01 Mei 2008

Kekuasaan dan Hukum

Edisi Mei 2008

Wannasib pulang ke rumah, dia baru saja memberi ceramah di sebuah forum diskusi. Suasana diskusi masih melekat di pikirannya, sehingga masih terbawa-bawa emosi kejengkelannya manakala dia tiba di rumah. Hasilnya? Pintu rumah dia banting. Daaaaaar! Biduani istrinya tetap saja tersenyum manis menyambut suaminya.

Tadi di kampus Wannasib sangat jengkel karena dikejar berbagai pertanyaan yang aneh-aneh dari para mahasiswa. Alih-alih, Wannasib naik pitam. Padahal, dalam hati dia mengakui bahwa sajian diskusi tentang seputar budaya dan hukum tak ada masalah. Soal kebenaran (bukan:pembenaran) dan soal keadilan (bukan pengkerdilan), dua hal itu dia bahas tuntas. Apalagi?

Wanasib tadi memang sudah bercerita panjang lebar mengenai hukum, mulai dari hukum pidana, hukum perdata, hukum pancung, hukum gantung di negara jiran, hingga hukum cambuk di Nangro Aceh Darussalam dan hukum karma yang menimpa Pak Lurah di kampung. Semua itu diserempet oleh Wannasib.

Tadi Wannasib dikejar-kejar pertanyaan sehingga dia sulit untuk melarikan diri. Secara bijaksana Wannasib harus menampung semua itu meski ada beberapa pertanyaan itu rumit dan membuat pikirannya macet dan mumet. Betapa tidak, beberapa mahasiswa tetap tidak puas dengan jawaban yang diberikan, sehingga berlanjut jadi debat kusir di luar forum diskusi sehingga Wannasib tidak saja dikejar malah dikerjai. Bahkan, beberapa mahasiswi berani membetot-betot jas abu-abu yang dipakai Wannasib.

Sekarang Wannasib mengingat kembali adegan yang menegangkan bagi dirinya ketika di kampus. Terkesan dalam benaknya ketika seorang mahasiswa berambut gondrong kriting begitu aktratif menarik-narik jasnya. Dia terbayang wajah Kaka vokalis Slank yang pernah dilihatnya di televisi.

“Konon negara kita adalah negara hukum,” kata Wannasib mengawali pembicaraan dalam forum itu. “Hukum berkedudukan tinggi,” katanya lagi. “Sehingga praktik kekuasaan (pemerintah) tidak berpaling dari undang-undang, dan tak pindah ke lain hati” imbuhnya dengan penuh semangat. Wannasib bilang, kekuasaan tunduk kepada hukum, bukan hukum tunduk pada kekuasaan sehingga kekuasaan membatalkan hukum.

Menurutnya lagi bahwa hukum bukan untuk menghukum rakyat, namun untuk melindunginya. “Loh kok bisa begitu ya?” Potong seorang mahasiswa.

“Ini menurut saya, dalam hukum kan terkandung nilai kebenaran dan keadilan yang harus diemban dan ditegakan, bukan untuk dibenar-benarkan sendiri,” jelas Wannasib sembari memandang tajam kearah mahasiwa itu.

“Socrates, Rousseau, Strong. Gruys, Hobes, Yudhistira, Buyung…….di mana kau saat ini?” Demikian Wannasib ngoceh sendirian bak seorang aktor yang sedang menghafal naskah teater. Wannasib tak sadar istrinya tengah memperhatikannya.

“Bang, mau pentas di mana?” Tegur sang istri. Wannasib cuma bisa senyum-senyum. “Lusa saya diundang berbicara di sebuah hotel, jadi saya harus latihan sedikit,” jelas Wannasib kepada Biduani.

Seusai ceramah Wannasib sakit kepala karena dia tak bisa menolak wawancara dari seorang wartawan hukum di ruang kerja dekan universitas. “Bung, saya pikir semua pembicaraan tadi sudah cukup jelas, tapi saya akan cerita tentang sesuatu untuk Bung,” ujar Wannasib. “Cerita apa?”

Wannasib tiba-tiba teringat akan cerita tragedi romantik sekaligus tragedi komedi dari seorang pemuda bernama Lothario. Di ruang pengadilan, kata Wannasib kemudian, adalah Lothario didakwa hakim karena membunuh Barberce. Namun, sang pemuda mengelak tuduhan karena dia tak membunuh Barbece. Apalagi dia disebut-sebut telah melakukan mutilasi, yakni mencincang tubuhnya. Lothario gemetar, wajahnya pucat dan berkeringat dingin. Rasa-rasanya saat itu nyawanya berada diujung tanduk.

Kemudian, tambah Wannasib, dengan tiba-tiba muncul Barbece dalam ruang pengadilan dengan sehat-sehat saja. Para hakim melongo melihat kemunculan Barbece, namun tidak bagi Lothario. Dia justru sangat gembira. “Syukurlah Tuan hakim. Tuan tengok bahwa saya tak membunuhnya,” kata Lothario senang. Namun rasa senangnya lenyap. Dia jadi jadi terkejut karena hakim memutuskan. “Hem…jadi kesalahan ketiga masih ada,” jelas hakim sambil memandang tajam Lothario. “Polisi, seret orang itu. Dia harus digantung. Dia bersalah karena sombong,” kata hakim dengan suara yang lantang.

Wannasib menghentikan ceritanya. Wartawan yang mewawancarainya hanya manggut-manggut. “Apa maknanya,” tanya wartawan itu.

“Maknanya, Lothario itu memang tidak pernah berpikir siapa di balik keputusan hakim itu,” jawab Wannasib. Akan tetapi, bagi Wannasib hal itu menjadi beban pikirannya. Karena dia merasakan ada gambaran yang sama dengan situasi hukum di negerinya kemarin dan hari ini. Terbayang olehnya wajah orang-orang yang diputuskan bersalah oleh pengadilan meski sesungguhnya tak besalah. Wannasib yakin kalau semua itu ada kekuatan di baliknya, bukan hukum tapi kekuasaan. /anwar putra bayu/

Tidak ada komentar: