10 Juni 2008

Sastra Melayu Palembang:


Dari yang Kuno Budhisme-Hinduisme hingga Melayu Sufi
dan Friksi Agama-Etnis dalam Realita Kekinian


Oleh Houtman


History of Classical Malay Literature yang ditulis Sir Richard Winstedt dan terbit ada. Pendapat lama yang sempat mengemuka bahwa: 1) sastra Melayu tidak mungkin ditulis sejarahnya sebab kita praktis tidak memiliki bahan asli bentuk naskah (khususnya sebelum tahun 1800); 2) sastra Melayu tidak menunjukkan karya-karya dengan puitika atau konsepsi sastra, merupakan dasar keprihatinan kita. Namun untunglah, Braginsky membuktikan bahwa pendapat tersebut salah, dan menyatakan bahwa sastra Melayu tidak hanya mempunyai sejarah yang panjang dan aneka warna; tapi juga memiliki dasar koherensi dan sistematika yang menakjubkan.

Tradisi bersastra di tanah Melayu terurai dalam komposisi sastra Melayu lama yang mencakup: 1) keindahan; 2) faedah; 3) kesempurnaan rohani. Masing-masing cakupan ini secara bersamaan membangun kualitas seni sastra tanah Melayu. Pembicaraan tentang sastra melayu akan menjadi lebih menarik jika kita kaitkan dengan fenomena kekinian yang merupakan inspirasi tertulis yang termuat dalam peristiwa sejarah. Keingintahuan untuk melihat relevansi nilai kandungan sebuah hasil sastra (khususnya sastra sejarah) menjadi lebih dalam pada saat terjadi benturan nilai yang seharusnya tidak terjadi.

Sastra Melayu Palembang, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah sastra melayu klasik, yang diawali dari zaman Budhisme-Hinduisme hingga Melayu sufi, dirasakan ”kabur” maknanya dan hanya tinggal cerita bilamana kita kaitkan dengan adanya gejala friksi dalam berbagai bentuk.

Persoalan friksi agama-etnis yang sempat merebak beberapa waktu lalu (dalam peristiwa reformasi 1997) menjadi jawaban betapa rapuhnya hubungan antaragama dan etnis ini. Selanjutnya, kalaulah tulisan lama yang memuat harmonisasi hubungan antaragama dalam sejarah sastra Melayu, terus sejauh mana implikasinya pada saat ini? Ataukah hanya sebuah cerita sejarah semata.

Memang, kalau ditilik, dipilah secara perlahan sejarah sastra Melayu, juga tidak terlepas dari ketidaksepahaman dari satu periode ke periode berikutnya. Dapat dirasakan bahwa masa peralihan dari zaman Budhisme-Hinduisme ke zaman keislaman menampakkan ketidakharmonisan. Tapi hal ini sebenarnya merupakan kewajaran mengingat setiap alih masa biasanya akan diikuti pula dengan upaya penghapusan masa sebelumnya. Namun pada sastra Melayu Palembang, peralihan itu hanya sedikit saja yang menampakkan ketidakcocokan tapi selebihnya warna yang ada pada masa sesudahnya tetap becermin dari warna masa sebelumnya.

Budhisme-Hinduisme: Awal sastra Melayu

Perubahan mendasar di alam Melayu terjadi pada abad-abad awal sesudah masehi. Basis ideologinya adalah konsepsi kekuasaan dan serapan agama dari India. Penghinduan melahirkan stratifikasi sosial masyarakat Melayu sehingga muncul pemisah antara peradaban elite kota dari kebudayaan rakyat jelata. Budhisme dan Hinduisme yang diperkenalkan di tanah Melayu telah melahirkan suatu bentuk kebudayaan yang tinggi dan eliter. Kebudayaan ini terutama menunjuk pada pengenalan tradisi India yang bersumber pada buku semata-mata dan tidak pada penghayatan kontak-kontak praktis secara langsung.

Pada sisi lain, adanya hubungan perdagangan yang terus-menerus dengan para pedagang India mengakibatkan terjadinya perembesan unsur-unsur India, misalnya folklor kedalam kebudayaan dan sastra masyarakat awam Melayu, sehingga menjelang akhir zaman Hindu-Budha (abad 13 dan 14), substratum kebudayaan setempat benar-benar telah berhasil mentransformasikan peradaban elite yang telah dihindukan dan pada saatnya juga menyerap sejumlah ciri-ciri peradaban yang khas itu (Coedes, 1968:33).

Tahapan penyerapan kebudayaan India oleh alam Melayu, utamanya dalam lingkup keagamaan, yang berlangsung selama lebih dari seribu tahun mempertunjukkan dua kecenderungan. Pertama, penyerapan doktrin-doktrin dan tanggapan-tanggapan Hinduisme dan Budhisme yang secara besar-besaran menentukan pembentukan ideologi daripada kehidupan sosial budaya negeri-negeri Melayu. Kedua, proses pemelayuan, yakni pemilihan dan adaptasi unsur-unsur yang perlu diserap ke dalam tradisi setempat. Bukti yang dapat diajukan adalah dominasi agama Budha Mahayan dan kultus-kultus Hindu. Budha sinkretis dengan corak tantrisme yang sesuai dengan praktik-praktik magis alam Melayu.

Bagi orang Melayu, agama Budha Mahayana maupun Hindu tetap merupakan agama-agama yang aristokratis. Agama-agama ini sangat sedikit bersentuhan dengan kepercayaan tradisional masyarakat awam, dan biasanya berperan sebagai kultus raja-raja serta mempunyai tugas untuk memperkuat prestise mereka.

Pada abad 13—14, di bidang politik terjadi keruntuhan imperium kehinduan. Di bidang ideologi, agama yang bersifat aristokratis pun runtuh dan digantikan dengan yang massal. Ciri khasnya adalah, khotbah-khotbah yang mudah dipahami. Bagi orang Melayu, agama yang cocok untuk situasi ini adalah Islam.

Sementara itu, masa awal Melayu kuno dalam tradisi sastranya dimulai dari peninggalan sastra India kuno. Abad-abad pertama sesudah masehi telah ditandai dengan perubahan-perubahan hakiki di dalam kehidupan alam Melayu. Pada saat inilah muncul negara-negara pertama di kawasan Suvarnadvipa. Penghinduan telah membuat lahirnya masyarakat berstratifikasi sosial di alam Melayu. Hasil sastra yang muncul biasanya berbentuk folklor sebagai akibat adanya kontak terus-menerus dengan pedagang India. Upacara pembakaran mayat dilakukan menurut tuntutan ritual Hindu. Dan waktu berlanjut hingga tersebar agama Islam. Pada tahun 1292 Marcopolo memberitakan bahwa di Perlak (Sumatra Utara) para penyembah patung (yaitu pemeluk agama Hindu dan Budha) kini telah memeluk Islam.

Perkembangan sastra lisan yang telah dicapai rakyat-rakyat kepulauan menjadi dasar lahirnya sastra tertulis Melayu. Pesatnya perkembangan tradisi tulisan di Sriwijaya, termasuk Palembang, dilihat dari data-data yang menyatakan Sriwijaya abad ke-11 sebagai salah satu pusat bagi dunia Budhisme. I-Ching, seorang musafir China pada abad ke-7 mencatat tentang adanya seribu orang biarawan Budha di Sriwijaya, dan menasihati para musafir sebangsanya yang hendak belajar di India agar singgah dan belajar dengan para guru di Sriwijaya.

Informasi tentang sastra Sriwijaya di dalam karangan I-Ching menyebutkan adanya sastra keagamaan di Sriwijaya yang tertulis di dalam bahasa Melayu kuno. Hal ini dibuktikan dengan adanya doa-doa dalam bahasa tersebut yang tertera dalam prasasti Talang Tuwo tahun 684.

Hasil sastra lain dalam Kitab Tawarikh Sriwijaya mengungkap tentang penangkapan raja Samudra atas perintah raja Siam. Dalam kitab ini terdapat episode perang, yakni raja Palembang yang bersama armada lautnya melarikan diri sesudah kota kedudukannya jatuh ke tangan pasukan Jawa. Ada pernyataan sanjungan bagi kemenangan raja Sriwijaya di dalam sejarah Melayu, yakni ”maka masyhurlah pada segala negeri dari bawah angin datang ke atas angin” bahwa negeri Malaka terlalu besar lagi dengan makmurnya dan rajanya daripada bangsa raja Iskandar Zulkarnain, pancar raja Nusyirwan Adil, raja musyrik maghrib. Maka segala raja-raja sekalian pun datanglah ke Malaka menghadap Sultan Mahmud Syah. (Situmorang dan Teeuw, 1958:90).

Style penceritaan penutup kisahan tentang kejadian-kejadian sejarah yang penting semacam itu sering terdapat di dalam kronik-kronik Melayu. Namun menjadi agak samar apakah kemiripan style tersebut mencerminkan kemiripan antara Kitab Tawarikh Sriwijaya dengan cerita-cerita sejarah dari zaman Islam, ataukah hanya penunjukan bahwa ada pengulangan adegan saja. Juga tidak gampang untuk menetapkan, apakah nada didiaktis dalam Kitab Tawarikh Sriwijaya itu merupakan gaya penuturan Islam atau akibat pengaruh Budhisme.

Berkait dengan sejarah Melayu, ada kisahan yang mengungkapkan cikal bakal negeri orang-orang Melayu, yaitu sang Utama yang turun ke Bukit Siguntang Mahameru di Palembang. Dalam cerita ini diungkap tentang Lembu Ajaib bernama Perak. Lembu ini menghembuskan buih, dan dari padanya muncul Bat, yaitu orang yang memuji-muji raja dengan kata-kata sanjungan, dan memberi julukan Seri Teri Buana, serta mengesahkan perkawinannya dengan Wan Sendari, seorang putri dari penghulu setempat Demang Lebar Daun.

Dari sedikit nukilan cerita di atas dan paparan tentang kemelayuan di Palembang pada zaman Budhisme-Hinduisme dapat dikemukakan bahwa sastra Melayu kuno merupakan suatu sistem genre yang terdiri dari empat lingkaran konsentrasi, yaitu: 1) kanon teks suci agama Budha; 2) tafsir-tafsir dan teks-teks yang berdampingan dengan kanon; 3) lingkup fungsional; 4) lingkup nonfungsional.

Dari karakteristik sistem sastra di atas, dapatlah dinyatakan bahwa pada zaman Islam karya-karya tersebut terlupakan. Tulisan yang dapat diabadikan biasanya berkategori keagamaan dan fungsional.

Sastra Melayu Palembang Zaman Keislaman

Masa abad 13—14, di negara-negara Sumatra, sendi-sendi budaya corak Hindu melemah, sementara itu budaya awam kalangan menengah sudah memerlukan wadah bagi ideologinya yang makin berubah, dan inilah yang membuka perluasan penerimaan Islam.

Runtuhnya Sriwijaya, memberi peluang pada raja-raja Islam untuk memperbaiki kebesaran namanya. Namun, usaha ini tidak diberikan pada raja-raja Pasai, melainkan pada raja Palembang, keturunan maharaja imperium jaya bernama Paramesywara, atau Iskandar Syah yang akhirnya dihancurkan Majapahit pada tengah abad 14.

Pada awal Islam ini, sastra cukup berkembang utamanya yang berkaitan erat dengan folklor. Penceritaannya cukup beragam, mulai dari penceritaan tentang putra-putri bangsawan, hingga tentang majelis-majelis atau sidang sastra. Terbentuknya sastra awal Islam ini sejalan dengan tahapan awal penerimaan orang Melayu terhadap Islam.

Dari hasil rekonstruksi terlihat bahwa dalam sastra Melayu awal Islam, mungkin telah dimasukkan tulisan-tulisan dalam bahasa Arab, yang disusun di luar Melayu, tentang sendi-sendi Islam, fikih, tata bahasa Arab dan tasawuf. Bahasa Melayu baru dapat menyusup ke wilayah pusat sastra Melayu Islam pada zaman klasik. Dengan demikian struktur sastra awal Islam masyarakat Melayu secara menyeluruh memperlihatkan bahwa sejak diterimanya Islam, karya-karya yang jelas bernafas Hindu dan Budha, antara lain puisi-puisi pujian tidak lagi digunakan. Bahasa Sansekerta berangsur-angsur diganti dengan bahasa dan aksara Arab, dan belum bahasa Melayu. Padahal pada karya-karya dari lingkup nonfungsional yang tidak sekuat karangan lingkup fungsional dipengaruhi Budha dan Hindu dan sudah mulai ditulis dalam bahasa Melayu. Proses pengislamannya dan peralihan kepada kaidah-kaidah sastra dan nilai-nilai budaya Islam berjalan perlahan-lahan masih dalam bentuk hidup berdampingan.

Ada dua jenis sastra yang telah menentukan wujud sastra Melayu zaman peralihan awal Islam ini. Pertama, adalah hikayat yang berprototipe dalam sastra Melayu kuno. Kedua, kronik historis yang seperti cerita epik, yang dalam historiografi Melayu disebut sejarah. Cerita jenis ini mempunyai dua peranan. Pertama, memberi penegasan tentang derajat kebangsawanan dan memberi pengesahannya pada sesuatu dinasti Melayu. Kedua, menceritakan nasib suatu negeri atau penguasa yang disusun sebegitu rupa, sehingga arti yang dikandung dalam kejadian-kejadian atau hakikat kekuatan gaib yang bertindak tak kasatmata di bawah ”permukaan” kajadian itu menjadi tersingkap.

Situasi di atas menempatkan tujuan didaktis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cerita-cerita kronik berciri historiosofis di samping historiografis. Susunan kronik zaman awal Islam terdiri dari dua bagian, yaitu pertama mitos tentang asal-usul dinasti tertentu, dan kedua tentang zaman sejarah. Bagian ini terdiri dari dua macam unsur. Pertama, unsur-unsur geneologis, yaitu silsilah raja-raja yang berpangkal pada mitos asal-usul tersebut dan menyusunnya dalam urutan cerita yang lengkap. Kedua, unsur-unsur naratif berupa cerita-cerita tentang kejadian penting yang di dalamnya terwujud nasib negara yang bersangkutan. Berikut sekelumit cuplikan kisah tentang asal-usul Puyang Gumai yang diperoleh dari keturunannya yang ke-21, yaitu Bapak Usman Gumanti. Kisahan ini telah disalin ulang dan dirawat bersama-sama benda keramat lainnya jurai tue (keturunan yang tertua) . Cerita ini berjudul Diwe Sekemilung.

Diwe Sekemilung adalah anak dari Ratu Kebuyutan yang kawin dengan Ratu Geraha. Ratu Kebuyutan dikenal dengan sebutan Puyang Gumai. Ratu ini memiliki lima saudara: empat perempuan dan satu orang laki-laki, yaitu: 1) Putri Kembang Dadar yang kawin dengan Dewa Sejengkal Alam di Bukit Siguntang Mahameru Palembang, 2) Putri Kembang Petang yang kawin dengan Tuan Raja Nyawa di Gunung Semeru, 3) Putri Kembang Tanjung yang kawin dengan Ngawak Mating Siagan, 4) Putri Kembang Melur yang kawin dengan Ngawak Sidang Kursi, 5) Ratu Kebuyutan, yang kawin dengan anak Ratu Geraha.

Setelah menikah, Ratu Kebuyutan menetap di dusun Bebarau. Dari hasil perkawinannya dengan Putri Ratu Geraha, lahir tiga orang anak: 1) Diwe Sekemilung, 2) Dayang Suri Dendam, 3) Dayang Renik Dabung. Dayang Suri Dendam telah menikah dengan orang Niukh Sayak di daerah Ogan, sedangkan Diwe Sekemilung dan Dayang Renik Dabung, belum menikah.

Dalam kisah ini diungkap keinginan Diwe Sekemilung untuk menikahkan adiknya. Namun, adiknya memberi syarat berat, yakni pria yang tidak memiliki pusar. Pendek cerita, akhirnya pemuda tersebut didapat yang ternyata jelmaan dari seekor naga. Dengan beberapa peristiwa yang dialami tokoh cerita ini, diantaranya saat dia diuji untuk mendapatkan seekor burung yang hinggap di pohon tinggi dan lapuk hingga akhirnya dihadiahi oleh Raja Ratu Aji Selabung berupa pernikahan dengan putrinya yakni Putri Remang Aji, kisah ditutup dengan lahirnya sembilan orang putra keturunan Diwe Sekemilung, yakni: 1) Puyang Panjang, ada di Kabupaten Muara Enim, 2) Puyang Remanjang Sakti, ada di Lahat, 3) Puyang Indang, ada di Pesisir Bengkulu,4) Puyang Remindang, ada di Minangkabau, 5) Puyang Untu, ada di Komering Cempaka, 6) Puyang Gemuntu, ada di Lintang Kanan Lahat, 7) Puyang Ului, ada di Musi Balui (Tangga Buntung), 8) Puyang Mesului, ada di Pangkalan Balai, dan 9) Puyang Permate, ada di Merapi Lahat.

Ada beberapa peristiwa yang menarik dalam cerita ini. Misalnya tentang adik ipar Diwe Sekemilung yang tinggal di Danau Ranau (karena dia seekor naga?) dan pesan dari Diwe Sekemilung kepada sang naga untuk tidak mengganggu keturunan mereka dengan ciri-ciri yang sebenarnya tidak perlu diungkap, yakni 1) telapak kakinya kuning saat di dalam air, 2) air liurnya terapung kalau di dalam air, dan 3) kalau menceburkan diri ke air akan mendahulukan perutnya.

Komposisi cerita di atas jelas merupakan gejala setempat. Hal ini dapat dilihat dari nama tempat dan beberapa peninggalan yang ada saat ini. Sesudah menerima Islam, wilayah Melayu Palembang dan sekitarnya mengenal prinsip-prinsip historiografi Islam.

Karya-karya sastra Melayu awal Islam lainnya yang muncul pada paro kedua abad 17 adalah jenis cerita panji, di antaranya adalah Hikayat Andaken Penurat. Cerita ini digubah akhir abad 18 oleh Ahmad Ibnu Abdullah (orang Palembang).

Inti cerita ini menggambarkan tabiat dan tingkah laku manusia yang sungguh-sungguh hidup dari balik norma-norma ketat sopan santun, dan dari balik emosi-emosi yang menurut tradisi dilukiskan secara lahiriah dan konvensional saja. Demikian juga segi-segi kejiwaan para pelaku tersingkap dari balik deskripsi-deskripsi yang menurut pandangan kontemporer -tetapi tidak pada pandangan pembaca Melayu tradisional- direka-reka terlampau melodramatis. Adalah raja negeri Pura Negara yang tidak memandang ”berat” tingkah laku putra kesayangannya, Andaken Penurat. Dengan lembut ia selalu menenteramkan hati permaisuri dan berkata: ”sudahlah adatnya laki-laki itu gemar beristri banyak”.

Ciri istimewa hikayat ini ialah nadanya semakin bersuasana tragis. Tema kehancuran dua pelaku utama sudah dipastikan sejak awal hikayat, dan hanya dapat dicegah dengan campur tangan Batara Kala. Seluruh isi hikayat penuh dengan kata-kata para punggawa istana dan bahkan raja, yang diulang berkali-kali bahwa memandang dengan rasa kagum cantik dan tampannya pasangan kekasih, mereka merasa seakan-akan melihat sepasang putra-putri untuk terakhir kali dan serasa hendak mengucap selamat berpisah buat selama-lamanya.

Dengan psikologisme penceritaannya, hikayat ini menampilkan ragam citra dan lambang dari alam sebagai sumber perasaan-perasaan manusiawi yang tidak kunjung kering, sekaligus memberi pesan bahwa apapun peristiwa hidup yang dijalani, termasuk ragam konflik, merupakan bagian dari sifat manusia, sedikit terlepas dari acuan kehidupan sebelumnya.

Dari uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa dalam sistem sastra Melayu, penciptaan karya berawal dari hasil kenaikan rohani pengarangnya melalui proses kreatif. Hadir sebagai alat untuk membentuk atau mentransformasikan segenap struktur diri dengan sebaik-baiknya.

Friksi Agama Etnis dalam Realita: Ketakpengaruhan Nilai Harmonisasi Budhisme-Hinduisme
dan Kesufian Islam dalam Cerita Sejarah Melayu Palembang

Beberapa tahun silam, tepatnya saat kejatuhan orba tampak jelas bahwa hubungan antarmasyarakat yang ada di negeri ini tak lebih dari sebuah hubungan ”kepentingan”. Mungkin ini salah. Tetapi fenomena ini terlihat jelas di kota Palembang, yang dalam uraian terdahulu dinyatakan cukup bersahaja dan penuh kesantunan. Tidak pernah ada singgungan kehidupan, apalagi yang sempat mempertaruhkan masalah agama yang sebenarnya alat penjamin kebersatuan masyarakat.

Palembang adalah kota sejarah sekaligus kota agama tempo dulu. Ini terlihat jelas dari silih bergantinya agama yang masuk dan ini tidak pernah menjadi suatu perdebatan yang serius. Pada masa ini banyak muncul karya besar yang dalam setiap penceritaannya, membawa makna kedalaman kekayaan batin dan pikiran orang masa itu. Cerita-cerita yang bernuansa agama banyak bermunculan sebagai pertanda bahwa agama adalah alat perdamaian.

Harmonisasi Budhisme-Hinduisme masa itu dan kesufian Islam, menambah semarak kekayaan estetika dan cara pandang terhadap persoalan hidup, apalagi menyangkut hubungan antarmasyarakat, friksi agama-etnis jauh dari pemikiran. Yang ada hanyalah kebersamaan. Kembali ke persoalan awal, apa yang terjadi pada beberapa tahun silam itu?

Masih teringat oleh penulis, Palembang menjadi mencekam. Sebelumnya, dalam keseharian masyarakat berbaur dan berinteraksi dalam banyak hal; dalam jalinan beragam aktivitas. Tapi ternyata hal itu hanya tipuan seperti bom waktu yang siap meledak. Tanpa maksud menyalahkan siapa-siapa penulis melihat bahwa terjadi friksi agama-etnis di kota ini. Orang-orang keturunan etnis China yang notabene nonmuslim secara beramai-ramai memberi label rumah mereka dengan dua pernyataan ”pribumi” dan ”muslim”. Ada apa ini?

Orang-orang pribumi yang notabene kebanyakan muslim dan miskin menjadi beringas karena beragam kecemburuan yang secara taksadar diciptakan oleh sistem di wilayah ini. Kurangnya pembauran dan ekslusifisme perayaan agama, perkawinan suku tertentu yang menutup pintu rapat-rapat bagi agama lain untuk silaturrahmi menjadi salah satu pemicu. Pernyatan sederhana yang muncul adalah perlu pembauran (terlepas dari ketidaktahuan saya di wilayah lain).

Kejadian tragedi Mei ini, hingga beberapa bulan berikutnya menyisakan kepedihan yang sampai saat ini belum ada penyelesaian. Yang sebenarnya saat ini semakin mencemaskan, kelompok kaya dari etnis tertentu secara beramai-ramai memagari rumah dan tempat usaha mereka dengan tembok beton dan pagar besi yang tinggi. Ini sebenarnya sebuah perlawanan yang sangat mungkin kejadian serupa akan berulang dan mungkin lebih tidak terkendali. Sadarkah mereka. Sadarkah kita bahwa yang dibutuhkan adalah pembauran dan pemaknaan keadilan yang benar.

Peristiwa ini adalah antiklimaks dari kejayaan Melayu Palembang dalam cerita-cerita tentang kesufian Islam, dan kemesraan hubungan antar agama-etnis pada masa lalu. Dari peristiwa ini, berikut kita lihat kekinian masyarakat Palembang dalam perikehidupan agama dan variasi etnis yang ada.

Berdasarkan agama yang dianut, penduduk Palembang mayoritas beragama Islam (97%), kristen protestan (1,3%), katholik (1,5%), lainnya (0,2%). Agama Islam umumnya dianut oleh sebagian besar etnis Palembang, Jawa, dan Minang. Sedangkan etnis Batak sebagian besar penganut protestan dan katholik. Agama Budha dan Hindu kebanyakan dianut warga etnis China. Menurut data lapangan ada banyak warga etnis tertentu memeluk agama Islam yang sangat eksklusif. Mereka umumnya tidak mau bergaul dengan lingkungan yang tidak sealiran dengannya, bahkan seringkali mereka merendahkan agama yang dianut etnis lain. Ini sangat bertolak belakang dari perikehidupan zaman Melayu klasik yang sangat berhati-hati dalam menilai sesuatu. Dan terkadang dapat menempatkan kelompok tertentu dalam fanatisme sempit. Ini terlihat dalam ungkapan sastra Melayu berikut ini.

Tulisan Syihabuddin, yakni Risalah (sekitar tahun 1750) yang termasuk prosa fiksi, mengecam keras para sufi Melayu yang baru memasuki jalan pengenalan tasawuf dan belum sempat mengatasi ”syirik internal” yaitu masih mengharapkan sesuatu lagi selain Allah tetapi sudah berani menafsirkan rumus tauhid ”tiada Tuhan selain Allah” sebagai tiada wujud lain selain wujud Allah. Penafsiran ini hanya bisa dibenarkan bagi seorang sufi yang telah tinggi tingkatannya, sedangkan bagi telinga awam terdengar sebagai ungkapan kafir.

Tapi satu hal yang mungkin dapat menjadi bibit ketidakcocokan antarpemeluk agama adalah pandangan sufisme tempo dulu dalam melihat agama/kepercayaan yang dianut oleh kelompok lain. Hal ini terlihat dalam tulisan Abdul as-Samad dalam ”Lubab ihya Ulum ad-Din” (inti penyegaran kembali ilmu ketuhanan). Tuhfat ar-Raghibin (karunia bagi yang sangat mendamba), dia melontarkan kecamannya terhadap praktik-praktik animisme yang masih tersebar luas dalam bentuk pemberian sesaji-sesaji kepada arwah setempat.

Terlepas dari konteks kesejarahan yang telah mempunyai anggapan tertentu tentang masalah agama-etnis ini, berkembangnya situasi beberapa tahun silam yang telah mengarahkan kita pada satu jawaban bahwa telah terjadi perpecahan agama-etnis, akan menjadi suatu putusan kita sendiri secara sendiri-sendiri untuk menuntun arah perikehidupan bermasyarakat kita. Khusus bagi warga Palembang, kepercayaan publik tentang tingginya nafas keislaman hendaklah menjadi pemersatu dan menjadi jalan keluar bagi persoalan masyarakat yang memang konflik internal terjadi disebabkan oleh masalah ekonomi yang terpicu dari masalah kecemburuan dengan menonjolkan faktor agama-etnis.

Pada zaman abad pertengahan, sastra Melayu Palembang (klasik) peranannya sangat luas yang mempunyai arti antar etnis bagi bangsa-bangsa yang berbahasa Melayu. Dia tidak saja menjadi bahasa bagi etnik tertentu, tetapi juga sebagai bahasa perdagangan, kebudayaan, dan agama. Untuk itu karya-karya sastra yang diciptakan dengan bahasa itu pun memegang peranan sebagai sastra pengantar. Peranan antaretnik menjadi sangat menonjol pada akhir abad ke-13, yaitu sejak Islam disebarkan di kawasan ini, sehingga berangsur-angsur bahasa Melayu berperanan besar sebagai pengantar agama Islam.

Pada masa pertengahan ini, agama tertentu mempunyai kedudukan utama, dan peranan sebagai sarana strukturalisasi di dalam wadah ideologis. Perubahan penting yang terjadi di bidang keagamaan (misalnya dari Hindu-Budha ke Islam), telah memberi warna tersendiri dalam evolusi sastra. Ada yang menarik dari syair sejarah Palembang dalam kaitannya dengan persoalan agama yang memang sangat kuat melekat pada sebagian masyarakatnya. Syair ini ditulis tahun 1819 (anonim) dengan judul Syair Perang Menteng. Syair ini berkisah tentang perang penduduk Palembang yang mengalahkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Menteng (Komisaris Belanda H.W. Muntinghe) dan pasukan sekutu Melayunya di bawah pimpinan Raja Akil. Menurut syair ini yang menjadi otak perselisihan ialah serangan sekelompok haji di Palembang terhadap seorang opsir Belanda oleh karena selagi berzikir sufi mereka telah lupa ingatan dan akhirnya menjadi beringas. Pokok utama cerita ini ialah kisahan perang mati-matian mempertahankan istana Sultan Palembang, Mahmud Badaruddin. Dalam perang ini lasykar Palembang berhasil membuat musuh-musuh menderita kerugian besar, sehingga mereka terpaksa lari ke Bangka. Memoar besar yang tersimpan dalam benak orang Palembang adalah ungkapan ”Pelabur habis, Palembang tak kalah” (drewes, 1977:201).

Dari rentetan kisah baik puisi, syair, cerita sejarah, panji, hikayat, dan sebagainya yang melingkupi ”wong Palembang” tempoe doeloe, garis merah yang diungkap cukup tebal dan kentara tentang bagaimana Palembang dalam kaitan dengan keheroikan agama-etnik dan perilaku lainnya yang mungkin berimbang pada situasi kekinian. Ataukah kisahan itu sama sekali tak berarti apa-apa mengingat ”sekarang” sudah terbentuk ”kesekarangan” yang serba ”cepat” dalam segala hal. Bukan oleh sejarah.

Makna sastra ”dulu” memberikan kontribusi besar bagi ketradisian sekarang masyarakat Palembang. Hal yang bisa diungkap adalah pada masa Melayu kuno Budhisme-Hinduisme, telah banyak lahir sastra yang berkualitas. Walaupun sebagian karya tersebut ditulis dalam bahasa Sansekerta, namun ia mengandung banyak karya dalam bahasa Melayu. Karya yang lahir berisi puji-pujian terhadap dewa-dewa dan raja-raja yang didewakan, serta tulisan sejarah lainnya.

Sastra yang lahir pada abad 13 dan 14 mengalami proses pemelayuan yang cepat. Pada masa ini terjadi penyerapan genre “kisah petualangan ajaib” dan cerita kepahlawanan ke dalam sistem sastra kuno. Situasi di atas memunculkan saling pengaruh antara dua tradisi, massal, dan elitis yang membentuk kebudayaan campuran yang berorientasi pada bahasa Melayu. Kebudayaan inilah yang menjadi dasar lahirnya sastra Melayu awal Islam.

Sebagai hasil dari saling pengaruh antara unsur sastra yang kuno dengan unsur sastra baru, yaitu yang menerima inspirasi dari seni Arab-Parsi, timbullah genre hikayat dan genre sejarah. Sastra Melayu pada zaman awal awal Islam ditandai dengan ciri-ciri peralihan. Pada satu sisi sastra Melayu diperkaya dengan serangkaian karya-karya Islam terjemahan, dan pada sisi yang lain di dalam sastra itu tercipta karya sastra yang beralur cerita epos Sansekerta dan cerita panji. Selanjutnya, pada abad ke-16 s.d. 18 sebaran Islam secara lebih mendalam menyebabkan pengislaman secara mendasar terhadap sastra Melayu.

Akhirnya, dapat disampaikan bahwa selama proses perkembangan sastra Melayu Palembang yang berabad-abad itu terbentuklah suatu ”penyeluruhan” sistem sastra yang meliputi alur-alur cerita, motif-motif naratif, tema, tipikal tokoh sastra, dan model-model sastra. Tahapan-tahapan yang telah dilalui dari satu masa ke masa lain, telah membentuk citraan tersendiri terhadap sastra Melayu Palembang. Setidaknya fenomena masyarakat dahulu yang terungkap dalam sastra dapat menjadi bahan renungan untuk melihat bagaimana pergolakan batin masyarakat saat ini yang mungkin ”sudah berbeda” dalam menghadapi persoalan sosial yang ada. Tentu gejala friksi agama-etnis tidak dapat diabaikan mengingat hal ini dapat mengganggu kelangsungan ketentraman kehidupan bermasyarakat.


*) Penulis adalah Dosen pada Universitas PGRI Palembang.

Daftar Bacaan

Ahimsa Putra, Heddy Sahri. 1999. ”Pola Komunikasi Budaya Antar Etnis”. Makalah disampaikan dalam Pembinaan Teknis Sosial Budaya. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.

Braginsky, V.I. 1998. YANG INDAH, BERFAEDAH DAN KAMAL: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7—19. Jakarta: INIS

Coedes. 1968. The Indianazed States of South East Asia. Honolulu: East-West Center Press.

Djamaris, E, dkk. (penyunting). 1989. Antologi Sastra Indonesia Lama. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.

Drewes, G.W.J. Directions for Travellers on the Mystic Path. The Hague: Nijhoff.

http//www.Kompas.com/Kompas_cetak/0309/29/teropong/557754.htm. Diakses 6 Juni 2006. Melihat Naskah Kuno Palembang (Nur Hidayati).

Hussein, Ismail dan Kalthum Ibrahim. 1990. Bibliografi Sastra Melayu Tradisi: Bangi: Perpustakaan cabang IBKKM.

Iskandar, T. 1995. Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Brunei: Jabatan Kesusastraan Melayu Universiti Brunei Darussalam.

Jusuf, Jumbari. 1978. Syair Burung Nuri. Jakarta: Depdikbud.

Muhammad Haji Salleh. 1991b. ”Duka Sengsara Yang Indah: Estetika Melayu dan Duka Alam”. Ilmu-ilmu Humaniora. Persembahan bagi Prof. Siti Baroroh Baried dan Prof. Sulastin S., hal. 209—223. Yogyakarta: UGM

Muriel Savile-Trolke. 1990. The Ethnography of Communication, Basil: Blackwell inc.

Robson, S.O. 1969. Hikayat Andaken Penurat. The Hague: Nijhoff.

Situmorang, T.D. dan A. Teeuw. 1958. Sedjarah Melaju Menurut Terbitan Abdullah: Djakarta: Djambatan.

Stanfield, H.J.H. 1994. Ethnic Modelling in Qualitative Research, dalam N.K. Denzin dan Y.S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publications.

Sweeney, A. 1992. Malay Sufi Poetics and European Norms. Journal of the American Oriental Society 112, 1: 88—102.

Winstedt. 1991. A History of Classical Malay Literature. Revised, edited, and introduced by Y.A. Talib. Petaling Jaya: Eagle Trading.

Zuber Usman. 1960. Kesusastraan Lama Indonesia. Djakarta: Gunung Agung.

Tidak ada komentar: