06 Maret 2008

Buku Puisi (1)


Anwar Putra Bayu

Memuisikan Kemuraman


Zaman Menyisir ekspresi dan potret-potret kenangan dalam sebuah album puisi, menurut pembaca awam: kadang mengasyikan, kadang menyakitkan. Mengasyikan jika dari celah-relung peristiwa yang dipaparkan muncul bermacam-ragam luapan kebahagiaan atau keceriaan yang masih tercecap rasa aromanya hingga puisi tersebut selesai dibaca. Menyakitkan jika dari makna kata dan imajinya berhamburan percik-pernik konflik, noktah-noktah hitam kehidupan, geram kemarahan orang-orang tertindas, kesia-siaan tangan yang hanya bisa menggapai ketika zaman semakin angkuh dan keras. Dan manakala kondisi kedua itu yang mengharu-biru, seolah pesan dari puisi-puisi itu membuat “mimpi buruk tak ada akhirnya…”, menurut Anwar Putra Bayu: “maka bukalah semua pintu/sebelum kau membatu” (Kemelut, hal. 129). Demikianlah kiranya kesan yang ditinggalkan puisi-puisi Anwar Putra Bayu dalam antologi Pada Akhirnya, yang diterbitkan oleh Penerbit Hikayat, Yogyakarta belum lama ini. Meskipun jejak-tapak di sana menunjukkan adanya berbagai kisah dan kejadian, tetapi pesan yang disampaikan, yang dibisikkan, seakan hanya gumam. Hanya kemampatan yang nyaris menelikung seorang anak manusia yang terseok-seok mengarungi nasibnya yang aneh. Ia mencari kebahagiaan dan kedamaian ke mana-mana, namun zaman seperti tak mau bersahabat dengannya. Maka, apa yang diperoleh dari perjalanan panjang itu hanya badan yang gosong terbakar matahari, hanya tubuh tirus yang menggigil kedinginan di teritis toko ketika hujan tumpah-ruah menebar rahmat Tuhan sepanjang malam. Berdasarkan gambaran singkat itu diharapkan semoga kumpulan puisi Pada Akhirnya yang merupakam puisi-puisi pilihan Anwar Putra Bayu sejak 1994-2005 itu dapat membuat pembaca (penikmat sastra) tergeragap sejenak. Kemudian tergiring membayangkan betapa melelahkan perjalanan hidup mengarungi liku-liku zaman yang tengah bergejolak; sebagaimanan Indonesia pada era 90-an. Mengapa demikian? Sebab, hampir semua tokoh sentral (dan imajiner) dalam puisi Anwar Putra Bayu dapat diibaratkan sehelai daun bambu yang hanyut di sungai. Jika bernasib baik mungkin saja ia selamat dan berhasil menyaksikan laut luas tak bertepi, tetapi jika sial bisa saja malah terpuruk membusuk pada sebuah ceruk yang dangkal, menjadi seresah sampah yang mengendap di dasar sungai.
Dalam karya-karyanya yang dikumpulkan dalam antologi puisi tersebut, agaknya Anwar Putra Bayu sengaja memuisikan kemuraman zaman yang dihayati lewat pengalaman pribadi. Atau dengan kata lain, puisi-puisinya lebih menyerupai kesaksian pribadi (empiris) terhadap tragedi kemanusiaan di zaman modern. Misalnya, tentang keterasingan orang-orang yang kehilangan sejarah, sehingga tak mengenal lagi masa lalunya: ”Ziarah tanpa bunga/dan air mawar/dinding nisan retak/serta berlumut/nama-nama tak terbaca lagi/nenek moyang siapa?” (Ziarah, hal. 24). Juga mereka yang terseret arus besar hingga tak ubahnya gelandangan dalam carut-marut zaman. Mungkin, bagi mereka: ”Kehidupan seperti dalam gerbong/ di antara kegilaan. Lalu memberimu sepanjang hari kegaduhan./Kemudian dia bergerak mundur...” (Lagu Sunyi, hal. 123). Demikian pula nasib orang-orang yang menjadi demikian miskin dan papa, seperti kisah perempuan dalam sebuah puisinya: ”Perempuan yang tersisa/meletakkan bayi dingin/di antara reruntuhan/tak ada yang tersisa/kecuali air matanya/tak satu pun wajah/dikenalnya. Kecuali dirinya (Laila, hal. 118).
Ada banyak gaya penulisan puisi di Indonesia, namun pola ekspresif sugestif yang dipakai Anwar Putra Bayu itu cukup memberikan kontribusi efektif terhadap penyampaian pesan yang dikandungnya. Memang, puisi tidak menjanjikan perolehan kepuasan materi yang verbal dan bernilai ekonomis. Ia hanya menyapa, membangunkan siapa pun dari kelelapan tidur, baik di siang bolong maupun tengah malam buta. Dan setelah terjaga, orang-orang jadi ingat sesuatu di balik kehidupannya, bahwa: ”di sana ada sesuatu kemuraman/dan engkau ingin mengatakannya” (Pada Perkemahan Anak Jalanan, hal. 47). Puisi memang karya fiksi, tetapi bukan berangkat dari khayal dan kebohongan, melainkan tumbuh dari kejujuran dan semangat kemanusiaan. (Iman Budi Santosa)
Penulis adalah Penyair

1 komentar:

OMONG-OMONG SASTRA mengatakan...

terimaksih, Bang. Abang masih ingat aku. Aku gembira sebuah kelahiran telah kusaksikan. Kapan bisa kusosialisasikan dengan kawan-kawan di Medan? Mungkin aku akan membantu memasarkan.