12 Juni 2008

Puisi Itu Adalah Tangis

Oleh Aji Setiakarya

Gerimis menitik di atas langit Rumah Dunia. Perlahan membasahi rambut-rambut yang telanjang. Termasuk rambut saya. Anak-anak yang biasa datang ke Rumah Dunia (RD) itu sorak sorai, mewarnai Minggu pagi, 10 Februari 2008. Suara mereka seperti banjir yang tak berirama dan tak beraturan. Tapi di sanalah tenaga itu ada. Tenaga yang membuat kami terus hadir. Yang membuat suasana semakin hangat dan bahagia. Tangis, canda dan juga rasa iba mereka. Suara merdu anak-anak, generasi Banten itu tak boleh diredam apalagi ditekan.

Saya, Deden, Pak Indra, Roy, Awi dan Oki, adik saya, terus menata perlengkapan acara untuk hajat besar; Wong Cilik Baca Puisi. Dari mulai mix, proferti juga kursi-kursi kami siapkan. Sementara peserta satu persatu tiba menghampiri panggung. Mereka ada yang penarik becak, ojeg, petani, ibu rumahtangga. Diantara mereka ada yang sudah kenal dengan kami sehingga hanya tertawa-tawa dan melempar sernyum. Ada juga yang tak kenal, tapi mereka menyapa tulus para relawan. Kami merasa mereka membuat kami bahagia. Merasa tidak ada sekat. Di antara mereka yang datang, tidak hanya untuk sekedar mengikuti lomba. Banyak yang cerita ke kami. “Saya ingin berekspresi saja. Dan senang-senang,” kata salah satu peserta.

Hidup mereka memang buram, pedih dan penuh luka. Itu tampak dari puisi-puisi yang ditulis, mengusik hati kami. Dan lebih nampak saat puisi itu dibacakan di panggung. Pertama yang mendapatkan giliran membaca adalah Mang Sapit, seorang buruh sawah yang juga tukang sampah di RD. Kami begitu responsif saat ia membacakan puisinya dengan percaya diri. Judul puisinya adalah do’a ibu. Ini orisinil karya dia. Tapi herannya, meski judulnya do’a ibu isinya keluh kesah dirinya menjadi seorang buruh tani yang miskin dan susahnya hidup di tengah himpitan ekonomi. Maksudnya, mungkin ia ingin membawakannya dengan haru. Namun, ia tidak bisa menciptakan kesedihan, karena rambutnya yang gondrong dan gayanya yang nyentrik. Penonton malah tertawa. Sapit mengakhiri puisinya dengan indah, tepuk tangan membahana.

Setelah Sapit turun panggung, suasana mulai mengharu. Seorang peserta bapak-bapak membuat ulah dengan membacakan puisi penderitaan. Judulnya saya lupa, namun suaranya yang halus dan dibawakan dengan mimik yang lesu, membuat merinding. Karena olah orangtua yang mengaku bekerja serabutan ini membuat mata ibu-ibu meleleh berbaur dengan derai tawa dan tangis anak-anak ingusan. Tak ada yang bisa membendung, suasana itu benar-benar haru.

Puisi itu benar-benar menggores bagian para peserta. Memang aku baru pertama kali menyaksinkan sebuah puisi dibuat dan dibacakan juga oleh seorang pengayuh becak. Jika dilihat dari apresiasi puisi yang sederhana puisi-puisi yang dibawakan pada acara itu memang puisi yang lahir dari hati. Puisi yang dikemas dengan bahasa ringan, bahasa seorang ojeg, bahasa seorang sopir yang tidak menjelimet. Analisis ini bisa jadi salah, tapi terus terang saya menikmati puisi-puisi mereka. Puisi itu seperti berdialog dengan hati kita. Betapa kejamnya kehidupan ini. Dadi RsN yang menjadi dewan juri mengaku baru pertamakali menemukan perlombaan baca puisi yang membuat dia harus berpikir dan serius memperhatikan para pesertanya.

Ya, bisa jadi mereka adalah orang-orang marginal, orang-orang yang asing dan jarang membaca puisi. Tapi puisi-puisi mereka adalah puisi-puisi yang lahir dari ketulusan. Kita harus memberikan ruang yang lebih luas kepada mereka untuk berkspresi membaca puisi. Karena jika kita ditanya; apa yang kamu cita-citakan? Kita tidak akan menjawab, ingin menjadi penarik becak, ojeg, atau profesi-profesi lainnya yang kurang menguntungungkan.

Keterangan foto: aji/salah peserta, pengayuh becak sedang membacakan puisi (http://www.rumahdunia.net}

Tidak ada komentar: