28 September 2011

NANANG SURYADI, NEGERI API DAN CINTA SEJATI


Yusri Fajar

Mengapa kau tanyakan lagi; apa sebab kerusuhan terjadi. Darah membanjir”(hal.93)
“Gemetar  rinduku merenangi peristiwa  padamu tumpah kesah (hal.206)
“aku ingin menulis sajak untukmu/seperti dulu, seperti dulu/di waktu kita di mabuk rindu (hal.133)

            Nanang Suryadi tidak hanya mengagungkan cinta melalui bahasa indah puisi liris, namun juga menarasikan ketidakharmonisan hidup dan berbagai peristiwa anarkis dengan bahasa non-metaforis. Nanang bukanlah Pablo Neruda yang semata bersabda tentang cinta dan bukan W.S. Rendra yang memprotes ketidakadilan dengan puisi.  Dalam antologi puisi “Cinta, Rindu, dan Orang-Orang yang Menyimpan Api dalam Kepalanya” terbitan UB Press, 2011  (selanjutnya saya singkat CRO) Nanang berpuisi dengan ragam gaya yang berkontradiksi antara satu dan lainnya. Kontradiksi ini secara tematis tercermin juga dalam judul antologinya yang menggunakan kata ‘Cinta’ dan ‘Api’.
Rindu seringkali menjadi bagian cinta yang menginspirasi penyair untuk menulis puisi sentimental. Sementara ‘Api’ yang bersemayam dalam diri adalah metafor dari sifat buruk manusia. Berbagai peristiwa keji dan tindakan destruktif mendorong Nanang untuk menulis puisi dengan bahasa sehari-hari. Sebagian besar puisi-puisi dalam antologi “Cinta, Rindu dan Orang-Orang yang Menyimpan Api dalam Kepalanya”  memiliki perbedaan gaya dan tema dengan puisi-puisi dalam antologi Nanang sebelumnya, “Biar!” (Indiebook, 2011), yang mayoritas mengungkapkan ekspresi melalui simbolisasi dan permainan kata sehingga muncul citra puisi sebagai medan semiotika penuh ambiguitas makna.
              Nanang memendarkan stamina dan kemampuan dalam menulis puisi beragam warna dan aliran. Karena itu, dugaan saya sebelumnya bahwa Nanang adalah penyair yang cenderung membawa semangat ‘estetisme’, sebagian telah gugur di sini. Saya sebenarnya telah mengantisipasi kemungkinan Nanang akan terpesona juga pada wilayah di luar estetisme. Dalam tulisan saya yang membincangkan antologi puisi ‘Biar!’, saya mengatakan “Saya tak bermaksud seratus persen mengklaim Nanang Suryadi sebagai sastrawan mahdzab estetisisme, karena antologi ‘Biar!’ belum bisa mewakili karakteristik tematik puisi Nanang secara utuh.” Ternyata benar dugaan saya, dalam antologi CRO ini Nanang habis-habisan berselingkuh dengan warna di luar estetisme. Apa yang dilakukan Nanang ini merefleksikan kekayaan puisi, namun di sisi lain ironis karena dalam perjalanan proses kreatifnya, pembaca belum akan menemukan karakteristik kepenyairan Nanang Suryadi. Mungkin Nanang memang penyair berhaluan berbagai aliran. 
            Puisi-puisi penyair Inggris di era Ratu Elisabeth pada abad lima belas, William Shakespeare, memiliki konsistensi bahasa yang melahirkan determinasi bahasa konotatif dan penyampaian pesan secara tersirat meskipun tema-tema yang diangkat Shakespeare amat beragam. Karena itu wajar jika para kritikus banyak mengapresiasi puisinya dari berbagai pendekatan karena isu-isu dalam puisi Shakespeare tidak hanya masalah cinta, namun juga politik, agama (lihat Hadfield dalam Cheney 2007). Nanang Suryadi dalam CRO menggunakan bahasa metaforis di satu sisi dan sisi lain bahasa ‘to the point’, sama sekali tidak simbolis. Meskipun tema yang digarap Nanang juga beragam sebagaimana Shakespeare, mulai dari cinta hingga fenomena sosial. /Berulang kali aku tersesat di Jakarta/ berputar-putar menaiki bis kota, bajaj, ojek,taksi, mikrolet/ pengamen, pedagang asongan, peminta-minta, pemaksa (sambil membawa secarik kertas di tangan, dia berteriak:saya baru keluar dari penjara, daripada saya jadi perampok, berilah saya sedikit rejeki anda/. (Puisi ‘Berulang Kali Aku Tersesat di Jalan dan Gangmu, Jakarta!’ hal 47) Bahasa sehari-hari (ordinary language) dalam puisi ini seringkali bisa ditemukan dalam berbagai prosa yang bercerita tentang rutinitas sehari dan dalam puisi-puisi pamflet. Nanang Suryadi seperti tak ingin mengambil jarak estestis melalui bahasa puitis ketika menggambarkan Jakarta yang tak ramah pada para pendatang. Nanang begitu terpesona dengan fenomena carut-marut Jakarta. Dalam puisi-puisi kritik yang bertujuan dengan efektif mengomentari berbagai hal yang menyimpang dan tak normal di negeri ini, bahasa yang lugas tanpa tedeng aling-aling memang seringkali dipilih oleh penyair. Hasilnya adalah puisi kritik yang kadangkala mirip pidato politik.

Negeri Api
            Puisi Nanang merekam tindakan anarkis dalam sebuah negeri penuh kobaran api dengan strategi berpuisi hibrid. Di satu sisi Nanang ingin secara langsung dalam menyampaikan pesan. Masalah-masalah krusial bangsa diceritakan bagitu saja dengan bahasa biasa. Di sisi lain, dia mengkombinasikan pesan tersebut dalam baris-baris tersirat  dengan simbol dan metafora. Puisi ‘Orang-Orang yang Menyimpan Api dalam Kepalanya’ (hal 93) adalah contoh percampuran gaya tersebut. Judul puisi ini menggambarkan manusia yang begitu mudah di sulut kebencian dan amarah. Api sebagai metafora. /kemarahan itu, membakar gedung-gedung/. Sentuhan personifikasi jelas bisa ditemukan dalam penggalan baris ini. Namun untuk mendesripsikan prahara yang terjadi secara detil Nanang memilih menggunakan bahasa lugas. /Massa yang mungkin sukar kau mengerti maunya/….orang-orang yang memandang pameran kemewawahan, namun mereka tiada mampu memilikinya./walau keringat telah diperas begitu deras, walau tulang belulang telah dibanting dengan begitu keras/Namun tetap saja yang terlihat ketidakadilan yang disodorkan di mana-mana.Ketimpangan sosial melahirkan kerusuhan, penjarahan dan pembunuhan. Nanang dalam puisi ini juga menganggap /Industrialisasi (juga modernisasi+westernisasi) telah mencemplungkan mereka ke dalam limbah-limbah pabrik dan melemparkannya ke udara pengap/ Puisi ini dalam beberapa bagian mirip sastra yang memiliki warna realisme sosial isu tentang penindasan kaum buruh dan manusia yang dimarjinalkan oleh pemilik modal dan penguasa. Namun yang menarik dari puisi Nanang ini adalah deskripsi tentang kondisi mental manusia yang tersisihkan. Manusia yang marah, memendam kebencian dan siap melampiaskan kekesalannya pada apa dan siapa saja. Jika penyair Mustofa Bisri menyebut ‘Negeri Daging’ (Bentang, 2002) sebagai judul antologi puisinya sebagai metafora negeri yang mementingkan materi, bukan ruh dan batin, maka Nanang Suryadi dalam antologi CRO ini menyebut ‘Negeri Api’ (hal. 79) untuk memetaforakan negeri yang dipenuhi api yang menghanguskan hati nurani.
            Indonesia dan berbagai fenomena instabilitas di dalamnya telah menginspirasi Nanang. Indonesia adalah ruang luas di luar diri penyair yang berkontestasi dengan ruang pribadi yang dihuni bisikan cinta dan kehidupan personal. Nanang mengawali antologi CRO ini dengan ruang dan isu nasional.  Dengan melibatkan diri dalam isu Indonesia, Nanang seperti menegaskan ‘sense of belonging’ nya sebagai manusia Indonesia lalu berusaha menghadirkan sisi-sisi gelap kehidupan berbangsa yang menguji kebesaran cinta sesama manusia. Indonesia bagi Nanang adalah negeri yang dipenuhi sisi gelap. Kematian akibat dari anarkisme menjadi lanskap teror yang ia puisikan. /Sepanjang jalan Indonesia, buku-buku terbakar, wartawan terbunuh, tentara terbunuh, mahasiswa terbunuh, orang, orang terbunuh, sia, sia/ (‘Sepanjang Jalan Indonesia’ hal.78). Berbagai tragedi, kekerasan dan sadisme termanifestasi dalam puisi. Peristiwa pembunuhan berulang dan Nanang mengulanginya lagi dalam puisi dengan kata ‘terbunuh’, seperti berbagai musim dan juga siang dan malam, yang bergantian datang berulang. Begitulah esensi peristiwa repetisi pengulangan peristiwa dalam kehidupan dan juga dalam puisi. Kekerasan, kekejaman dan pembunuhan juga menjadi tema dalam puisi-puisi penyair Irlandia Seamus Heaney yang meraih nobel sastra dunia. Heaney memotret laskap sadisme dan penghilangan nyawa dalam kehidupan, bagian dari sejarah gelap kolonialisme Inggris di Irlandia.  
Tapi Nanang mendeskripsikan kekerasan dan pembunuhan yang terjadi di era di mana Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya. Nestapa yang berulang-ulang menimpa Indonesia membuat kesedihan tak juga sirna. /Selamat pagi Indonesia/tak ada lagi airmata buatmu hari ini/telah kering airmata menangisi engkau/selamat pagi Indonesia/semoga Engkau bahagia./(‘Selamat Pagi Indonesia, hal.83) Nanang memang tengah melukiskan ibu pertiwi yang tengah menangis sebagaimana dalam puisinya ‘Surat untuk Ibu Pertiwi’ (hal.94-96). Dia juga menangkap lanskap gelap dan hitam bangsa Indonesia. Lanskap buram itu menjadi warna dominan dalam bagian pertama antologi CRO. Nanang mengakhiri bagian pertama antologi puisinya dengan puisi ‘Narasi Pembantaian dan Nisan tanpa Nama’ (hal. 120).  /Nisan, sebuah batu duka, bertanda gambar tengkorak yang ditatah di situ./tanpa nama.tanpa tahun kelahiran dan kematian/hanya kengerian/.../pembantaian!bayangkan amis darah, anyir daging yang tersayat, ditusuk belati, dilubangi peluru panas, luka nganga/. Puisi ini merepresentasikan berbagai kekejaman dan pembantaian yang pernah terjadi di Indonesia. Banyak aktivis yang diculik dan hingga kini tak diketahui rimbanya, termasuk penyair Wiji Tukul yang dulu dikabarkan hilang namun sampai kini tak ditemukan. Nanang menulis puisi buat Wiji Tukul. Berjudul ‘Sebutir Mata: Mengingat Wiji Tukul’ (hal.60)/perempuan itu, istri seorang demonstran, berkata: karena perjuangan harus dilanjutkan, kangmas, aku relakan sebutir mataku untukmu/menggantikan mata kirimu yang pecah saat unjuk rasa/.Puisi ini menjadi saksi kekejaman pengambil kebijakan sekaligus sebagai peringatan bagi anak negeri bahwa perjuangan belum selesai. 

Dari Indonesia menuju Cinta
Nanang Suryadi
Setelah menarasikan sisi gelap Indonesia yang penuh air mata dan anarkisme, pada bagian kedua puisi Nanang lebih berkonsentrasi menggarap tema cinta kepada orang-orang terkasih dan pada pencipta. Berbagai karya sastra telah diapresiasi dari segi biografi, dikaitkan dengan diri pengarang. Sisi menarik dari proses kreatif memang kadangkala tak bisa dilepaskan dari inspirasi dari diri sendiri, keluarga dan orang-orang terdekat. Dalam berbagai puisi-puisinya Nanang misalnya secara berterus terang menyebut nama-nama penyair ternama seperti Sutardji, Wahyu Prasetya, Chairil Anwar, Afrizal Malna, Widji Tukhul, dan Saut Sitomurang.  Dalam puisi-puisi bagian kedua antologi CRO, Nanang menyebut nama Kunthi Hastorini, Cahaya Hastasurya dan Arya Mada Hastasurya, meski tidak semua puisi dalam bagian kedua ditujukan kepada mereka bertiga. Namun spirit cinta suci kepada orang-orang tercinta ini begitu terasa. Hasilnya, puisi-puisi Nanang terkesan romantis dan sentimentil.
            Puisi menjadi ruang berdialog antara anggota keluarga, media berekspresi untuk menunjukkan cinta sejati dan kedekatan pada mereka. Pada tataran yang luas, tentu puisi yang ditulis untuk anggota keluarga tercinta tak semata akan berhenti pada ruang keluarga namun akan memberikan refleksi bagi pembaca.  Dan cinta dilukiskan Nanang melalui puisi seperti dalam ‘Untukmu:Kunthi’(hal.133)./aku ingin menulis sajak, untukmu/seperti dulu/mungkin tentang hujan/yang turun di saat senja/sebagai puisi yang diam-diam kutuliskan/hujan perlahan menyapa dengan ingatan/…../aku ingin menulis sajak untukmu/seperti dulu, seperti dulu/di waktu kita di mabuk rindu/. Atmosfer puisi ini berbeda dengan mayoritas puisi di bagian pertama antologi yang melukiskan berbagai tragedi dan prahara. Dalam puisi ‘Untukmu:Kunthi’ ini Nanang menggambarkan aku liris yang tengah kasmaran. Repetisi dalam puisi ini adalah ciri khas Nanang sebagaimana saya tegaskan dalam kritik saya terhadap antologi ‘Biar’. Struktur repetisi, bagi Addonizio dan Laux dalam buku mereka   A Guide to the Pleasure of Writing Poetry (1997), menunjukkan ‘pleasure’ (kesenangan), meski tujuan penegasan juga perlu diperhatikan. Kata-kata yang diulang juga memiliki kekuatan hingga memengaruhi orang.  Nanang beberapa kali mengulang baris ‘aku ingin menulis sajak, untukmu’, sebelum mengakhiri puisi dengan baris ‘di waktu kita di mabuk rindu’. Puisi yang ditulis mewakili rindu. Addonizio dan Laux memberikan contoh kata ‘I love you’ (aku cinta kamu) yang bisa diucapkan seseorang secara berulang-ulang pada orang yang dia cintai. Cinta yang ditemukan mengalirkan kedamaian. Nanang menulis puisi ‘Di Matamu Kekasih’ (hal.174)./Di matamu kekasih, ku temu negeri rerimbun pohonan menghijau daun, gemericik alir dari mata air/…./tiktak kehidupan, berdetik di dada cintamu/ Jika cinta dan rindu dalam puisi-puisi bagian kedua ini memang begitu personal, Nanang berarti mampu menggabungkan sensitivitas proses kreatifnya pada dua wilayah. Namun ekspresi yang terlalu liris dan personal dalam puisi-puisi bagian kedua membuat jarak begitu menganga dengan puisi-puisi di bagian pertama. Padahal untuk meredam angkara murka dan membuat negeri menjadi damai di butuhkan cinta universal, cinta yang bisa membangun peradaban penuh persaudaraan.
            Dalam ‘Wahai Cinta Inilah Nyeri Merindu Wajahmu’(hal.199), puisi panjang dalam bagian akhir antologi, Nanang menutup berbagai narasi tragedi dan cinta pada sesama, dengan puisi cinta yang menurut saya lebih mengarah pada sang pencipta. Al Ghazali menyatakan bahwa cinta sejati adalah adalah kecenderungan seseorang terhadap suatu obyek, sebagaimana tertuang dalam kitabnya Al-Mahabba. Dan cinta sejati adalah cinta yang bukan fatamorgana tetapi cinta abadi. Kata ‘kekasih’ yang ditulis Nanang pada puisi penutup antologinya ini adalah ‘kekasih’ seperti yang ditulis Emha Ainun Nadjib dalam puisi-puisi sufistiknya. Nanang Suryadi dalam puisi ini menggambarkan aku liris yang mengakui ketakberdayaan dan berbagai kedzalimannya hingga aku liris menyerahkan eksistensinya pada sang pengendali mayapada. ‘Mengada’ karena adanya kekuatan yang jauh melebihi diri yang mengada itu. /Inilah sujudku di hadapanmu wahai kekasih jangan palingkan muka/karena rindu wajahmu menggoda selalu berilah senyummu berilah agar tenang tak gelisah melulu inilah sujudku/meminta ampunmu lihatlah dadaku demikian luka dengan segala resah dan gundah merindumu tak habis-habis waktu dengan ratap mengharap tatap o airmata sampaikah memuara di lautmu inilah sujudku dengan rindu telah porak hari-hari pertarungan kelahi dengan diri sendiri hanguslah o hati mawar yang kau beri/dari taman seribu bunga demikian remuk demikian redam diamuk rindu dendam inilah sujudku memohon cintamu. Dalam bait ini Nanang berbicara tentang eksistensi diri yang menjadi aktor bagi negeri. ‘Pertarungan kelahi dengan diri sendiri’ adalah pertarungan paling sulit karena salah satu tantangannya adalah memadamkan api dari dalam diri; Api yang siap membakar jika tidak diredam dengan cinta. Jika kepala dan nurani anak negeri tak lagi dipenuhi api (nafsu sadis, destruktif dan anarkis), tentu negeri ini tak lagi menjelma dalam puisi sebagai ‘Negeri Api’.

Malang, 24 September 2011
Yusri Fajar adalah Penyair dan Prosais, pengajar sastra Fakultas Ilmu Budaya UB.


Tidak ada komentar: