14 Maret 2008

Cerita Pendek (2006)

Embun dan Bidadari
Anwar Putra Bayu
-Segera matahari melarutkan
jauh embun pagi-

“Bunda lihat di ruang tamu.”
“Ada apa?”
“Baba melihat lagi. Bidadari itu. Dia tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca.”
“Ah. Bunda tidak melihat seorang pun di situ.”
Bunda ke ruang tamu, tapi bidadari itu lalu keluar lewat pintu bersama angin yang mendesir. Rambutnya tergerai. Dia berjalan cepat sekali dan begitu ringan. Aku terus menatapnya. Bidadari itu berhenti seakan ingin mengajakku bermain. Aku jadi jengkel dengannya seolah-olah dia ingin mempermainkan diriku. Tapi, ada yang lebih membuat aku jengkel, yakni terhadap Bunda yang selalu tidak percaya dengan apa yang kulihat. Mentang-mentang aku sebagai anak kecil, Bunda selalu menjadikan diriku dengan alam kecilku.
“Naba tadi sudah minum parecetamol.”
“Sudah. Pagi tadi Oma memberinya.”
“Tapi badan Naba masih hangat, sini Bunda periksa lagi suhunya,” Bunda meletakan termometer di ketiak kananku. Termometer itu menunjukan angka 37,5. Bunda meraba keningku lagi.
“Badan Naba masih hangat, jadi kamu harus istirahat dulu. Jika hangatnya turun Naba tidak akan melihat bidadari itu lagi,” kata Bunda membujuk agar aku naik ke tempat tidur.
“Tapi Bunda, saya betul-betul melihat bidadari itu” bantahku untuk meyakinkan Bunda terhadap mata kecilku.
“Ya sudah. Sejak kemarin malam, Naba selalu mengigau saat tidur. Tadi itu pun Naba sebetulnya mengingau. Bunda kemudian membimbingku ke ranjang. Dia membaringkan diriku lalu menyelimutiku.
“Hari ini Naba tidak boleh bermain dulu. Kalau sudah sembuh Naba boleh bermain-main lagi dengan teman-teman di lapangan masjid. Bunda mau pergi ke pasar, nanti Bunda bawakan tape kesukaanmu.
Bidadari itu muncul di luar kaca jendela kamarku. Dia melambai-lambai tangan kearahku. Dia diam lalu pergi. Aku melompat dari ranjangku bergegas ke pintu depan. Aku tidak lagi menggubris pesan Bunda. Bidadari itu terus berjalan dengan langkah pelan-pelan. Terkesan dia bersijingkat. Dengan rasa penasaran aku mulai mengikutinya dari belakang. Aku pun bersijingkat seperti dia. Rasa jengkelku kepada Bunda pun sirna seketika.
***
Aku berada di sebuah hutan. Rasanya aku belum pernah kemari. Dari sebelah barat sana cahaya sedikit masuk di antara sela-sela pohon. Aku tidak kehilangan pandangan. Aku masih jelas melihat bidadari itu berjalan ringan di antara sela-sela pohon di sisi kananku. Suara serangga hutan bersahut-sahutan. Sesekali bidadari itu melihatku, tapi dia berusaha tidak menghentikan langkahnya. Dia memberi isyarat agar aku terus mengikutinya, langkah kami pun semakin cepat. Tapi aneh kurasakan, tubuhku juga ringan seperti bidadari itu. Cahaya membesar terlihat di ujung sana. “Kemana gerangan aku dibawanya,” kataku membatin.
Kini aku berada di sebuah lapangan luas dan terbuka. Datarannya coklat seperti dilapisi bubur coklat. Di beberapa bagian kulihat datarannya ada yang tinggi, di beberapa tempat dataran tersusun rapi seperti tangga-tangga persawahan. Aku rasakan cahaya belum putus, dan burung-burung melintas di atas kepalaku. Dataran itu terlihat banyak bongkah-bongkah kayu, sepertinya bongkah-bongkah itu berasal dari pohon-pohon yang baru saja ditebang.
Tempat aku berada saat ini sepertinya tidak asing lagi. Rasanya aku pernah kemari dan bermain. Juga perasaanku pernah mencari jangkrik di sini. Tapi kapan? Aku masih perlu mengingat–ingatnya lagi Ya, aku pernah kemari bersama ayah setiap menjelang pagi ketika cahaya matahari belum muncul.
Setiap subuh ayah mengajakku ke tempat ini mencari tetesan embun yang dikumpulkan di dalam mangkuk. Tetesan embun itu diperoleh dari permukaan daun keladi, daun pisang, serta bermacam-macam bunga yang tumbuh di sini. Setiap mencari embun, aku paling suka mencarinya di bunga terompet atau di bunga sepatu. Bunga-bunga itu selalu kupetik dan kubawa pulang untuk kujadikan mainan.
Sebelum aku turut terlibat mencari embun, aku tidak pernah bangun pagi sekali. Tapi, suatu hari aku terbangun pagi dan mendapatkan ayah ingin ke luar rumah. Aku menyangka biasanya para orang tua kalau subuh hari ke luar rumah, tidak lain pergi ke masjid atau berolah raga. Akan tetapi, sangkaanku itu meleset, Justru ayah keluar setelah shalat subuh di rumah, dan ayah memang tidak suka berolah raga.
“Ayah mau ke mana, kok pagi sekali keluar rumah?”
“Ayah mau cari embun di luar sana”
“Untuk apa yah?”
“Untuk adikmu”
“Adikkan minum susu, bukan embun”
“Iya, embun itu untuk diusap di kedua kakinya”
“Supaya apa?”
“Supaya kakinya kuat, seperti Naba.”
“Boleh enggak Naba iku ayah mencari embun?”
“ Ya bolehlah. Ayo sana pakai jaket, di luar sana udaranya cukup dingin. Nanti Naba enggak tahan.” Hari itu ayah mengajakku, dan itulah hari pertamaku tiga bulan lalu.
Sejak adikku Nana lahir, aku memang merasakan segalanya berubah. Aku senang sekali memperoleh seorang adik. Tentunya, aku tidak lagi kesepian, dan aku ada teman bermain. Kata Bunda, adik perempuanku itu belum waktunya lahir. Dia lahir dalam usia kandungan delapan bulan, prematur sekali. Jadi, kata Bunda, tulang-tulang adik sangat lembut, dan kata dokter akan lambat berjalan karena tulang-tulangnya belum kokoh. Itu sebabnya ayah mencari embun untuk adikku itu.
Kata Bunda lagi, sewaktu adik berusia sebulan dia tersedak susu botol, sehingga air susu memenuhi paru-parunya. Tubuh adik sempat kebiru-biruan. Tapi saat kejadian itu ayah bertindak cepat dan melarikan adikku ke rumah sakit, yang lebih membuat ayah dan Bunda cemas, bahwa otak adikku terinfeksi sehingga akan mempengaruhi tumbuh kembangnya kelak. Sedikit yang menguntungkan kehidupannya, bahwa Nana dapat diselamatkan oleh tim dokter. Hampir sebulan dia diopmame di rumah sakit.
Sejak kehadiran Nana, seperti kataku itu, bahwa kehidupan keluarga kami berubah. Bunda yang selama ini mengajar di sebuah sekolah dengan gajinya yang kecil, tiba-tiba mendapat pekerjaan yang lebih baik, begitu pula ayah. Ayah bilang kepada Bunda, bahwa Tuhan telah mengirim Nana ke tengah keluarga kami sebagai malaikat kecil yang membawa pesan-pesan Sang Khalik yang penuh rahasia.
Adikku tampaknya sebuah rahasia dari Tuhan. Nana memang malaikat kecil, dengan ingatan yang kecil, dengan suara yang kecil, dengan jari-jari yang kecil dan selalu menggapai Bunda saat-saat menjelang tidur. Nana tumbuh sebagai gadis dan bidadari kecil yang penuh daya hidup.
Tapi bidadari di depanku belum berkata, matanya memberi isyarat untuk mengikutinya. Bidadari itu menuju ke dataran yang bertangga. Kuhitung ada lima anak tangga dengan keadaan kosong. Dari sebelah utara, di sela-sela rimbunan dedaun bambu kuning keluar banyak orang dewasa dengan wajah berlumuran bedak. Mereka berbusana warna warni.
Seseorang dari mereka memegang sebatang bambu yang di ujungnya terdapat umbul-umbul. Kehadiran mereka membuatku sedikit takut, tapi untunglah bidadari itu memberi isyarat lagi supaya aku tenang dan tidak gugup.
“Wahai anak kecil, siapa namamu?” Tanya orang yang memegang bambu itu. Dari gayanya aku sudah menerka bahwa dia adalah pemimpinnya.
“Namaku Naba.”
“Dari mana asalmu?” Tanyanya lagi.
“Aku dari sebelah selatan, aku mengikuti bidadari itu.”
“Ya. Dia anakku. Namanya Putri Embun. Kerjanya bermain-main di hutan.” Aku terkejut mendegar keterangan ayah bidadari itu.
“Kalau boleh tahu, siapakah nama O’om.” Aku balik bertanya.
“Akulah raja embun yang turun sebelum matahari terbit. Akulah penebar bulir-bulir air kepermukaan daun, akulah penyejuk pagi hari, karena akulah kamu selalu diselimuti ibumu saat fajar.”
“Saya suka embun, setiap pagi saya cari embun bersama ayah. Embun-embun itu untuk menyehatkan adikku.....”
“Tapi kamu telah merusak bunga terompet dan bunga sepatu. Untuk itu, kamu harus kami hukum.” Kata ayah bidadari memotong perkataanku yang belum selesai.
“Jangan ayah. Dia anak baik, ampunilah dia. Kesalahannya bisa dimaafkan,” sambut Putri Embun ingin membelaku. Aku menyadari bidadari itu ada di pihakku. Raut wajah ayah bidadari itu berubah lembut mendengar kata-kata anaknya.
“Wahai, anak kecil. Mengapa kamu tiba-tiba menangis? Apakah kamu takut mendapat hukuman?”
“Saya tidak takut dihukum. Saya sudah terbiasa dihukum oleh ayah dan bunda, juga guru di sekolah. Saya menangis, mengapa tempat ini tidak ada pohon-pohon dan bunga-bunga lagi, juga suara-suara jangkrik?”
“Meraka telah telah menebangnya. Mereka menjadikan tempat ini gudang penyimpanan dan pabrik.”
“Siapa nereka itu?”
“Orang-orang rakus, yang tidak bisa menjaga lingkungannya. Mereka lebih suka tempat ini nantinya jadi genangan banjir. Mereka sesukanya menentukan tempat tanpa melihat akibatnya. Lalu apa keinginanmu anak kecil?”
“Saya ingin melihat lagi bunga-bunga terompet, bunga-bunga sepatu......”
“Juga embun?” Potongnya.
“Ya, juga embun. Sudah sebulan ini kami tidak menemukan embun. Saya inginkan bidadari kecil kami cepat berjalan,” pintaku mengharap. .
Aku terperanjat menyaksikan bidadari memutar-mutarkan tubuhnya dengan gerakkan menari. Tubuhnya melompat-lompat. Langit mulai gelap, tiba-tiba terjadi gumpalan awan kemudian pecah. Aku rasakan bulir-bulir air halus menyentuh tubuhku.
“Embun,” gumamku. Aku menjadi riang, dan aku pun memutar-mutarkan tubuhku. Terbayang di benakku wajah bidadari kecil kami tertidur pulas di rumah.
“Nana! Kan kubawakan embun untukmu.” Teriakku gembira. Sementara aku sempat menangkap orang-orang berwajah bedak meneteskan air mata dan jatuh membasahi tanah. Aneh kurasakan, di sisi kananku tumbuh pohon bunga terompet kemudian lima meter dari jarak pohon itu, muncul pula bunga sepatu dengan bunga-bunganya yang sedang bermekaran. Entah kekuatan apa yang menggerakan, tubuhku bersimpuh di antara kedua pohon itu. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku ciumi bunga-bunga itu.
“Duhai Raja Embun, balas jasa apa yang harus kuberikan padamu?” tanyaku dengan sikap hormat.
“Anak kecil yang baik, kami tidak ingin balas jasamu. Kami berharap kamu pulang dan petiklah bunga terompet dan bunga sepatu. Kemudian isilah mangkuk ini dengan embun. Berikanlah kepada bidadari kecil keluargamu. Kami doakan adikmu bisa berjalan dengan cepat. Pulanglah ke rumah sebelum malam tiba”. Aku semakin terharu mendengar perkataan ayah putri embun. Mereka di atas sana melambaikan tangannya.
Tiba-tiba Putri Embun mencium kedua pipiku. Pandanganku gelap dan nyaris jatuh ke tanah. Memang aku merasakan kepalaku pusing. Mengapa aku tiba-tiba jadi sendirian di tengah lapangan terbuka. Kemana mereka pergi?
Dengan hati-hati aku membawa mangkuk berisi embun, sebelum gelap tiba aku harus sampai di rumah. Pintu terkuak lebar dan aku bersijingkat seperti jalan Putri Embun saat memasuki rumah. Lalu naik ke ranjang dan tertidur.
“Bunda, embun dalam mangkuk itu untuk adik. Jangan diusap ke ubun-ubun Naba,” kataku dengan penuh harap.
“Panas Naba naik lagi jadi 39 drajat. Biar bunda kompres dulu. Bunda pinjam air embunnya. Setelah itu kita berikan kepada bidadari kita”
“Di mana bidadari kecil Bunda?”
“Di ruang tamu bersama ayah, mereka sedang bercanda dengan bidadari yang datang siang tadi. Mereka sedang bermain kembang sepatu dan bunga terompet. Sekarang Naba tidur lagi.” Aku pun tertidur, namun masih kurasakan ciuman di kedua pipiku. Aku yakin ciuman itu datang dari bidadari yang pernah menyusuiku.
Palembang, 2006

Tidak ada komentar: