12 Desember 2008

Marlen di Golgota

/Anwar Putra Bayu/

/1/

Malam.

Bintang berkedip-kedip di langit sana, sementara Marlen berdiri tegak dan kepalanya tengadah ke atas. Bintang terus berkedip kemudian mata Marlen pun berkedip. Rasa kantuk mulai menyerangnya. Marlen sendiri dan bersiul memecah kesunyian.

Dia merasakan bau di sekitarnya. Ia mencium bau lumut yang datangnya dari dinding-dinding rumah. Pikiran Marlen berkecamuk, selimut, kasur, bantal, bantal guling, dan bulu ayam untuk mengorek kuping melintas dalam benaknya. Tapi sebelumnya terlintas bau lumut dari dinding rumah itu berubah menjadi bau ikan asing goreng, sehingga perut Marlen semakin lapar, dan kedua mata Marlen pun berkedip-kedip.

Malam.

Bintang salib di matanya lalu turun ke mulut Marlen menjadi senyuman. Kini dia menyandarkan tubuhnya di dinding rumah. Hawa dingin menggerayangi badanya hingga ke tulang sumsum, ngilu! Daun telinganya bergerak-gerak, suara langkah dan ringkikan kuda seakan mengejarnya. “Aneh,” katanya membatin. Marlen tidak melihat apa-apa.

Dari sebelah utara sana dia sempat mendengar sesayup percakapan beberapa orang. Marlen bengong lantaran tidak mengerti bahasa apa yang digunakan mereka. Dia kelihatan tolol dan lucu. Kemudian dia garuk-garuk kupingnya hingga lecet. Dia pandang langit dan pandangannya gelap.

Sinar matahari merayapi tubuhnya setelah semalam berjuang keras agar bisa mendengkur dengan nyaman. Tubuhnya meringkuk seperti udang. Dia menggeliat s mengeluarkan suara sengau dari mulutnya. Kedua matanya terbuka lebar.

Marlen bengong menyaksikan rumah-rumah kotak bewarna putih di bawah bukit-bukit tanah merah. Dia semakin bego menghadapi kota yang begitu sunyi. Dia baru sadar kalau dia berada di kota mati. Mau cari voucher susah, mau kirim email sulit, apalagi mau makan pizza sukar sekali. Padahal, Marlen baru kemarin lusa berada di tengah kota yang hidup penuh kesibukan. Marlen juga sadar bahwa tiga hari lalu dia berjalan dengan seorang perempuan yang berpakaian seronok. Kemudian mereka masuk dari pintu masjid seterusnya keluar melalui pintu cineplek.

Bahkan, sebulan lalu Marlen sempat pula berkencan dengan seorang penyanyi café di taman yang dikelilingi bunga Mawar hutan. Kencan itu sungguh berkesan di hatinya. Marlen sempat mengalungkan seuntai kalung mas Jawa ke leher jenjang milik penyanyi café itu. Sudah bisa dibayangkan, dia pun mengulum bibir penyanyi itu di bawah cahaya bulan sabit. Dia serasa terbang masuk surga.

Muka Marlen penuh keringat, sinar matahari yang sangat terik menyentuh wajah bloonnya. Pikiran berkecamuk, Marlen kehilangan kotanya, dia kehilangan layar-layar bioskop, dia kehilangan taman dengan bunga Mawar hutan, dia kehilangan musik rock yang selalu memompa semangat hidupnya, dia kehilangan baju Armani, dia kehilangan jeans Tsusardi, dia kehilangan internet, dia kehilangan novel, dia kehilangan partai, dia kehilangan ingatan jernih, dia kehilangan percaya diri, bahkan kini dia telah kehilangan sesuatu yang paling berharga, yakni penyanyi café sebagai belahan jiwa katanya.

“Mariye,” ucapnya lirih.

“Ya, aku di sini Bang,” sahut Mariye.

Marlen terkejut ketika menemukan seorang perempuan dengan tubuh yang tinggi dan sintal. Perempuan yang di lihatnya itu mengenakan gaun dari bahan sutra halus dan bewarna putih. Gaun perempuan berkebaran kena tiupan angin yang cukup kencang. Tubuhnya terlihat seksi, Marlen terpesona dan ada sesuatu yang bangun dari dalam dirinya. Perempuan di hadapannya tersenyum manis, denyut jantung Marlen mulai kacau. Marlen balas senyum, kedua mata mereka bertabrakan. Muncul Mawar-mawar hutan.

“Mariye,” kata Marlen membatin.

“Bukan. Aku Maria. Kamu siapa?”

“Aku Marlen, putra dari Tuan Kadi. Ya..ya, kamu memang bukan Mariye, maaf…maaf..Aku begitu terpengaruh oleh bunga Mawar hutan itu,” jelas Marlen dengan sikap hormat.

“Tapi, kami sama-sama perempuan dari keturunan Siti Hawa. Punya perasaan lembut laksana baju sutra yang kukenakan ini.”

“Kamu datang dari mana?” Maria diam.

“Sejak tadi aku tidak melihat satu manusia pun di sekitar ini, lalu tiba-tiba kamu muncul tanpa pamit, tanpa suara.” Maria masih diam. Marlen berharap Maria mau ngomong.

“Apakah kamu iblis?” Maria menggeleng.

“Peri?” Maria menggeleng.

“Jin?” Maria menggeleng.

“Hantu?” Maria menggeleng.

“Bukan, aku sepertimu juga, manusia.” Marlen diam.

“Memang kota ini sudah berbulan-bulan sepi.” Marlen diam.

“Semua penduduk mengungsi di balik bukit batu sebelah Timur. Aku sendiri baru saja turun dari bukit itu,” kata Maria penuh hormat. Wajah Marlen berubah jadi bloon.

“Bukit apa itu? Tanya Marlen penasaran.

“Golgota.”

“Golgota?”

“Ya.” Marlen tampak tidak percaya.

“Aku perempuan yang terluka parah oleh tikaman pedang-pedang kemurkaan. Karena aku telah menentang seorang yang menyebarkan penderitaan,” ucap Maria dengan perasaan sedih. Marlen diam, sesuatu di dalam dirinya ada yang bergerak.

Para manusia terus diburu-buru, termasuk kamu sendiri pada akhirnya. Itu sebabnya aku peringatkan untuk berhati-hati. Tengok rumah-rumah itu sudah berubah warna, itu karena daki para pendosa,” sambung Maria kemudian. Marlen mengalihkan pandangan. Dia melihat rumah-rumah kotak yang kemarin putih berubah jadi warna hitam.

Berderap langkah kaki kuda yang berlari, bersamaan itu wajah Maria kelihatan gusar dan cemas. Dia ketakutan. Di sisi lain Marlen tambah bingung sebelum sempat mencegah perempuan cantik itu lari terbirit-birit. Tiga orang penunggang kuda berbaju zirrah berhenti. Mereka meneliti muka Marlen kemudian selop yang dipakainya. “Siapakah kamu? Tampaknya kamu adalah orang asing di wilayah ini. Anda mata-mata?”

“Ah, eh, ah tidak. Saya hanya pengembara yang tersesat jalan,” jawab Marlen. Penunggang kuda saling berpandangan.

“Tuan-tuan siapa?” Marlen balik bertanya. Para penunggang tertawa serempak. Gerakan-gerakan mereka sangat kompak. Gerakan itu menandakan dari disiplin yang kuat dan terlatih. Wajah Marlen menggambarkan kemuakan atas sikap para penunggang kuda. Perut Marlen mual. Dia rasanya mau muntah.

“Anda mengidam?” Tanya seorang penunggang.

“Tidak. Saya hanya masuk angin.” Tiba-tiba Marlen terkentut.

“Saya kurang tidur,” sambung Marlen.

“Oooo.”

“Sekali lagi saya bertanya dengan rasa penuh hormat. Siapakah sesungguhnya tuan-tuan.” Tiga pengunggang kuda serentak mengacungkan pedang. Marlen tambah jadi tolol.

“Dasar kamu itu goblok. Tidakkah kamu lihat zirrah yang kami kenakan ini?” Marlen terhipnotis.

“Juga kuda Zanggi ini sebgai lambang kebesaran.”

“Baiklah. Jika kamu ingin tahu, iya kamilah ksatria raja Pontius Pilatus.”

“Iya, sambungan Maharaja Herodes.”

“Hah!” Marlen tegang. Dia membanding-bandingkan pakaiannya dengan pakaian tiga penunggang kuda. Ketiga penunggang kuda tampak bangga. Kuda-kuda mereka berdiri, kaki-kaki depannya menggapai-gapai ke udara, dan kemudian turun. Ketegangan Marlen menurun.

“Lalu saya ada di mana?”

Ada di wilayah kekuasaan maharaja, dan tuan melangar hukum wilayah ini tanpa izin dari petugas keamanan pintu gerbang kerajaan. Tuan kami dakwa melakukan gerakan bawah tanah, itu sebabnya kami mengira bahwa tuan adalah agen.” Marlen semakin bingung, mulutnya seakan terkunci rapat kini.

/2/

Marlen terpancang pada sebatang tiang. Dia menyaksikan orang-orang telah mati. Dia seorang lelaki perkasa yang masih hidup. Lelaki itu menyapanya. “Mereka mati tidak bersalah dan tidak berdosa,” kata lelaki itu memulai bicara. Marlen diam. Dia tak bisa menoleh ke arah orang yang menegurnya.

“Jangan takut dengan kematian. Kematian seperti ini begitu romantis.”

“Saya tak pernah takut mati. Karena Saya sudah melihat surga, ah sungguh menyenangkan di sana.”

“Di mana kamu lihat itu?” Lelaki di sebelahnya terkejut.

“Di layer-layar cineplek, dan pada acara-acara televise Amerrika, Jepang, Hongkong, Belanda, dan lain-lain. Lelaki di samping Marlen melongo.

“Lalu surga itu seperti apa?”

“Untuk sementara tak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan. Ibarat merasakan cinta. Terakhir saya merasakannya di taman bunga mawar hitam,” kata Marlen yang membuat kawannya itu mengangguk-anggukan kepala.

“Tapi mengapa kita harus mati di tiang ini? Apakah tidak lebih baik kita mati di depan regu tembak atau di kursi listrik, atau di kamar gas beracun, atau di suntik,” protes Marlen kepada lelaki di sampingnya.

“Itu ada pada pikiranmu sekian ribu tahun mendatang. Raja Pontius tidak berpikiran maju sepertimu saat ini. Bahkan, apa yang dia kerjakan sekarang ini dia juga tidak tahu sesungguhnya. Mari kita maafkan saja mereka yang bodoh karena kebutaannya.”

“Lalu mengapa kita dihukum?”

“Karena mereka tidak tahu apa yang sudah kita ketahui.”

“Lalu siapakah tuan?”

“Akulah orang yang dihianati mereka. Saatnya nanti kau akan tahu lebih jelas siapa aku. Itu pun jika aku sudah mendahuluimu.”

Kedua mata lelaki di samping Marlen terkatub. Angin menderu. Seekor burung merpati terbang melintas di depan mata Marlen. Kini hadir seorang perempuan di hadapan Marlen, perutnya buncit. Rambut dan gaunnya berkebaran. Angin padang pasir bertiup kencang. Perempuan mendekat dan bersimpuh di hadapan Marlen. Marlen terkesima. Perempuan itu adalah perempuan yang pernah diberikannya seuntai kalung emas Jawa.

Aneh. Dia lupa namanya. Mata perempuan itu basah. Perempuan itu menangis lagi dan suaranya parau. Perempuan menyanyikan sebuah lagu yang pernah didengar oleh Marlen di café. Marlen terharu. Langit mendung dan hujan turun. Mata Marlen basah.

“Maria,” tegur Marlen.

“Aku di sini sayang.”

“Maria mengapa engkau meninggalkan aku sendiri?”

“Aku Mariye, bukan Maria.”

“Ya. Kamu Mariyeku yang pernah membukakan pintu surga bagiku, yang pernah melahirkanku kembali dari kematian yang belum saatnya, yang pernah mengajariku main piano, dan yang mengajariku segala hal.”

“Maafkan. Aku telah menyiksamu, aku takut melepaskanmu. Raja akan murka. Kini aku membawa calon orokmu. Lihat perut ini. Dia adalah anakku, juga anakmu. Kini aku mau pergi ke puskesmas. Aku ingin nemui Dr. Jolo sepesial kandungan untuk cari tahu apakah anak kita laki atau perempuan. Maafkan aku.”

“Ah betapa nasib menentukan lain.” Mariye berdiri. Dia berbalik dan berjalan. Marlen memanggil-manggil, tubuhnya meronta. Suaranya ditelan deru angin.

“Mariye!” Mariye berjalan lurus tanpa menoleh.

“Jangan tinggalkan aku sendiri.” Marlen terus meronta. Gerakannya membuat tiang pancangan rubuh ke tanah. Hidung berdarah dan mengucur deras. Dia merasakan bau amis. Kini hidungnya membaui vodka.

Malam.

Tanpa bintang berkedip-berkedip. Hujan turun dengan deras. Marlen basah kuyub. Kedua matanya berkedip-kedip. Di matanya bunga Mawar hitam sedang mekar dalam siraman air hujan. Hatinya mekar.

Tidak ada komentar: