangka Belitung dan Palembang. Habis. /anwar putra bayu/

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Sayang beta tak berkesempatan hadir di TSI Jambi kemarin berhubung menghadiri wisuda anak saya yang selesai di ISI jurusan S.Tari. Mudah2an lain kali bisa hadir. Duh, teman2 banyak yang menanyakan beta.
Selamat berpuasa semoga kita mendpt rahmat dan hidayahnya. Amin.