27 April 2008

Di Bawah Patung Chairil Anwar

Edisi April 2008

Monas adalah sebuah taman serba guna. Di waktu subuh hari taman itu menjadi arena berolahraga kemudian senja hari berubah tempat dua sejoli pacaran, dan ada juga yang memanfaatkan sebagai tempat berhayal-hayal maupun “berdialog” sebagaimana yang dilakukan Wannasib saat ini di bawah sebuah patung dada seorang penyair besar Indonesia, Chairil Anwar.

Dari bawah patung itu Wannasib memandang tugu bak sebatang lilin raksasa yang sedang menyala di mana pada puncaknya memancarkan api sebagai sebuah simbol tentang “semangat”. Wannasib pun teringat kepada puisi patung dada di atasnya, dan Wannasib seolah-olah mendengar teriakan lantang yang keluar dari mulut patung itu:

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Sayang, keinginan penulis puisi itu tak sampai meski rasa optimisnya cukup gede. Dia mati muda, hanya 27 tahun melakoni kehidupan dan 59 tahun lalu dia dikubur di Karet sebagaimana disebutnya sebagai daerahku yang akan datang. Kembali pandangan Wannasib ke tugu Monas yang dibangun oleh Presiden RI pertama, Soekarno.

Di taman itulah patung dada Chairil Anwar menjadi tetangga dengan tugu Monas. Di tahun 1948, sebelum kematiannya, Chairil Anwar juga pernah dengan lantang membakar semangat perancang dan pendiri tugu Monas itu melalui puisi yang disadurnya, Persetujuan dengan Bung Karno.

Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang

atas apimu, digarami oleh lautmu

Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu

Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak &

berlabuh

Malam makin larut, lampu-lampu taman menyebarkan cahayanya ke segala penjuru. Laron-laron mengumpul di bola lampu. Suasana hening dan dingin. “Kenang, kenanglah kami. Teruskan jiwa kami,” desah sebuah suara yang cukup lirih entah dari mana. Wannasib celingak-celinguk, dan dari sebuah tempat persisnya dari sebelah kiri istana Merdeka, tampil seorang lelaki bersorban sedang menunggang kuda. Keadaannya tidaklah beda dengan Chairil Anwar. Mereka sama-sama mematung. Lelaki itu adalah satria dari gua Selarong, Pangeran Diponegoro.

Lagi-lagi Wannasib mendengar suara Chairil Anwar yang seakan berkata kepada sang satria penunggang kuda.

Di masa pembangunan ini

tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu

Sekali berarti

Sudah itu Mati

MAJU

Bagimu Negeri

Menydeiakan api.

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditinda

Sungguh pun dalam ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai

Maju.

Serbu.

Serang.

Terjang.

“Di masa pembangunan ini, aku hidup kembali,” kata Chairil Anwar yang tiba-tiba muncul di hadapan Wannasib. Matanya masih saja merah dan wajah kurusnya begitu pucat. Dia menunjukan senyum sinisnya. Kemudian sorot kedua matanya begitu tajam. Pandangan itu seolah-olah ingin menikam jantung Wannasib. Rasa ngeri merasuki Wannasib, namun Chairil tak peduli. Malah dia berdiri angkuh seperti Monas di sampingnya. Tanpa bersikap ragu, dia menjabat tangan Wannasib begitu erat.

“Aku Chairil. Maaf aku selalu membuatmu tak nyaman karena sikap tak bersahabat yang kau rasakan. Banyak kawan-kawanku dulu jadi jengkel dan kapok lantaran ulah yang sesuka-sukaku. Tengok saja Jassin, Sam Amir, Basuki, dan lain-lainnya pasti reseh. Aku tahu, aku tahu, tentunya kaupun tersinggung atas senyumanku tadi kan?” Wannasib melongo.

“Di masa pembangunan sekarang ini aku sinis terhadap lingkungan ini. Sungguh, aku berada dalam dunia fantasi namun dibaluti kekumuhan di sana-sini. Satu hal, aku memang terasa kagum atas pesatnya kemajuan pembangunan termasuk menegakkan patungku di tengah kemegahan Jakarta. Diriku telah menjelma mitos modern yang aku sendiri belum tahu untuk apa. Tak sia-sialah aku menulis sebuah larik dalam puisiku itu Sekali berarti sudah itu mati,” ujar Chairil dingin.

“Aku, Chairil.” Katanya lagi. “Aku secara biologis dibesarkan di kota Medan dari keluarga berantakan, sehingga aku dan emaku nekad hengkang ke Jakarta. Di sini aku dibesarkan secara kultural, maka di sinilah aku mulai dalam kehidupan bohemian. Mengembara serupa Ahasveros. Cilakanya. Aku banyak menulis puisi-puisi yang menurutku bagus-bagus yang pada gilirannya menjadikan diriku penyair besar Indonesia meski aku dari kumpulan terbuang. Aku tak peduli.” Wannasib masih melongo.

“Apakah kau masih ingin mendengar bicaraku?” Tanya Chairil. Wannasib tetap saja melongo. “Baik, baik, kalau kau tak peduli lagi kubacakan kau puisi”

Aku hendak berbicara

Suaraku hilang, tenagaku terbang

Sudah! Tidak jadi apa-apa!

Ini dunia enggan disapa, ambil peduli

Keras-membeku air kali

Dan hidup bukan hidup lagi!

Wannasib tetap saja melongo.

/anwar putra bayu/

16 April 2008

Sajak Anwar Putra Bayu

Edisi April 2008

Sunyi yang Menggetarkan

Kemanakah berlalunya keheningan itu

manakala kau baca ayat-ayat cinta

lenyap, hilang, jiwanya disusupi angin

sebagai pecinta kau merobek hatinya

sia-sia bunga berjalan ke dalam kebun

Pohon bakau membisikan

batu-batu apung. Mereka berdzikir

di balik kesunyian yang membentang

dengarkan isi laut ingin mengatakan: Bahwa sunyi itu indah dan hidup

Di bawah cahaya matahari

menangislah para burung camar

menangislah tripang, kepiting, dan rumput laut

sunyi menggetarkan saat dia pergi.

07 April 2008

Artikel Acep Zamzam Noor

PESANTREN, SASTRA DAN PILKADA
Oleh Acep Zamzam Noor

SEBAGAI sebuah sub-kultur di antara kultur-kultur lain, posisi pesantren memang unik. Pesantren mempunyai sistem kehidupannya tersendiri yang dijalankan secara ketat baik oleh para santri maupun masyarakat sekitar. Pesantren juga mempunyai hirarki khusus yang berbeda dan berada di luar hirarki kekuasaan formal setempat. Hal ini nampak dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya meski tentu saja tidak berarti bahwa pesantren berdiri terpisah atau lepas sama sekali dari ikatan-ikatan umum dengan masyarakat luas. Bahkan dalam banyak hal pesantren tetap mempunyai banyak pertautan dengan kehidupan masyarakat luas di sekitarnya itu, hingga antara pesantren dan masyarakat sekitar mempunyai hubangan timbal balik. Pesantren mendapat pelindungan dari masyarakat dan sebaliknya masyarakat sekitar pun mendapat manfaat dari keberadaan pesantren tersebut.
Dalam perkembangannya pesantren mengalami perubahan dari waktu ke waktu, seiring perubahan yang terjadi di luar kehidupan tradisinya. Faktor sosial, ekonomi, politik, budaya dan juga teknologi menjadi penentu perubahan itu. Faktor-faktor inilah yang kemudian merubah bentuk pesantren yang tadinya tradisional menjadi bermacam-macam. Ada yang masih tetap tradisional dengan salaf-nya, ada yang semi modern dengan menggabungkan salaf dan sekolah umum, dan ada juga modern penuh. Namun dari bentuk yang bemacam-macam itu, kiyailah yang masih tetap memegang otoritas tertinggi. Dengan demikian kehidupan kesenian di pesantren pun, termasuk sastra di dalamnya, sangat tergantung dari kebijakan dan daya apresiasi sang kiyai sebagai pimpinan.
Apakah selama ini sastra diajarkan di pesantren? Secara khusus mungkin tidak, namun sastra bukanlah sesuatu yang asing bagi kalangan pesantren. Bahkan sastra seperti menemukan habitatnya di sejumlah pesantren. Hal ini bukan hanya ditunjukkan oleh kenyataan bahwa banyak sastrawan kita yang mempunyai latar belakang pesantren, tapi juga dibuktikan bahwa karya sastra, baik puisi maupun prosa, banyak disukai para santri. Peringatan hari-hari besar Islam hampir selalu melibatkan pembacaan puisi dalam materi acaranya, juga tak jarang pesantren mengadakan acara khusus dengan menghadirkan para sastrawan. Lomba-lomba pembacaan maupun penulisan puisi di luar pesantren pun banyak diikuti oleh para santri. Sanggar-sanggar sastra pun mulai bermunculan di sejumlah pesantren.
Di pesantren-pesantren semi modern atau modern pendidikan sastra secara formal didapatkan para santri dari pelajaran sekolah seperti halnya yang terjadi di sekolah-sekolah umum. Dan sastra yang diajarkan tentu saja sastra Indonesia. Pelajaran sastra di sekolah ini mungkin kurang maksimal karena terbatasnya jam pelajaran dan juga kapasitas gurunya, yang tidak semuanya punya minat yang besar pada sastra. Kehidupan sastra di pesantren-pesantren jenis ini tak jauh beda dengan di sekolah-sekolah umum.