28 Juni 2008

Sayembara Novel DKJ

edisi Juni 2008

Konon, di zaman kerajaan dimana sang raja memegang tampuk kekuasaan, tradisi bersayembara begitu mengakar dalam masyarakat kerajaan saat itu. Oleh karena itu, maka sayembara pun muncul dengan berbagai bentuknya.

Tradisi, kata Wannasib kebiasaan yang sudah terlegitimasi dan eksis kemudian turun temurun di dalam sebuah masyarakat yang meliputi segala aspek kehidupan. Biasanya, kata Wannasib lagi, bila sebuah sayembara dikumandangkan sang raja pada masa dulu, maka itu menandakan ada sesuatu yang tak beres. “Ya, ada semacam kegentingan, ada semacam kegawatan,” sambung Wannasib.

Dengan kata lain, segala itu menunjukkan adanya sebuah kekrisisan. Seumpama, Wannasib memberi contoh, seorang putri raja semata wayang yang cantik jelita kemudian putri itu tiba-tiba diculik. Tentu saja sang raja beserta keluarga istana menjadi panik dan cemas. Lalu dicarilah jalan keluar untuk itu. Hasilnya: Barang siapa yang dapat menemukan sang putri, maka akan diberikan emas sekarung. Sudah barang tentu hadiah itu memancing banyak orang kuat, berilmu tinggi, sakti, dan sebagainya untuk mengikuti sayembara. Begitulah cerita dari sebuah negeri dongeng seperti yang digambarkan oleh HC. Andersen , bahkan cerita silat Djair, Man, Teguh Santosa yang menampilkan kepiawaian dalam dunia persayembaraan.

Dalam dunia sastra, lebih-lebih dalam penulisan puisi, cerita pendek, drama, dan novel, maka sepuluh tahun belakangan ini setidaknya tradisi sayembara penulisan itu terus berlangsung dengan berbagai hadiah yang menjanjikan. Walhasil dengan adanya sayembara, maka dunia sastra lumayan berdenyut, semarak dan berdarah terlepas hal itu di lihat dari segi kuantitas maupun kualitas.

Banyak motivasi para penulis untuk ikut dalam kancah sayembara, dan banyak pula tak luput dari rasa alergi tentangnya. Kenyataan itu, menurut sepengetahuan Wannasib pernah diutarakan oleh Jakob Sumardjo dalam bukunya Masyarakat dan Sastra Indonesia.

Sebagian responden Jakob itu, kata Wannasib ada yang menjawab bahwa sayembara “tidak perlu”, “tidak sempat”, “tidak suka”, “menulis bukan sport”, “Saya menulis bukan disuruh atau dipesan orang lain”, “tak berminat”, “sayembara bukan dorongan buat menulis bagi saya,” begitulah kira-kira kata mereka yang mengisi angket. Lumrah jika bagi para penulis yang bersayembara memiliki jawaban yang bertolak belakang dengan yang ikut.

Konteksnya dengan sayembara novel yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta bulan Agustus tahun ini perlu disambut dengan baik, apapun nanti dalihnya. Namun, ketika sayembara ditandai adanya sebuah kekrisisan, terutama dalam penulisan novel, maka pertanyaanya adalah kekrisisan apa yang tengah terjadi dalam penulisan novel Indonesia saat ini?

Berkaca dengan beberapa waktu lalu, sayembara novel DKJ telah memberikan jawaban mengenai krisis, novel sastra yang ditulis perempuan misalnya. Dengan munculnya novel Saman dari tangan Ayu Utami, maka munculah novel sastra dari tangan seorang perempuan, atau boleh jadi ketika novel membutuhkan semacam estetika bahasa, tak heran pula nama Nukila Akmal muncul menjawab itu. Semoga novel hasil sayembara DKJ tahun ini muncul dengan penuh kejutan. /anwar putra bayu/

Tidak ada komentar: