06 Oktober 2011

Sidemen, Inspirasi Sekaliber Gus Dur dan Rendra

UBUD, KOMPAS.com - Dalam tiga tahun penyelenggaraan sebelumnya, tribute night di Ubud Writers and Readers Festival dipersembahkan berturut-turut untuk sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana, penyair WS Rendra, dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Tahun ini, malam penghormatan disampaikan untuk pendeta sekaligus sastrawan dan penyair asal Bali, Ida Pedanda Made Sidemen.

Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Ubud, Bali
Salah satu karya Sidemen menginspirasi tema penyelenggaraan ANZ-Ubud Writers and Readers Festival 2011 yang digelar 5-9 Oktober, yaitu "Nandurin Karang Awak: Cultivate The Land Within".
Acara tribute night digelar pada malam pertama penyelenggaraan UWRF 2011, Selasa (5/10/2011), di Pura Dalem Ubud sekitar pukul 19.30 WITA. Tema "Nandurin Karang Awak: Cultivate The Land Within" diambil dari sebaris kalimat yang ditulis Sidemen dalam puisi (geguritan) berjudul "Selampah Laku".
Karang berarti tanah, awak berarti saya atau kamu atau pribadi, sedangkan tandurin berarti mengolah atau menanam. Sugi Lanus, peneliti manuskrip daun lontar Bali mengungkapkan frase nandurin karang awak merupakan ucapan sang penyair kepada sang istri ketika memulai pengisahan perjalanan hidupnya.
"Beline mangkin, makinkin mayasa lacur, tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin, guna dusun, ne kanggo ring desa-desa," ucapnya menuturkan petikan puisi Ida Pedanda kemarin malam.
Syair itu dapat diartikan, "Sejak sekarang, aku bersiap menjalani hidup dalam kesederhanaan, tidak punya kekayaan tanah sawah, pekarangan badan-lah yang kutanami, kesahajaan dan pengetahuan para orang sederhana, yang dipegang di desa-desa."
Pria muda asal Bali ini mengatakan, karang, awak dan tandurin sebenarnya independen. Namun, dalam kehidupan, ketiganya justru saling tergantung satu sama lain antara manusia dan budaya agraris. Tandurin menjadi representasi dari kegiatan pertanian, karang menjadi representasi alam, dan awak adalah representasi diri manusia.
Sugi Lanus menjelaskan, melalui gagasan ini, Ida Pedanda Made Sidemen mengajak setiap pembacanya untuk melihat ke dalam diri sendiri dan tidak lagi menoleh ke mana-mana untuk memulai hidup yang bersahaja.
"Pernyataannya: '...tujuanku, kehidupan yang bersahaja. Tiada sawah, maka berladanglah aku pada diri,'" kata Sugi.
Ida Pedanda Made Sidemen lahir pada tahun 1878 di Intaran, Sanur, Bali, dan meninggal pada tahun 1984. Di rumahnya terdapat lebih dari 12.000 koleksi literatur di atas daun lontar.
Selain menghasilkan geguritan, dia juga mencipta kidung, teks religius, dan puisi tradisional yang biasa disebut kakawin. Ida Pedanda juga dikenal sebagai pengukir topeng, kulkul atau pembuat lonceng dari kayu, arsitek, penulis, ilustrator, pengamat, dan penulis daun lontar.
Malam penghormatan ini dihadiri oleh ratusan peserta, panitia, dan relawan dari berbagai kalangan dan ras serta bahasa. Dalam acara penghormatan ini, para hadirin diajak menyelami pemikiran Ida Pedanda Made Sidemen melalui pembacaan biografinya, sinopsis penelitian terhadap hasil karyanya, repertoar musikal, pembacaan puisi, tembang Bali dan penampilan musik akustik dari musisi lokal.
Musikalisasi tradisional selama hampir 20 menit yang spesial dimainkan untuk menghormatinya oleh empat musisi menyihir para hadirin. Dua musisi kontemporer tradisional Bali, I Ketut Lanus dan Made Subandi, menggubah repertoar musikal sebagai penghormatan bagi Ida Pedanda.
Lanus yang memainkan gendang Sunda dan flute, tampil bersama dengan Ian Cos yang memainkan gitar dengan polesan efek serta Ketut Buda Astra yang berduet dengan Subandi memainkan gamelan. Mereka mengguncang hati dengan memainkan Gegancangan, nama yang diberikan untuk repertoar musikal tersebut.
Pendiri Yayasan Mudra Swari Saraswati Ketut Suardana, yang menginisiasi penyelenggaraan Ubud Writers and Readers Festival, mengatakan bahwa dalam tema ini, Ida Pedanda mengajarkan setiap orang yang mendengar dan membaca pemikirannya untuk mengatur dan mengelola kehidupan dengan pengetahuan dan ajaran yang baik. Itu dimaksudkan agar setiap orang yang melakukannya dapat menjadi manusia sakti yang memiliki banyak pengetahuan dan bekerja dengan giat untuk kesejahteraan lahir dan batin bersama.
Melalui tema ini, Ketut berharap pemikiran dan konsep yang baik yang dihasilkan para penulis dan peserta dalam festival ini bisa bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan menyebar ke seluruh dunia. Menurutnya, tema ini relevan dengan upaya mencari solusi bagi persoalan sosial budaya masyarakat Indonesia.
"Kita kan selalu melihat perbandingan-perbandingan kenapa negara kita reot, apa ada salahnya? Bagaimana alam itu, manusia itu. Kalau kita sudah punya pengetahuan yang benar, kita akan mampu menjawab tantangan-tantangan untuk menyelesaikannya," ujarnya.
Sumber: www.kompas.com

Tidak ada komentar: