28 Februari 2012

Awas(i) Numera!


Oleh: Darman Moenir

Darman Moenir
                BELAKANGAN, secara khusus sebagian kecil pelaku sastra daerah ini diberi persoalan oleh Numera. Saya juga tidak paham tetapi melalui dunia maya kemudian mengetahui, Numera singkatan Nusantara Melayu Raya. Apa itu?
Biar sana-sini tersua kegalauan makna, namun untuk mendapatkan pemahaman holistik, saya menyalin Segendong Kedatangan (ini bahasa Malaysia) yang berarti Alas Bakul, Menifes atau Pembukaan Numera, seperti berikut:

“Numera berdasar panjang kata Nusantara Melayu Raya direktorkan Sasterawan Negara ke 11; Dato’ Dr Ahmad Khamal Abdullah yang tersohor dipanggil Kemala (secara pribadi saya kenal sejak 1980) senusantara. Rasminya ditubuhkan pada 31 Disember 2011. Numera dianjur sebagai sebuah usaha serba mega tentang bahasa dan pembangunan sastera Melayu di dunia moden yang dibarisi sasterawan, ilmuan, budayawan dan pendukung.  Protem Numera: Rektor SN Dato’ Dr. Ahmad Khamal Abdullah, Timbalan Rektor Profesor Dr. Irwan Abu Bakar, Setiausaha Agung Umar Uzair, Timbalan Setiausaha Agung Ilya Kablam, Bendahara Profesor Madya Dr. Abdul Halim Ali, Ahli Jawatan Kuasa Zakaria Ariffin, Malim Ghozali, Ghazali Din, Rosli Ismail, Dr. Fadlillah Husin, Hazwan Ariff Hakimi, Dr. Naffi Mat.
Dan inilah selintas sejarah badan penulis tanah air (maksudnya Malaysia):
“Badan-badan bahasa dan persatuan penulis memainkan peranan penting semenjak tahun limapuluhan. Angkatan Sasterawan 50 (ASAS 50) ditubuhkan pada Oktober 1950 sebelum merdeka bergerak di Singapura dengan cita-cita untuk menyuburkan bakat-bakat penulis dalam Sastera Melayu di samping itu bercita-cita berjuang mencapai kemerdekaan, menentang takhayul, antikepada penindasan dan mencintai perdamaian dan keadilan. Apabila Tanah Melayu mencapai kemerdekaan tokoh-tokoh Asas seperti Keris Mas, Asraf dan Tongkat Warant pindah ke Kuala Lumpur. Mereka bersama mentor mereka menubuhkan Persatuan Penulis Nasional (PENA) yang tujuannya hampir sama dengan ASAS 50. PENA ditubuhkan pada 1961 masih wujud hingga kini dengan bertukar ganti Ketua Satu (sekarang jadi Presiden) seperti Usman Awang, A. Bakar Hamid, Noor Azam, Adam A. Kadir dan lain-lain. Oleh kerana PENA bergerak di Kuala Lumpur dan terlepas pandang kepada muslihat penulis di luar Kuala Lumpur pada Oktober 1970 ditubuhkan GAPENA yang dipimpin oleh Tan Sri Ismail Hussein hingga kini. Pimpinan yang panjang ini menjadikan GAPENA menjadi streotaip. Muslihat penulis dari segi hakcipta, penerbitan dan kebajikan sering diabaikan.
Numera ditubuhkan bagi mengisi cita-cita yang lebih dinamik bagi memerhatikan kepentingan sasterawan yang daif dan uzur memerlukan bantuan kewangan bagi perubatan di waktu sakitnya. Kes seperti yang dihadapi oleh Zainal Fakir di Ipoh, Anas K. Hadimaja dan Muhammad Ali Majod di Kuala Lumpur dan di Subang Selangor menjadi bukti sah, bahawa mereka terabai. Numera juga mahu supaya sasterawan tanah air kembali kepada tradisi Nusantara Melayu Raya yang besar dan hebat sejarah persuratannya. Selama ini kita seolah melupakan tradisi akar sejarah yang eksotis tetapi dimanfaatkan oleh pengkaji Eropah dan Timur sehingga berpuluh professor wujud atas kajian mereka terhadap persuratan di gugusan pulau-pulau Melayu. Antara mereka Snouck Hergorenje, Lombard, Parnickel, A. Teeuw, Braginski, Monique, E.U Kraatz, Metzger dan lain-lain. Ketrampilan mereka dikagumi, malah calon-calon sarjana dari kalangan anak peribumi akhirnya berguru kepada mereka. Gelora dan polemik yang bangkit akhir-akhir ini seperti dari isu interlok, lalulintas buku Malaysia ke Indonesia misalnya adalah akibat putusnya rantai apresiasi Malaysia-Indonesia terhadap makna solidarity antara Negara dalam Nusantara Melayu Raya itu. Kongres Persuratan Melayu 1956 telah mengasaskan bahwa bahasa dan sastera Melayu menjadi bahasa dan sastera kebangsaan di tanah Melayu yang merdeka. Sampai sekarang sejak 54 tahun merdeka rakyatnya sendiri masih mempersoalkan akta yang menyebut bahasa kebangsaan, bahasa Melayu yang diaktakan itu. Hal ini amat melukakan.”
(Itu bagian awal artikel SN Dato' Dr. Kemala untuk Numera.) Konon Kemala bermasalah dengan Gapena sehingga harus menubuhkan Numera. Dan itu menjadi kecelakaan fatal ketika di Malaysia kebebasan berpendapat, berekspresi, tidak dan/atau belum ada. Tetapi itu urusan Malaysia, urusan merekalah!
Mencatut?
Pertanyaan yang segera menghadang adalah, apa hubungan Numera dengan Indonesia, dengan Sumatera Barat, dengan Kota Padang? Jelas, amat-sangat jelas, tidak seorang pun warga Indonesia, urang awak, ikut mendirikan Numera! Dengan demikian, tidak ada kepentingan, relevansi, kaitan Numera dengan Indonesia, dengan Sumatera Barat, dengan Padang! Tidakkah mereka hendak memerhatikan kepentingan sastrawan daif dan uzur yang memerlukan bantuan keuangan untuk pengobatan waktu sakit di negeri mereka? Bukankah Numera berbicara tentang bahasa dan pembangunan sastera Melayu di dunia modern? Lalu, serta-merta, mengapa harus ada Temu Sastrawan Numera 1 digelar di Padang 16-18 Maret 2011? Apa hubungan Numera dengan pengembangan pariwisata Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat? (Karya dan cipta sastra promosi pariwisata ini sudah ujud melalui karya dan cipta sastra Marah Rusli, Asrul Sani, Chairil Anwar, Hamka, Navis, Wisran Hadi, dan sastrawan yang berkiprah hari ini. Promosi pariwisata paling dahsyat itu sesungguhnya tersua di iven Tour de Singkarak.) Mengapa seratus persen pengelola Temu Sastrawan Numera 1 warga negara Indonesia di Sumatera Barat?
Panitia Temu Sastrawan Numera 1: Dr. Edi Hasymi (Ketua), Muharman (Sekretaris), Sastri Bakry (Ketua Pengarah) dengan tim kerja Muhammad Subhan, Romi Zarman dan Zusnelly Zubir. Kepanitiaan juga berasal dari Masyarakat Sejarahwan Indonesia (MSI) Sumbar. Apakah tokoh-tokoh besar sejarah seperti Prof. Dr. Mestika Zed, M.A., Prof. Dr. H. Azmi, M.A. sudah diberi tahu, MSI ambil-bagian dalam aktivitas Numera?
Pada salah satu rilis di dunia maya pertengahan Januari 2012 disebut, seorang pemakalah utama untuk Temu Sastrawan Numera adalah Taufiq Ismail dan akan ada perjalanan wisata sastra ke Rumah Puisi di Aie Angek. Setelah saya konfirmasi ke penyair besar dan terkenal itu, Taufiq Ismail membalas pesan pendek saya dalam bahasa Minangkabau yang kental: Onde baru iko ambo mandanga tu = Aduh baru ini saya mendengar itu (TI, 12/01/2012, 14:23.59).
Sungguh-sungguh, mencatut nama ini, persis seperti cara di masa Lekra sebelum 1965. Ini menggejala lagi dalam sastra Indonesia? Inilah yang pernah didiskusikan Wisran Hadi (alm.), Taufiq Ismail, Upita Agustine (Prof. Dr. Ir. Hj. Raudha Thaib, M.P.) dan saya dalam beberapa kali pertemuan. Dalam sosok lain, fenomena itu mengemuka dengan kasus ateis dan injak Kitab Suci Alquran. Itu semua mengerikan, sangat mengerikan!
Dana?
Salah satu rilis untuk pers akhir Januari berbunyi (tanpa penyuntingan, DM): “Pemerintah Kota Padang lewat Dinas Pariwisata Kota Padang pada 16-18 Maret 2012 mendatang menggelar iven internasional yaitu Temu Sastrawan Numera (Nusantara Melayu Raya). Iven ini diharapkan dapat mempromosikan pariwisata kota Padang khususnya dan Sumatera Barat umumnya, sebab para pesertanya melibatkan para sastrawan dari negara tetangga, diantaranya Malaysia, Brunei Darussalam, Philifina, Singapura dan Thailand. Kepala Dinas Kota Padang Dr. Edi Hasymi menyambut baik iven Temu Sastrawan Numera ini dan berharap agenda yang direncanakan dapat berjalan sukses. Pemerintah Kota Padang menyokong kegiatan-kegiatan yang dapat mempromosikan potensi pariwisata daerah.”
“Panitia sudah dibentuk dan saya berharap semua dapat bertugas dengan baik, kita sambut para tamu dari luar negeri sebaik mungkin,” ujar Edi Hasymi di Padang.
Pemerintah Kota Padang lewat Dinas Pariwisata Kota Padang?! Benarkah pemko menggelar iven itu? Saya ulangi pertanyaan, benarkah Pemerintah Kota Padang menggelar iven ini, Pak Walikota, Dr. H. Fauzi Bahar, M.Si.? Benarkan Dr. Edi Hasymi dan Muharman yang setahu saya, selama ini, tidak bersentuhan dengan dunia sastra, tiba-tiba menjadi ketua dan sekretaris panitia? Siapa yang mengangkat dan mengeskakan mereka?
Rilis tak menyebut pendanaan. Apakah dana disediakan Numera Malaysia dalam jumlah ringgit yang besar? Atau apakah pendanaan berasal dari upaya “mengemis” sana-sini? Dan, biasa, paling sering dan selalu dikenakan proposal permohonan bantuan adalah PT Semen Padang, Bank Nagari, Bank Indonesia, Pemda Sumbar, Pemkot dan Pemkab se-Sumbar, pengusaha seperti Christine Hakim (Ripik Balado) dan entah siapa lagi. Mungkinkah digunakan dana kantor Edi Hasymi? Riskan andai Kepala Dinas ini “diperiksa” inspektorat, BPKP, BPK, dan KPK? Penggunaan uang di instansi pemerintah, juga swasta, pada saat ini memang perlu tertata dan terencana secara serba transparan.
Dan di Kota Padang, di Sumbar, betapa lagi, uang masih jadi soal amat sulit. Kalau tidak sulit, mana mungkin Sekretaris Dewan, hanya sebagai akibat uang seratus ribu rupiah, berkelahi habis-habisan dengan salah seorang Anggota DPRD Kota Padang, sampai ke meja hijau. Sampai esai ini ditulis, perkara Sekwan (Sekretaris Dewan) dan Angwan (Anggota Dewan) bagarumeh itu belum putus, belum in kracht. Itu memasygulkan dan sangat memalukan (andai perasaan malu masih ada). Dan itu bukti nyata, bahwa uang memang sulit didapat.
Dan iven hendak diselenggarakan di Taman Budaya Sumatera Barat dan Museum Nagari di Kota Padang? Bagaimana lebih-kurang panitia memakai tempat-tempat itu?
Sumpah Pemuda, Agung
Diksi yang digunakan adalah bahasa Melayu. Apa hubungan dengan bahasa Indonesia? Bagi Indonesia, persoalan kebahasaan sudah “duduk” sejak 28 Oktober 1928 dengan Sumpah Pemuda yang agung itu. Bahasa kebangsaan RI adalah bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu, bukan bahasa Minangkabau, bukan bahasa Jawa, bukan bahasa manapun! Sastrawan Indonesia, mulai dari Abdul Muis, M. Yamin sampai ke Gus tf Sakai, Iyut Fitra, Khairul Jasmi, Yusrizal KW dan Tegar Esha Putra, menulis dalam bahasa Indonesia, bukan dalam bahasa Minangkabau atau Melayu. Ini, secara semantik dan kutural, mencampur-adukkan penggunaan Melayu dan Minangkabau, mengandung dilema. Melayu adalah Melayu, Minangkabau adalah Minangkabau.
Tanpa mengintervensi, di Malaysia soal kebahasaan masih menimbulan konflik serius. Simak frasa: “Sampai sekarang sejak 54 tahun merdeka rakyatnya sendiri masih mempersoalkan akta yang menyebut bahasa kebangsaan, bahasa Melayu yang diaktakan itu. Hal ini amat melukakan.” Bahasa Mandarin, bahasa Urdu, bahasa Inggris, atau bahasa Melayu? Kelompok Numera, sebagaimana Pena dan Gapena, menginginkan bahasa Melayu. Tetapi itu belum pernah jalan. Sampai kini. Menggunakan ungkapan Kemala, hal itu “melukakan” benar. Di Indonesia, kebahasaan benar-benar tidak menjadi persoalan. Ini, meminjam rumus, Prof. Dr. Umar Kayam, M.A., merupakan satu bentuk keluarbiasaan bangsa Indonesia, bisa dan memang sudah lama berbahasa satu. Ini mukjizat.
Dalam konteks inilah, secara kultural, para sastrawan “Melayu” Malaysia mendekatkan diri ke Indonesia, ke Provinsi Riau, ke Provinsi Sumatera Barat, dan ke Minangkabau atau ke Dunia Melayu (kalau dunia itu memang ada). Malaysia minta perhatian Indonesia? Pertama kali menghadiri Hari Sastra 1980 di Ipoh, Perak Malaysia, antara lain bersama (secara persis, diajak) A.A. Navis, dan Rusli Marzuki Saria, saya menyiasati dan memahami kajian masalah bahasa dan kebahasaan Malaysia mengemuka sangat tajam. Di Malaysia tentu saja ada sastrawan berbahasa Urdu, berbahasa Mandarin dan berbahasa Inggris. Dan mereka tidak kalah hebat dibanding sastrawan Malaysia berbahasa Melayu. Dan pada tingkat tertentu, mereka memang bergaduh. Saya “menyaksikan langsung” pertarungan itu dalam pertemuan-pertemuan sastra di Penang, Kuala Lumpur, Johor Baharu, Malaka, Singapura, bahkan sampai ke Colombo di Sri Langka di hari dan tahun berbeda. Itu bahkan juga terjadi sekarang, dan entah sampai kapan!
Politik Kebudayaan
Dalam suasana demikian, Melayu Malaysia berupaya malakok (mendekatkan diri) ke Minangkabau. Tidak ada yang keliru ketika mereka mendekatkan diri. Tetapi masalah menjadi serius dan bahkan pelik ketika Dra. Hj. Sastri Bakry, Akt., M.Si. dan Dr. Edi Hasymi, dan kawan-kawan, jadi tuan rumah untuk Numera. Dengan segala daya-upaya, termasuk pendanaan, Edi Hasymi dan Sastri menyelenggarakan acara (untuk) Numera? Atau Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, bangsa Indonesia menaruh atensi besar terhadap Numera dan Malaysia?
Namun, lebih-kurang, lalu apa yang dilakukan sastrawan dan bangsa Malaysia terhadap Indonesia? Kualitas sastra soal lain, namun bukankah beberapa Tenaga Kerja Indonesia tersiksa lahir-batin, babak belur, (maaf) mati anjing di negara tetangga itu? Sastrawan dan bangsa Malaysia tutup mulut, bukan? Bukankah di dunia maya dan di dunia nyata Indonesia diejek dan diolok-olok antara lain dengan kata indon yang menyakitkan? Bagaimana mungkin melupakan, Malaysia meributkan tapal-batas. Apa Sastri Bakry tidak menyadari, beberapa benda dan cipta budaya Indonesia dirampas? Tidakkah setelah peristiwa gempa bumi dahsyat 30 September 2009, Kemala mengeksploitasi duka becana dengan menerbitkan buku puisi Musibah Gempa Padang, Meditasi Dampak 70 (2011). Tidakkah perlakuan ini menggemaskan dan menimbulkan berang? Kita dilanda musibah, lantas Bung Kemala bergembira-ria menerbitkan buku puisi? Saya punya puisi tentang gempa bumi itu, tetapi tidak mengirim ke Kemala.
Menyangkut rencana Temu Sastrawan Numera 1, Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd., yang diminta Sastri Bakry memberi saran, menyatakan, “Ambo indak dalam kapasitas Melayu Raya, Sas. Tidak ada urgensinya terhadap kreativitas. Terima kasih.” Dr. Sastri Sunarti, M.Hum., menanyakan, “Numera ini apa bedanya dengan PSN?” (PSN adalah Pertemuan Sastrawan Nusantara yang punya legitimasi.) Dr. Eva Krisna, M.Hum., menilai pendek: “Sengkarut…” Dan Gus tf berkomentar: “Ah iya, tentu memang Subhan yang membuat Ni Sas berani mengklaim Rumah Puisi ikut mendukung. Trims, Bang …” Nelson Alwi dan Drs. H. Marjohan, M.M. juga memberikan catatan. Seorang dari Badan Bahasa (dulu Pusat Bahasa) Jakarta yang tidak mau namanya disebut, menyatakan, Temu Sastrawan Numera ini perlu disiasati dan disikapi dengan jeli. Ini menyangkut soal politik kesusastraan, politik kebudayaan. Andai tidak hati-hati, atau dibiarkan begitu saja, siapa tahu di sini ada jebakan kemauan disintegrasi bangsa. Masih ada dua-tiga tanggapan miring yang tidak sopan untuk disebut dalam esai ini. Waspadalah!
Padang, 28 Januari 2012
Darman Moenir, sastrawan, novel terbarunya
Andika Cahaya, dalam waktu dekat beredar.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Sangat terkesan membaca artikel Pak Darman Moenir. Pertanyaan saya apakah sedemikian gawatnya?