23 Mei 2008

Kebangkitan







Peringatani Seratus Tahun Kebangkitan Nasional 1908-2008.

Teks itu berlari dan menghilang. Ekor mata tak sempat mengejarnya. “Betul-betul peringatan,” kata Wannasib bergumam sambil menikmati acara televisi malam itu di rumah Ian.

“Kau ngomong apa tadi, kurang jelas,” sahut Ian yang duduk tidak jauh dari Wannasib. Selain tuan rumah, Wancik dan Ahmad juga tampak duduk lesehan di dekat mereka.

“Ya, betul-betul peringatan.”

“Maksudnya peringatan apa?”

“Ya, peringatan untuk bangsa ini. Lihat lima malam kemarin seluruh televisi secara kompak menyiarkan siaran langsung peringatan itu dengan penuh gebyar dan kolosal di tengah kehidupan yang memprihatinkan. Menariknyanya lagi, di sela-sela acara itu tampil pertunjukan dari TNI dan Polri dengan berbagai aktrasi senjata dan ototnya.”

“Lalu apa hubungannya dengan kata peringatan katamu tadi?”

“Itu artinya acara kebangkitan di istora Senayan itu semacam peringtan kepada rakyat bahwa TNI dan POLRI masih solid dan siap mengawal negara dari ancaman pihak luar dan dalam. Selain itu ada histeria nasionalisme di sana,” jawab Wannasib.

“Ah, itukan hanya nasionalisme yang bergenit-genit dan bermanis-manis,” kata Ahmad menambahkan.

“Lho, kok begitu?” giliran Wannasib bertanya. Ahmad tersenyum. Ian menganggap bahwa pernyataan kawannya itu tidak serius.

“Lihatlah ketika pemerintah menaikan harga BBM, maka mahasiswa dan elemen masyarakat berdemo menolak dan melawan kebijakan pemerintah kita, di balik itu tentu ada sprit kebangkitan, di balik itu pula ada spirit nasionalisme, keduanya itu nyata bukan ritual atau sekedar retorika pidato,” jelas Ahmad penuh semangat.

“ Ternyata bisa juga kau serius,” sambut Ian sambil tertawa.

“ Tapi itu kan kebangkitan emosional,” sambung Wancik kemudian.

“Lha, justru itu menurutku malah kebangkitan rasional. Rakyat sekarang sudah berpikir rasional, justru pemerintah yang tidak rasional, malah pemerintah yang emosional. Buktinya BLT yang diberikan itu tidak lagi rasional, justru rakyat dibuat emosional untuk saling berebut,” kata Ahmad berkobar. Wannasib mengangguk-anggukan kepala tanda bahwa dia sepakat. Dalam lubuk hatinya yang paling jauh dia merasakan pikiran Ahmad yang berkecamuk serta semangatnya yang meledak-ledak.

Tiba-tiba Wannasib teringat berbagai peritiwa yang terjadi dan menimpa negerinya. Terlebih ketika peristiwa yang berhubungan dengan rasa kebangsaan, rasa solidaritas, serta rasa kecintaan terhadap tanah air. Dua istilah yang dilontarkan oleh Ahmad dan Wancik tentang kebangkitan rasional dan kebangkitan emosional jadi pikiran Wannasib.

“Di Malaysia seorang TKW di perkosa hingga melahirkan,” kata Wannasib.

“Kurang ajar!” Jawab Ian.

“Di Malaysia seorang wasit karate Indonesia dipukuli saat bertugas,” sambung Wannasib.

“Kurang Ajar!” Teriak Wancik, Ian, dan Ahmad secara serempak.

“Rasa geram dan marah kalian itu adalah cerminan rasa berang masyarakat Indonesia terhadap Malaysia ketika peristiwa itu terjadi. Bangsa ini emosional. Tapi untuk kasus ini justru pemrintah tenang-tenang saja, tanpa emosional. Malah pemerintah itu emosi kalau menghadapi kaum demonstran. Bagaimana mau terbangun nasionalisme jika pemerintahnya tidak punya rasa itu.”

Wannasib bilang di Amerika, pemerintah sangat melindungi warganya. Bahkan pemerintah Amerika akan bertindak tegas jika warganya diganggu di luar. Namun aneh jika Pemerintah Indonesia tidak terketuk hati nuraninya. Pemerintah justru sudah cukup puas mendapat pernyataan maaf. Tidak heran, kata Wannasib, bila bangsa Indonesia selalu kecolongan. Ketika angklung maupun reog diklaim sebagai kesenian milik Malaysia, malah pemerintah kita santai-santai saja. Justru yang melakukan pembelaan adalah Anwar Ibrahim seorang bangsa Malaysia. Apakah betul nasionalisme kita sudah mulai luntur?

Tiba-tiba Wanasib ingat ucapan Anhar Gonggong dalam sebuah wawancara televisi, dia bilang jika nasionalisme di masa mendatang lenyap, maka dosa itu terjadi disebabkan dosa Depdiknas karena telah menghilangkan sejarah dari kurikulum. Orang tak mengenal dirinya tanpa tahu sejarah.

Bahagialah orang-orang yang mengenal sejarah sebuah bangsa, maka dia telah mengenal peradaban sebagaimana yang dilakukan oleh Erwan Suryanegara dalam seni pertunjukan Prasasti 13 Abad Kebangkitan Srwijaya, Sabtu, 24 Mei di Palembang. /anwar putra bayu/

Sumber foto bendera:http://away.blogsome.com

Tidak ada komentar: