04 Juni 2012

In Memoriam Prof A. Teeuw: Magma Sastra di Tangan Prof. A. Teeuw

Oleh Rama Prabu *)
Prof. A. Teeuw, tak banyak laman maya berbahasa Indonesia bercerita tentang hidup dan kehidupannya. Wikipedia pun hanya menulis Profesor Andries A. Teeuw  lahir di Gorinchem, Belanda, 12 Agustus 1921 adalah pakar sastra dan budaya Indonesia asal Belanda. Selebihnya hanya menjelaskan Profesor Teeuw Award dimana Profesor Teeuw Foundation diluncurkan pada tahun 1991 sebagai warisan Program Studi Profesor Teeuw di Indonesia. Program ini memainkan peran penting dalam kerjasama peneliti Indonesia dan Belanda di bidang Studi Bahasa Indonesia dari tahun 1975 sampai tahun 1991. Inisiator dari Profesor Teeuw Foundation bertujuan menghormati Profesor Teeuw atas karyanya.


Setiap dua tahun sekali, seorang pemenang Indonesia atau Belanda, atau orang yang tinggal di Indonesia atau Belanda, pada gilirannya akan menerima Penghargaan Profesor Teeuw, atas kontribusinya-nya terhadap hubungan budaya Indonesia-Belanda dalam arti lebih luas. Penghargaan ini bisa di bidang sastra, musik, tari, arsitektur, sejarah, lingkungan, hukum dll. Penghargaan ini diberikan sebagai hadiah bagi pemenang untuk karyanya di bidang hubungan budaya Indonesia-Belanda dan sebagai rangsangan untuk melanjutkan pekerjaan tersebut. Beberapa peraih diantaranya Peraih Profesor Teeuw Award pertama kali adalah tokoh penerbit dan wartawan Goenawan Mohamad pada tahun 1992. Peraih Penghargaan setelah Goenawan Mohamad adalah: penulis dan peneliti dari Leiden, Dr Harry Poeze, penulis, penyair dan filsuf Y.B. Mangunwijaya dan Mrs Ellen Derksen, penyelenggara Pasar Malam Besar di Den Haag.  Pada tahun 2000, antropolog dan wartawan Indonesia Mulyawan Karim memenangkan Award, yang kemudian diberikan sebagai hibah perjalanan yang digunakan Mulyawan untuk melakukan penelitian di Belanda. Pada tahun 2002, F.X. Suhardi Djojoprasetyo meraih penghargaan sebagai pengakuan atas kegiatannya sebagai guru di bidang tari dan gamelan Jawa, yang telah ia lakukan di Belanda sejak tahun 1975.

Pada tahun 2004, Profesor Teeuw Foundation memberikan penghargaan kepada Ajip Rosidi, yang selama lebih dari 40 tahun, telah memberikan kontribusi yang berharga bagi studi, publikasi, dokumentasi, dan promosi sastra Indonesia dengan cara yang lebih luas. Ia sangat dihormati di dunia internasional, baik oleh bangsa Barat maupun bangsa Timur termasuk Jepang). Jika memungkinkan, ia juga mencari, mempraktekkan dan mempromosikan kegiatannya dengan bekerjasama dengan Belanda dan lembaga-lembaga mereka.

Pada tahun 2007, Profesor Teeuw Award digelar di dua tempat, Belanda maupun Indonesia. Kali ini penghargaan diberikan kepada pemenang yang telah memberi kontribusi pada hubungan budaya Indonesia-Belanda di bidang arsitektur dan studi arsitektur. Di Belanda, Profesor Teeuw Award 2007 diberikan kepada dua pemenang yakni arsitek Cor Passchier, dan sejarawan dan antropolog Freek Colombijn. Di Indonesia, tiga pemenang yang terpilih untuk menerima penghargaan adalah Han Awal, Wastu Pragantha Zhong dan Soedarmadji JH Damai. Hanya itu yang dapat dibagi mereka pada publik.

Tapi hal baiknya dalah proses pembaharuan (up date) sangat cepat, pada hari itu juga sudah ada keterangan  “Pada tanggal 18 Mei 2012 Prof. Teeuw meninggal dunia, dan jenazahnya dikremasi di Leiden tujuh hari kemudian”.  Informasi yang saya dapatkan sendiri didapat dari laman Facebook yang berawal dari status bung Zaim Rofiqi seorang penulis, dan setelah tanya langsung di paman google, twitter goenawan mohamad @gm_gm berkicau bahwa jenazah Prof. Teeuw dibaringkan di Uitvaartcentrum ‘t Leidse Huys, Gitstraat 1, Leiden, 23 Mei, jam 18.30 – 20.00 dan akan ada upacara penghormatan buat Prof. Teeuw, Jum’at 25 Mei, pk 11.00 di Marekerk, Lange Mare 48, Leiden. Yakin sudah bahwa pejuang sastra Indonesia, seorang indonesianis yang bertahun-tahun meneliti dan melakukan kritik sastra, memberikan curahan ilmunya bagi perkembangan sastra negeri ini telah berpulang.

Sebagai kritikus sastra A Teeuw (Belanda) tidak sendirian, ada deret nama seperti Claudine Salmon dari Perancis yang banyak mengkaji sastra Indonesia Tionghoa, atau Harry Aveling dan Keith Foulcher dari Australia. Selain itu, ada tokoh-tokoh lain semacam Henri Chambert-Loir, VI Braginsky, E Ulrich Kratz, Doris Jedamsky, Pamela Allen. Ada juga nama Ian Campbell (Australia), Berthold Damshduser (Jerman), serta beberapa Indonesianis lainnya, entah itu dari Rusia, Cina, maupun Amerika, dan A Teeuw sendiri, sastra Indonesia banyak dikenal di percaturan sastra Internasional. Tanpa jasa mereka mungkin sastra Indonesia tidak banyak dikenal di dunia. Mereka semua adalah para kritikus sastra Indonesia yang berasal dari negara asing. Walupun demikian, mereka semua sangat paham dengan sastra Indonesia. Begitu juga dengan A Teeuw, salah seorang Indonesianis yang sudah puluhan tahun bergelut dengan dunia sastra Indonesia.

Selain sebagai kritikus sastra, Teeuw juga seorang pengajar,  UI dan UGM salah duanya yang pernah mencatat namanya.  Tercatat – sebagaimana pengakuan beliau sendiri dalam kata pengantarnya dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra (1984) – beliau sebagai guru besar pengunjung di Yogyakarta. Lalu selama tiga tahun selaku pengajar utama beliau memberikan kuliah teori sastra pada Penataran Tenaga Ahli Kesusastraan Jawa dan Nusantara di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM (1979-1981). Pada tahun 1981 diberikan pula rangkaian seminar di Fakultas Sastra UI di Jakarta mengenai pokok yang sama. Dan juga sejak mulai dilaksanakan program S-2 untuk Sastra di Fakultas Sastra UGM (tahun 1981) setiap tahun Teeuw diminta menyelenggarakan kuliah teori sastra. Tak ketinggalan pula beliau juga sejak 1955 sebagai guru besar Bahasa dan Kesusastraan Melayu dan Indonesia di Universitas Leiden, Belanda. Di beberapa universitas beliau mendapatkan beberapa gelar, di antaranya meraih Doktor dari Universitas Utrecht (1946), menerima gelar Dr. Honoris Causa dari Universitas Indonesia (1975). Di luar itu, beliau juga pernah aktif di berbagai lembaga, seperti Ketua Departemen Bahasa dan Kebudayaan Universitas Leiden (1968-1986), anggota Ilmu Pengetahuan Belanda (1971-), dan ketua Komite Belanda untuk Kerja Sama Indonesia-Belanda (1970-). Kemudian juga pernah mengadakan penelitian mengenai sastra Indonesia di Jakarta (1945-1947) dan di Yogyakarta (1977-1978). Serta pernah pula menjadi Lektor Sastra Melayu di Fakultas Sastra UI (1950-1951) dan guru besar tamu di Universitas Michigan, AS (1962-1963).
Labolatorium Sastra Teeuw

Profesor Doktor Andreas Teeuw begitu nama lengkapnya, jejak langkah di dunia literasi khusus sastra sudah tidak asing baik bagi akademisi, penggiat, pemerhati dan kalangan pemerintah Indonesia. Banyak karya yang telah dilahirkan dari rahim pengetahuannya baik berbahasa Indonesia, Inggris, ataupun berbahasa Belanda, sedikit saya tuliskan beberapa hasil buah budinya seperti Vooltooid voorspiel: Indonesische Literatuur tussen twee wereldoorlogen (1950), Hariwansa (1950), Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru I (1952), Dialectatlas van Lombok (1954),  Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru II (1955), A critical survey of studies on Malay and Bahasa Indonesia (1961), Modern Indonesian Literature I & II (Den Haag, 1967, 1979), Sastra Baru Indonesia I (1978), Tergantung pada Kata (1980), Kesusastraan Baru Indonesia (1980), Khazanah Sastra Indonesia (1982), Membaca dan Menilai Sastra (1983), Sastra dan Ilmu Sastra (1984 dan 1988), bersama Toeti Heraty, beliau menjadi editor buku Manifestasi Puisi Indonesia-Belanda (dwibahasa Indonesia dan Belanda; br, 1986), Sastra Indonesia Modern II (1989), Tergantung pada Kata (1990), Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan (1994), Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer (1997), Teori Sastra dan Penelitian Sastra, Yogyakarta: Makalah Proyek Peningkatan Pengembangan Perguruan Tinggi UGM, dan “Sastra Indonesia, Pribumisasi, dan Novel Sastra” dalam Among Kurnia Ebo (Ed. Sastra di Titik Nadir, Bunga Rampai Teori Sastra Kontemporer (2003). Dan masih banyak karya tulis lainnya, saya berharap manuskrip-manuskrip yang kini belum terdokumentasi dalam format buku segera dapat diluncurkan, khusus menandai dan menghormati jasa-jasa beliau.

Sapardi Djoko Damono  pada medio 1983 menuliskan resensinya mengenai buku Membaca Dan Menilai Sastra karya Teeuw, dia menyimpulkan bahwa kalau kita bandingkan buku ini dengan Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Modern yang terbit pada tahun 1952 dan 1955.  Di samping menunjukkan perkembangan pemikiran yang terjadi dalam diri profesor ini, bukunya yang terbaru ini juga menunjukkan sesuatu yang tetap ada pada Teeuw: minatnya yang besar terhadap sastra Indonesia. Dalam Pokok dan Tokoh, yang kemudian dikembangkan dan diterjemahkan menjadi Modern Indonesian Literature (1967), Teeuw memusatkan perhatiannya pada pelbagai masalah dan sastrawan di samping membicarakan beberapa karya sastra secara sekilas-sekilas. Pembicaraan tentang karya sastra boleh dikatakan selalu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai sastrawan. Dalam membicarakan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya, Teeuw secara panjang lebar menyertakan riwayat hidup novelis itu seolah-olah makna yang didapat pembaca dari buku-buku Pram tidak bisa dilepaskan dari riwayat hidup si pengarang. Pendekatan terhadap sastra semacam ini jelas tidak berlaku lagi bagi Teeuw yang menulis. Tergantung pada Kata (1980) dan Membaca dan Menilai Sastra. Keahlian dan perhatian Teeuw terhadap filologi dan linguistik jelas merupakan sumbangan penting bagi perkembangan pemikirannya, dan tentunya ini sangat berarti bagi sejarah sastra Indonesia.

Saya sepakat dengan yang disimpulkan Sapardi Djoko Damono  bahwa  Yang dikerjakan Teeuw dalam kebanyakan karangannya ini sebenarnya “sederhana”: membicarakan berbagai pendekatan, teori, dan pandangan dalam ilmu sastra dalam kaitannya dengan sastra Indonesia klasik dan modern. Namun justru yang “sederhana” itu yang menuntut banyak dari penulisnya: Teeuw harus membaca luas tentang linguistik dan ilmu sastra sebab banyak pemikiran baru di kedua bidang itu diterbitkan di mana-mana. Salah satu contoh saja, dalam karangan “Tentang Penghargaan dan Penafsiran Hikayat Hang Tuah”, Teeuw membuat catatan mengenai perkembangan minat beberapa ahli dan pengamat Barat terhadap hasil sastra Melayu, terutama Hikayat Hang Tuah. Ternyata sudah sejak 1726 ada pengamat Barat, namanya Francois Valentijn, yang membuat catatan mengenai hikayat yang indah itu. Teeuw menjelaskan, ternyata banyak para ahli itu mengacaukan Hikayat Hang Tuah dengan Sejarah Melayu.

Namun yang terpenting dalam karangan Teeuw mengenai hikayat ini adalah ia, berbeda dengan kebanyakan sarjana Barat yang disebut-sebutnya, berpendirian bahwa Hikayat Hang Tuah adalah karya sastra. Karena itu harus diperlakukan sebagai karya sastra, bukan sebagai catatan sejarah atau yang lain. Pendirian ini sangat ditekankannya mengingat banyaknya penelitian yang menganggap hikayat tersebut sebagai sumber sejarah. “Multatuli dan Puisi Melayu” merupakan salah satu karangan Teeuw yang sangat menarik. Dalam karangan itu ia berusaha meyakinkan kita bahwa “Multatuli berhak mendapat tempat yang layak dalam sejarah sastra Indonesia sebaai pelopor puisi Indonesia modern.

Lepas dari benar tidaknya pandangan tersebut, karangan itu sendiri menarik karena menyuguhkan pendekatan dan cara-cara pembuktian yang njlimet. Empat karangan lain dalam buku ini merupakan usaha Teeuw memperkenalkan pelbagai pendekatan dan teori sastra mutakhir karya sastra Indonesia modern, terutama puisi, dijadikannya contoh atau “bahan” dalam “laboratorium”nya. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa karangan-karangan tersebut khusus bagi kalangan yang memiliki minat sungguh-sungguh terhadap sastra, terutama kalangan akademik.

Dengan demikian kumpulan karangan ini menjadi penting bagi kalangan tersebut, sebab banyak di antara yang ingin maju mengalami hambatan bahasa. Dan Teeuw berusaha menjelaskan pelbagai pendekatan dan teori tersebut dalam bahasa Indonesia yang lancar dan cukup luwes, sekalipun di sana sini ia membiarkan kutipannya dalam bahasa asing. Dan itu membenarkan pernyataannya bahwa Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya” Dengan kerja keras dan jasanya serta beberapa karyanya itulah sastra Indonesia dikenal di kancah Internasional.  Untuk membuktikan ucapanya Prof. A.Teeuw (1994) dalam bukunya yang berjudul Indonesia, Antara Kelisanan dan Keberaksaraan mengungkapkan bahwa secara umum masyarakat Indonesia menganut tradisi lisan. Kalau ada dokumen tertulis, masyarakat Indonesia lebih memilih dokumen tersebut dibacakan daripada membaca dokumen tersebut. Jika kita lihat dari sisi sejarah, maka bukti-bukti yang ada semakin memaksa kita untuk sependapat dengan Prof. Teeuw.

Bukti-bukti sejarah dalam bentuk tertulis tidak banyak ditemui di tanah air kita ini. Ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa dan Cina.
Sejarah di negara kita ini banyak dituturkan secara lisan melalui pencerita (story teller) yang semakin lama semakin kabur, apakah itu benar-benar terjadi atau hanya legenda belaka? Bahkan cerita mengenai tokoh-tokoh dalam sejarah pun banyak yang sudah terkontaminasi oleh cerita-cerita legenda yang membuat kita sulit untuk menarik garis pemisah.

Peta Kelisanan dan Keberaksaraan Indonesia Versi Teeuw

Pada awal adab ke-20 seorang cendekiawan Sunda, Memed Sastrahadiprawira menyatakan, “Bahasa adalah simbol yang paling jelas dan lengkap untuk membedakan satu bangsa dari bangsa lain. Kalau sifat dan rupa-rupa bahasa akan hilang, perbedaan ciri-ciri kebangsaan juga akan hilang”. Dan pikiran ini masih dianut oleh orang-orang Indonesia. Dan apakah anda masih ingat pendapat Teeuw, yang mengatakan bahasa Indonesia sendiri merupakan hasil dan sekaligus bukti yang paling menonjol tentang proses transformasi kebudayaan dari tradisi kemodernan. Dan dalam komunikasi modern, yaitu tertulis, pemakai bahasa ingin atau harus mempergunakan sarana yang dalam kebudayaan lisan sama sekali tidak ada, tetapi untuk pengajaran merupakan syarat mutlak, yaitu kamus. Walter Ong telah membuktikan bahwa kamus, seperti juga ensiklopedia, indeks, dan sarana-sarana pengajaran dan penelitian lain-lain semuanya merupakan gejala kebudayaan literate yang khas. (A. Teeuw, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Pustakan Jaya, 1994)

Hal ini juga di rumuskan oleh Teeuw, bahwa selalu ada hubungan langsung antara kelisanan dalam kebudayaan tradisional dengan rasa kolektivitasnya yang kuat, di mana anggota-anggota masyarakat bersama-sama mempunyai informasi yang relevan untuk kelangsungan hidupnya, baik sebagai individu, maupun sebagai masyarakat seluruhnya. Dalam masyarakat semacam ini tukang cerita mempunyai peran yang maha penting, sebab cerita yang dipentaskan tersimpan informasi dan sistem nilai yang langsung relevan untuk masyarakat yang bersangkutan. Dalam banyak masyarakat niraksara “sastra” lisan mempunyai fungsi sama, walaupun sudah tentu ciptaan lisan yang mempunyai fungsi sebagai wadah hikmat tradisional menunjukkan ragam yang berbeda-beda. Namun hampir selalu penggunaan formula dan unsur formulaik dalam ciptaan atau sastra lisan itu sangat menonjol. Ketersediaan formula tidak hanya merupakan syarat mutlak sebagai penyair untuk mengungkapkannya mencipta karyanya secara spontan, setiap kali dia diundang untuk perform; sebab tanpa adanya stock in trade, modal konvensi kebahasaan itu penciptaannya, apalagi dalam mantra yang sangat ketat tuntutannya, mustahil berhasil.

Dan saya juga sepakat dengan Teeuw, bahwa formula (kebahasan) tidak hanya merupakan modal kepenyairan seorang pembawa puisi atau penulis sastra lainnya. Beberapa penulis menunjukan persamaan atau kemiripan antara formula puisi lisan dengan bentuk, isi dan fungsi peribahasa dan ungkapan bahasa dalam masyarakat niraksara. Sweeney, berulang kali merujuk pada khazanah pepatah-petitih, peribahasa dan perumpamaan, bidalan, tamsil dan kata adat, yang dalam masyarakat Melayu dan Minangkabau tradisional demikian menonjol jumlah dan fungsinya. Dalam pepatah dan petitih itu tersimpan hikmah sebuah kebudayaan lisan; pengamanan hikmah dan ‘budi bahasa’ itu dipermudah, bahkan dimungkinkan oleh bentuk ungkapan yang khas, yang sering bersifat formulaik pula. Dengan kata Sweeney, “the wisdom of an oral cultuture is encapsulated in mnemonic patterns which must constantly be repeated if they are to survive…It is for this reason that the discourse of an oral culture is heavily dependent upon the use of relatively fixed utterances in stylized from, such as proverbs and other ‘sayings’” (hikah kebudayaan lisan terkandung dalam pola penghafal yang harus diulang-ulang terus-menerus agar dapat hidup langsung…maka itu wacana kebudayaan lisan sangat bergantung pada penggunaan ungkapan yang cakupan baku, dalam bentuk bergaya, seperti misalnya peribahasa dan kata adat lain). (A. Teeuw, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Pustakan Jaya, 1994) lalu dimana apa yang bisa kita lakukan dengan kebahasaan kontemporer?

Karena ketika kita masuk pada kebudayaan cetakan, inilah yang memungkinkan perkembangan ilmu pengetahuan beserta teknologi canggih yang sering dianggap ciri paling menonjol dalam kebudayaan Barat. Kemajuan bidang-bidang ilmu pengetahuan dan teknologi juga yang memungkinkan Eropa Barat dan Amerika Serikat menaklukan hampir semua dunia, dulu dalam bentuk imperialisme politik dengan sistem penjajahan, kemudian dan sampai sekarang dengan kekuasaan ekonomi yang dimungkinkan oleh teknologi, yang pada gilirannya tidak mungkin tanpa ilmu pengetahuan yang berdasarkan kebudayaan tipografik. Kebudayaan tipografik pula yang memungkinkan perkembangan penalaran individual, pemikiran kritis dan independen, sikap ilmiah sejati.

Walaupun keluh-kesah serta kritik terhadap penggunaan sebuah bahasa sepertinya adalah gejala yang menjadi bagian dari praktik diskursif (discursive practices) bahasa itu sendiri. Dari zaman ke zaman, dan dalam kebudayaan mana pun, terdapat kecaman oleh para cerdik pandai bahasa terhadap penggunaannya bahasa yang didengar atau dibaca di ruang publik. Ini pula yang oleh Jan Van Der Putten dalam buku Geliat Sastra Selaras Zaman (2010) dipetakan bahwa bahasa sebagai praktik sosial yang dipelajari kembali terus mengalami perubahan, perubahan yang lazimnya dibayangkan sebagai akibat dari: (1) sifat manusia yang cenderung menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan dunia yang senantiasa berubah; (2) peranan otoritas bahasa untuk memodernisasikan bahasa sesuai dengan pembaharuan teknologi dan gagasan, sehingga penutur ragam baku itu dapat mengikuti dan menyumbang kepada wacana baru itu; (3) hubungan dengan bangsa lain yang menggunakan bahasa yang berbeda. Dan bisanya kelompok penutur bahasa tak begitu menyetujui perubahan yang diperkirakan didatangkan oleh kekuasaan dari luar dan mengubah cara pengungkapan dan pemikiran lama (Deutscher 2005). Menurut Deutscher, bahasa ada di dalam perubahan yang tak berkesudahan tidak hanya karena ketiga faktor yang disebut di atas, tetapi yang lebih penting, karena bahasa adalah sistem fleksibel yang kabur yang mengandung jumlah variasi sinkronis yang dahsyat. Dan saya berpendapat dari sastra, dari puisi sistem fleksibel itu dapat menjadi jalan masuk untuk berperang melawan lupa, pada keagungan bahasa pada puspa ragam dan kemampuan menggerakan sendi kehidupan.

Jika Haverlock (1863) pernah menjelaskan bahwa partisipasi dan identifikasi itulah merupakan ciri yang paling menonjol yang membedakan “the Homeric state of mind” dengan “the Platonic state of mind”. Plato justru ingin mengembangkan daya pikir dan daya nalar manusia individual. Dan pemikiran, logika dan penalaran, reasoning, justru memerlukan distancing, penjarakan, pengasingan antara “knower and known”, antara subyek dan obyek. Haverlock membuktikan secara cukup mempesona bahwa juga latar belakang sikap negatif Plato terhadap para penyair. Puisi bagi Plato adalah puisi Homeros, yang memang pada masa itu dianggap sebagai teladan mutlak dan memainkan peran penting dalam kebudayaan Yunani, khususnya dalam pendidikan. Sebab sebagai sudah dikatakan, Homeros berfungsi sebagai semacam ensiklopedi, yang mengandung hikmah dan hakikat nilai-nilai dan norma-norma sosial dan individu Yunani.

Pendidikan berarti belajar dan mengajar mengidentifikasikan diri dengan sistem nilai itu, tanpa berpikir independen, tanpa sikap kritis. Bahkan pementasan karya Homeros selalu berlangsung dalam suasana setengah magis, dari pendengar diharapkan semacam ekstasi, kesediaan untuk kesurupan, dengan menyingkirkan penalaran dan logika.

Memang keruwetan masalah ini telah terdeteksi jauh-jauh hari. Seperti di tulisan A Teeuw, situasi ilmu sastra pada masa ini ruwet, bahkan membingungkan bagi sarjana sastra. Dia berada pada jalan buntu, jalan tak ada ujung, dia terkungkung dalam prison house of language. Kebenaran yang mau tidak mau dicapai lewat bahasa sekaligus digerogoti oleh bahasa sendiri. Tidak ada yang final, definitif. “Criticism goes with crisis. Justru itu criticism adalah “an instument of social change”: feminist Literary Criticism, Black criticism. “Literature is instruction in otherness, in diversity, “humanities is plural”; sastra menunjukan dan mengajarkan alternatif. Ilmu sastra bagaimana pun sulitnya ikut mengungkapkan alternatif, kelainan, ke-aeng-an itu. (A. Teeuw, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Pustakan Jaya, 1994)  Dan hal ini saya baca senada dengan pendapat Jassin, fungsi kritik-kritik sastra dalam pembinaan sastra, hal ini sangat diperlukan karena kini kritik sastra belum lagi mendapat tempat sewajarnya dalam masyarakat kita di samping sastra kreatif. Memang ada perbedaan antara sastrawan kreatif dan kritikus sastra, dan tempat masing-masing harus ditentukan. Kritik sastra tambah banyak mengambil peranan dengan tambah meluasnya orang mempelajari sastra secara ilmiah. Sastrawan kreatif dan kritikus sastra haruslah imbang-mengimbangi demi kemajuan sastra Indonesia. Memang kritik sastra mengenal berbagai pangkal tolak untuk memandang, misalnya dari sudut keindahan bahasa, dari sudut teknik penyusunan cerita, dari sudut psikologi, dari sudut filsafat dan moral. Ada pula yang hendak melihat hasil sastra semata-mata sebagai permasalahan, sebagai hasil yang bulat yang tak dapat dianalisa dengan pisau bedah. Tapi semua cara itu, sendiri-sendiri maupun dalam kombinasi yang satu dengan yang lain, mempertinggi penghayatan estetis pada pembaca. Yang menganalisa secara ilmiah bisa saja menikmati satu karya dengan caranya sendiri, seperti seniman yang menuntut penghayatan secara keseluruhan dan yang seorang tidak usah merasa benar dari yang lain, sebab penilaian adalah selalu subyektif, asal dengan kriterium yang bisa dipertanggungjawabkan dari sudut masing-masing hal itu sah saja menurut saya, justru dengan kritik sastra dunia ini akan selalu sehat, membuat udaranya kian bersih.

Kata Jassin, ada satu pendapat bahwa hasil sastra baru dapat murni dan bermutu tinggi, apabila pengarangnya dapat melepaskan diri dari segala tetek-bengek masyarakat dan mencipta segala kesepian. Temanya pun haruslah bukan teriakan-teriakan yang berupa semboyan politik, moral maupun agama, tapi soal-soal yang amat pribadi sifatnya. Ditarik secara ekstrem maka kita pun hanya mempunyai sajak-sajak sepi, renungan-renungan yang abstrak dan metafisis tentang eksistensi manusia dan nilai-nilai yang dilepaskan dari pergolakan kehidupan dunia. (H.B Jassin, Sastra Indonesia Sebagai Warga Bangsa Dunia, Gramedia, 1983) walaupun dalam hal ini masih banyak metode dan cara melakukan kritik sastra untuk menyehatkan dunia literasi bangsa ini. Karena seperti yang pernah ditulis Akmal Nasery Basral, Kompas 4 maret 2012 bahwa sejak awal sekali, para pengusung kritisisme baru sudah mengingatkan bahwa menggunakan bukti kontekstual ini adalah karena sifatnya yang lebih dekat dengan menafsir bukti luar ketimbang melakukan tafsir yang teliti terhadap bukti dalam. Tentu saja kritisisme baru bukan merupakan satu-satunya cara yang absah dalam menakar sebuah karya. Kritisisme psikoanalisis, misalnya, akan melihat biografi dan kondisi pikiran sang pengarang (sub conscius state-of-mind) sebagai bagian dari sebuah literer yang tak bisa dipisahkan. Meminjam istilah yang diperkenalkan Jacques Lacan, “bawah sadar itu sesungguhnya terstuktur seperti halnya bahasa”. Jika konstanta Lacan itu diproyeksikan dalam bentuk sebuah karya cetak, bentuk apa lagi yang paling absah dipandang sebagai “bahasa” kecuali teks? Artinya, siapa pun ingin atau berpretensi untuk menjadi kritikus sastra tak bisa tidak harus membaca lebih dulu teks yang dihasilkan oleh seorang pengarang sebelum memasukan biografi pengarang dan keinginan-keinganan bawah sadarnya yang bisa ditemukan sang kritikus di sekujur tubuh teks. Lebih tegas lagi, pendapat yang di usung Mazhab Post-strukturalisme. Teori dekonstruksi yang dipopulerkan Jacques Derrida memasyarakatkan bahwa “maksud kepengarangan” (authorial intens) adalah tidak relevan dan tidak dikenal” dan “tidak ada apapun di luar teks” (1967).

Ironisnya dapat dikatakan bahwa dilema, dalam perumusan baru, sebenarnya masih tetap merupakan dilema yang dipertahankan dalam polemik kebudayaan, lebih dari lima puluh tahun silam; dan seperti dahulu demikian juga sekarang penyelesaian masalah ini bukanlah perkara pilihan either/or. Satu-satunya jalan ke masa depan adalah jalan yang berdasarkan sintesis antara aspek positif kelisanan dan aspek positif keberaksaraan, dengan meninggalkan atau meniadakan aspek negatif kedua-keduanya. Namun tidak dapat disangkal pula bahwa dilema ini sungguh-sungguhlah menyajikan buah simalakama; dimakan buah-buah keberaksaraan terancam stabilitas; berpantang makan buah keberaksaraan terancamlah dinamika pembangunan. Mudah-mudahan Indonesia nanti dalam abad ke 21 menikmati secondary orality, yang sungguh-sungguh mencernakan hasil-hasil literacy dalam arti sebaik-baiknya seperti doa Teeuw.

Akhirnya satu hal yang penting saya temukan ialah bahwa sesuatu karya mempunyai hak untuk merdeka, seperti seniman mempunyai hak untuk merdeka. Suatu karya haruslah dianggap sebagai penggugah pikiran, disetujui atau tidak disetujui isinya, masing-masing orang berhak untuk menyenanginya atau tidak menyenanginya, tetapi orang tidak berhak untuk menghancurkannya, seperti orang juga tidak berhak untuk membunuh penciptanya.

Ini menjadi penting karena tidak hanya dalam kesarjanaan sastra ada dua dunia seperti pernah diurai Teeuw; demikian juga dalam sastra sendiri: pertama, pada suatu pihak ada sastra dunia yang agung: “great books of word literature”, yang jelas termasuk kebudayaan keberaksaraan; buku itu lahir di kesepian, dari renungan, diciptakan dari studi dan semadi bertahun-tahun; para kawi Jawa Kuno yang menciptakan “candi sastra”-nya yang tak kurang mengesankan daripada bangunan candi Jawa Kuno yang termashur; Kalisada, sang Kawi Sanseketa; penulis Cina yang agung; Al-Ghazali; Ibnu Khaldun; Hamzah Fansuri; Goethe; Tolstoy; selalu dan di mana-mana sastra agung muncul dari dunia sastra/pustaka, dan dari kesinambungan sejarah, dari mata rantai pembaca yang menjadi penulis dan penulis yang menjadi pembaca; kebudayaan kesepian yang diperuntukan untuk kesepian. Kedua, ada juga sastra untuk diperdengarkan: sudah tentu sastra lisan dalam masyarakat yang belum mempunyai tulisan, sastra sebagai performing art dalam masyaraat yang baru memunyai naskah, yang dibacakan, yang diperdengarkan beramai-ramai. Tetapi juga dalam kebudayaan modern Indonesia ada kelisanan baru.

Dua dunia sastra itu ada juga titik temunya; dalam kebudayaan buku ada karya agung drama-sejak Sophocles, lewat Shakespeare sampai Brecht, Ionesco, siapa lagi: sastra untuk didengarkan, untuk dipentaskan-tetapi sekaligus sastra untuk dibaca, dihayati dalam kesepian. Dan di Indonesia ada kebudayaan aural; sastra khas tulisan yang dibacakan; orang Bali membacakan kakawin (mabasan); orang Jawa, Sunda dan lain-lain membaca karya klasik dalam macapatan; demikianlah sastra agung dihayati dalam tradisi kelisanan. Dua dunia, dan saya tidak memilih, mana yang baik, mana yang jelek, mana yang benar, dan mana yang salah.

Teuuw juga saya sadar-sesadar-sadarnya bahwa saya manusia kebudayaan buku, kebudayaan kesepian, kebudayaan perpustakaan dan kepustakaan. Saya sadar bahwa kebudayaan itu mungkin sekali sudah dilewati manusia modern, sudah ketinggalan zaman. Umat manusia sudah masuk tahap kebudayaan baru, tahap teknotronik (gabungan dari teknologi dan elektronik), atau secondary orality. Manusia modern nampaknya tidak menerima informasi penting lewat buku, tetapi lewat media massa, lewat kuping, khususnya radiolah media massa mahapenting sebagai saluran informasi modern, aktual. Seluruh bangsa, bahkan seluruh dunia terjangkau pada saat yang sama oleh informasi yang dianggap hakiki, vital. Pemerataan informasi, bagus-untung-enak tinggal di dengarkan saja. Seakan-akan buku, informasi tercetak bahkan sastra tertulis tidak perlu lagi. Membosankan, melelahkan, kolot, dan ketinggalan zaman.

Dan seperti kita ketahui, puisi bersifat pribadi, walaupun jauh mendahului masa keberaksaraan penuh, yaitu kebudayaan cetak; karyanya belum dicetak, hanya diturunkan dalam bentuk naskah dan pada umumnya dimaksudkan untuk dibacakan dan didengarkan bersama, jadi masih bersifat aural.  Tapi tidak dapat disangsikan, dengan syair sufinya, Hamzah mengambil langkah ke arah puisi Melayu/Indonesia. Ini menjadi jelas karena di berbagai kawasan dunia, dan yang juga diperkuat oleh hasil telaah di Asia Tenggara, bertentangan dengan apa yang dahulu sering dipikirkan orang; sebab dahulu dianggap masuk akal bahwa dalam masyarakat yang tidak mempunyai tulisan, satu-satunya jalan mengamankan ciptaan lisan (naratif, nyanyian kematian, mitos panjang dan lainnya) adalah lewat penghafalan. Kenyataannya lain sekali. Memang ada penghafalan formula, unsur formulaik, peribahasa, pepatah dan petitih, jadi umumnya bahan-bahan yang oleh Lord disebut stock in trade seorang penyanyi, pencerita atau tukang cerita atau pembawa puisi naratif lisan berpentas, dia menciptakan kembali secara baru dan spontan gubahannya. Terbukti bahwa jarang ada penghafalan, dan jarang ada dua pementasan, bahkan oleh penyanyi yang sama, yang identik. Malahan ternyata perbedaan tekstual antara dua pementasan, juga kalau berdekatan dalam waktu, mungkin cukup beda.

Kebudayaan Buku, Kebudayaan Sunyi
Seperti Rama Profesor Dr. P.J. Zoetmulder yang menurut A. Teuuw salah satu wali sastra dimana pusat dunianya memang ruang kerjanya. Cakrawala eksistensi duniawi bagi dia perpustakaannya, tetapi dia tahu bahwa cakrawala itu tak berhingga, baik horizontal maupun vertikal. Hidup di kelilingi buku berarti hidup dalam kesepian. Kebudayaan buku adalah kebudayaan mata dan huruf, kebudayaan sunyi sepi. Itulah literacy, keberaksaraan yang sungguh-sungguh, kemanusiaan yang ideal menurut cakrawala saya selaku manusia Barat. Kalau secara formal setiap orang Indonesia sudah pandai membaca dan menulis. Dari berbagai ahli di bidang pendidikan, penerbitan, kesusastraan dan lain-lain sering terdengar keluhan bahwa banyak orang yang sudah pandai membaca, bahkan yang sudah memperoleh pendidikan yang cukup tinggi, belum mengembangkan rading habit, kebiasaan membaca. Membaca secara individual (seperti diungkapkan dalam bahasa Belanda “met een boekje in een hoekje” bahkan dalam lingkungan keluarga sering dianggap sikap atau situasi yang kurang sosial. Dan justru dengan adanya alat informasi elektronik, radio, televisi, yang memungkinkan penikmatan bersama, dan yang menekankan aspek pendengaran yang mempersatukan, yang mengakrabkan sidang pendengar, baik dalam keluarga, maupun dalam lingkungan kampung, misalnya juga dengan Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa (Kelompencapir), seakan-akan aspek kelisanan kebudayaan masih diperkuat lagi.

Dengan jembatan dunia maya seperti internet sebenarnya penguatan itu sedang berlangung, sedang terjadi. Proses pembelajaran pada masyarakat kita harus berjalan terus, tidak peduli dengan tradisi lisan ataupun beraksara. Kita bersama-sama berupaya membentuk suatu masyarakat pembelajar (learning society) supaya bangsa Indonesia ini memiliki ketangguhan dan keunggulan yang positip.  Untuk mempercepat proses transformasi dari tradisi lisan menuju tulisan ini, diperlukan suatu katalis atau sesuatu yang dapat mempercepat proses, yaitu sistem multimedia. Hanya pada masyarakat dengan tradisi beraksara, ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berkembang dan memberikan keunggulan kompetitif kepada bangsa tersebut. Tapi penting diperhatikan bahwa, kita memerlukan kebijakan nasional yang berkaitan dengan sistem multimedia atau telematika secara umum supaya perannya sebagai katalis dapat terlaksana dengan baik.

Dan kini kita ada gerakan perlindungan terhadap bahasa yang terancam punah dimana gerakannya adalah bagian dari konsep multibahasa yang diselenggarakan oleh kelompok dari luar penutur bahasa minoritas, karena dalam perkembangan globalisasi, sebagian besar komunitas minoritas di dunia telah dikuasi oleh komunitas mayoritas yang pada umumnya pemegang kekuasaan. Dalam konsep itu bahasa kelompok minoritas tidak diwariskan kepada generasi selanjutnya dan akan punah (beberapa bahasa disebut bahasa yang akan punah-endangered language). Nah, ini perkara besar, banyak bahasa akan punah, lokalitas yang terus tergusur, jadi kenapa juga kita akan terus terjebak hanya mempertebal kamus negara tanpa mampu mengungkit keluar kata-kata dari dalamnya. Dan saya sangat sepakat dengan Teeuw bahwa selan sastra dengan bahasa nasional, sastra tradisional Indonesia pun harus terus ditemukan, dibongkar dan diungkapkan kelainan dan kemodernannya agar sastra itu sungguh-sungguh dapat dihidupkan dan dihidupi kembali oleh masyarakat Indonesia, khususnya angkatan muda, lewat pendidikan sastra yang sesuai. Selamat jalan Prof. A Teeuw, jalan setapak sunyi di dunia sastra mengembalikan jiwa anda pada tlatah suci. Beserta ucapan terimakasih atas darma baktimu untuk negeri Indonesia. ©

*)  Penyair, Direktur Dewantara Institute; Owner http://ramaprabu.org
  
Sumber:http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=382815997539268722#editor/target=post;postID=8059185916740815032

Tidak ada komentar: