13 Agustus 2017

Hari Puisi Indonesia 2017 di Taman Budaya Palembang

Indonesia sekarang punya hari puisi Indonesia. Tahun 2017 ini, hari puisi Indonesia sudah memasuki tahun ke lima sejak di deklarasikan oleh 40 penyair Indonesia di Pekanbaru, Riau, pada 15 November 2012.  Dari deklarasi lima tahun lalu itu, setiap daerah di Indonesia di imbau untuk menyelenggarakan hari puisi Indonesia, baik itu secara besar-besaran maupun secara sederharna sekali pun.

 “Silahkan bikin dan gerakkan kegiatan hari puisi Indonesia di daerah masing-masing.” Imbau Rida L Kiamsi, salah seorang inisiator deklarasi hari puisi Indonesia kepada para deklarator.
Toton Dai Permana
Sebagai salah seorang deklarator hari puisi Indonesia mewakili Sumatera Selatan, baru tahun ke lima inilah saya baru bisa menyelenggarakan hari puisi Indonesia, yang diawali Bincang-bincang dan Baca puisi dengan tema “Kehidupan Puisi Hari Ini” di RRI Palembang Pro 2, pada Rabu, 26 Juli 2017 bertepatan dengan hari kelahiran penyair besar Indonesia Chairil Anwar yang ditetapkan sebagai hari puisi Indonesia sebagai penanda dan pembuka penyelenggaraan hari puisi Indonesia di Palembang.
Rabu, 2 Agustus lalu di gedung galery Taman Budaya dipenuhi tak kurang seratus orang undangan yang terdiri dari kepala Taman Budaya Sriwjaya, kepala Balai Bahasa Sumsel, Kepala Bidang Siaran RRI Palembang, pemimpin redaksi Berita Pagi,  pengarang, penyair, pelajar, mahasiswa, wartawan, sutradara teater, guru, dosen, duta bahasa dan lain-lain. Mereka secara bergilir satu per satu didaulat untuk membacakan puisi karya sendiri atau pun orang lain. Acara yang dimulai pukul 14.00 sampai pukul 17.30 ini diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Puisi Palembang dan didukung oleh Taman Budaya Sriwijaya, Balai Bahasa Sumsel, HISKI Sumsel, Berita Pagi, dan Dunkin Donuts ini dibuka oleh koordinator Koalisi Masyarakat Puisi Palembang, Anwar Putra Bayu dan dilanjutkan dengan pengantar yang disampaikan kepala Taman Budaya Sriwijaya, Thonthowi Herijum Eka Permana.
Thonthowi Herijum Eka Permana atau lebih dikenal dengan nama Toton Dai Pemana ini menyambut gembira dengan diselenggarakannya Hari Puisi Indonesia di Taman Budaya Sriwijaya. Dia berharap agar para seniman di Palembang bisa menggunakan Taman Budaya Sriwijaya untuk menggelar karya-karyanya.
“Taman Budaya Sriwijaya merupakan rumah seniman, jadi silahkan pulang untuk membawa karya-karya ke rumahnya.” Ungkap Thontowi yang juga dikenal sebagai penyair dan sutradara teater ini.
            Acara  Hari Puisi Indonesia 2017 ini diawali dengan pembacaan puisi oleh penyair Toton Dai Permana dengan karyanya berjudul “Biarkanlah”. Dengan suara teaterikalnya yang masih terjaga Toton begitu kalem megucapkan kata demi kata: Bungamu luka/melintasi dahan/merindukan hujan. Lukamu bunga/kering dengan sendirinya/seperti takdir sungai-sungai/mengalir/
            Puisi tersebut terdiri dari empat bait, suasana puisi begitu sangat impresif dan pastoral. Puisi yang cukup padat menggunakan kata-kata, ditutup dengan sebaris kalimat: Sepi juga pada akhirnya ton.
            Kesepian yang paling ekstrem ketika Syaiful Bachri (Ipong SB) saat membaca puisi   terbarunya “Maka Sepi”. Siang memberi sepi/hingga kata-kata berhenti/tidak pada titk atau koma/Hanya pada satu isyarat takdir...//
            Puisi yang dibacakan Syaiful Bachri ini didedikasikan untuk sahabatnya Asriel Chaniago, sutradara teater Kembara yang telah mendahuluinya kembali kepada Tuhan Sang Maha Pencipta pada bulan Agustus 2016 lalu. Siang dan malam/Adalah hari-hari rebah/Di tepian waktu/Menyerah pada kehendak/Tuhan..//
Itu sebabnya, barangkali dalam Hari Puisi Indonesia di bulan Agustus ini dia khususkan membacakan puisi untuk sahabat dan saudaranya itu yang pulang menuju ke alam sunyi. Maka/sepilah mimpi/sunyilah igau//. Sebuah kenangan yang sangat mendalam dirasakan oleh Syaiful Bachri terhadap sahabatnya tersirat dalam puisinya.
Kenangan dan kesepian sepertinya akrab dalam dunia puisi, sebagaimana  dirasakan pada puisi Sudarto Marelo  yang berjudul “Kenangan”. Judul dengan isi puisi tersebut begitu terkait kuat: Kawan!/cerita itu telah lama tersembunyi/mungkin dirimu tak akan pernah ingat/ketika kita bersama melewati kota demi kota/hanya untuk sekedar menikmati sapaan malam.../
Puisi Sudarto Marelo ini jelas tertuju kepada seorang kawan yang tersembunyi di dalam hatinya. Dari sekian banyak kawan yang dimiliki Sudarto Marelo, tapi untuk siapa sesungguhnya puisi ini ditujukan, maka dia yang lebih tahu. Pada akhirnya Sudarto dalam kesendirian meski hanya dikawani dengan bayangan:...namun bayangmu tak juga jauh//.

Linny Oktovianny dalam puisinya “Di Tempat Tak Bernama” lebih menegaskan lagi tentang kesunyian sebagai subjek aku lirik: Aku adalah sunyi/di tempat tak bernama/sebelum memilikimu/mengisi waktu-waktu tanpa bunyi
Kesunyian atau kesepian ditandai pula dengan sesuatu yang hampa bagi Iman Handiman dalam puisinya berjudul “Kosong”. Hal itu di gambarkan Iman Handiman dalam suasana ramai dan hiruk-pikuk sekali pun, namun di dalamnya sesungguhnya ada kesenyapan: ada tawa dan sorak sorai untuk kemenangan/semua perasaan dilepaskan/kekalahan hidup ditanggalkan/cahaya berpendar mengawang/tapi sesaat habis dan kosong/kembali gelap/kembali senyap/habis/kosong/untuk kemenangan/tanpa kemenangan.
Selain tema kesunyian yang dominan muncul, tema-tema lain pun mewarnai puisi yang dibacakan oleh peserta. Tarech Rasyid misalnya, menyajikan protes sosial dalam dua puisi yang dibacakannya. Puisinya berjudul “Kau Memang Bangsat” ditujukannya kepada koruptor Indonesia merupakan ungkapan kegeramannya: ..../Orang-orang kelaparan kehilangan pangan/orang-orang sakit kehilangan obat dan rumah sakit/orang-orang sekolah kehilangan bangku dan buku/orang-orang kehilangan upah dan pekerjaan/orang-orang kehilangan ikan dan jala/orang-orang dusun kehilangan kebun dan lahan.../
Tarech Rasyid ingin mengemukakan dengan nada protesnya  bahwa koruptor sebagai biang keladi rakyat hidup sengsara ternyata hadir di mana-mana. Dia ada di sekolah, di perusahaan, di rumah sakit, di universitas, dan lain-lain. Puisi protes sosial juga muncul ketika Indah Rizky Ariany membacakan puisi “Merdeka Dua Kali” yang isinya begitu satir terhadap situasi saat ini.
Lain halnya pada puisi yang dibacakan  Anto Narasoma yang juga dikenal sebagai jurnalis ini. Puisi berjudul “Mata Pedang”  sebagai simbol yang dipakai para penderes di kebun karet: jika mata pedang/melihat kejujuran/tak ada api dendam/membakar kemarahan/dari matanya yang/panjang dan lidah menjulur di kedua arah/menjilati pepohonan karet/dengan pecikan air getah di seputar dendam/di hati manusia/. Puisi Anto ini begitu artifisial, sehingga agak samar untuk bisa mencerna puisi ini. Pendekatan asosiasi yang digunakan agak kurang pas untuk menyatakan adanya pendindasan di kalangan perkebunan karet.  
Rita Sumarni dan Linny Oktovianny
Di sisi lain JJ. Polong yang selalu menulis puisi beraroma romantis ini mengungkapkan suasana hatinya dengan puisi berjudul “Cinta Ini Liana di Tepi Jalan”. Jangang kau sesali jika cinta ini/tumbuh bagai liana di tepi jalan/merambat dan menjalar ke mana-mana/jangan pula kau bertama siapa yang menanamnya/karena dia tumbuh senndiri/dari benih yang tersimpan di hati kita//. Sebagaimana ungkap Syaiful Bachri “menyerah pada kehendak/ Tuhan” maka rasa dan kedatangan cita tak bisa dihalangi. Takdir dan cinta adalah milik Tuhan.
Suasana berbeda dengan JJ. Polong ditampilkan pada puisi “Keterasingan” Rita Sumarni yang dibacakannya begitu sangat menyentuh: Aku bagai orang asing di istana hatimu/Euforia kemarin lusa seakan sudah lenyap/ditelan bumi.../  Hubungan yang sia-sia diaraskan oleh Rita Sumarni. Sungguh menyakitkan memang menjadi orang terasing ketika jalan hati tersputus: Andaikata dinding waktu bisa bicara/Mungkin dia akan ingatkan/Di mana terakhir kau bersamaku// (anwar p bayu)


Tidak ada komentar: