07 April 2008

Artikel Acep Zamzam Noor

PESANTREN, SASTRA DAN PILKADA
Oleh Acep Zamzam Noor

SEBAGAI sebuah sub-kultur di antara kultur-kultur lain, posisi pesantren memang unik. Pesantren mempunyai sistem kehidupannya tersendiri yang dijalankan secara ketat baik oleh para santri maupun masyarakat sekitar. Pesantren juga mempunyai hirarki khusus yang berbeda dan berada di luar hirarki kekuasaan formal setempat. Hal ini nampak dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya meski tentu saja tidak berarti bahwa pesantren berdiri terpisah atau lepas sama sekali dari ikatan-ikatan umum dengan masyarakat luas. Bahkan dalam banyak hal pesantren tetap mempunyai banyak pertautan dengan kehidupan masyarakat luas di sekitarnya itu, hingga antara pesantren dan masyarakat sekitar mempunyai hubangan timbal balik. Pesantren mendapat pelindungan dari masyarakat dan sebaliknya masyarakat sekitar pun mendapat manfaat dari keberadaan pesantren tersebut.
Dalam perkembangannya pesantren mengalami perubahan dari waktu ke waktu, seiring perubahan yang terjadi di luar kehidupan tradisinya. Faktor sosial, ekonomi, politik, budaya dan juga teknologi menjadi penentu perubahan itu. Faktor-faktor inilah yang kemudian merubah bentuk pesantren yang tadinya tradisional menjadi bermacam-macam. Ada yang masih tetap tradisional dengan salaf-nya, ada yang semi modern dengan menggabungkan salaf dan sekolah umum, dan ada juga modern penuh. Namun dari bentuk yang bemacam-macam itu, kiyailah yang masih tetap memegang otoritas tertinggi. Dengan demikian kehidupan kesenian di pesantren pun, termasuk sastra di dalamnya, sangat tergantung dari kebijakan dan daya apresiasi sang kiyai sebagai pimpinan.
Apakah selama ini sastra diajarkan di pesantren? Secara khusus mungkin tidak, namun sastra bukanlah sesuatu yang asing bagi kalangan pesantren. Bahkan sastra seperti menemukan habitatnya di sejumlah pesantren. Hal ini bukan hanya ditunjukkan oleh kenyataan bahwa banyak sastrawan kita yang mempunyai latar belakang pesantren, tapi juga dibuktikan bahwa karya sastra, baik puisi maupun prosa, banyak disukai para santri. Peringatan hari-hari besar Islam hampir selalu melibatkan pembacaan puisi dalam materi acaranya, juga tak jarang pesantren mengadakan acara khusus dengan menghadirkan para sastrawan. Lomba-lomba pembacaan maupun penulisan puisi di luar pesantren pun banyak diikuti oleh para santri. Sanggar-sanggar sastra pun mulai bermunculan di sejumlah pesantren.
Di pesantren-pesantren semi modern atau modern pendidikan sastra secara formal didapatkan para santri dari pelajaran sekolah seperti halnya yang terjadi di sekolah-sekolah umum. Dan sastra yang diajarkan tentu saja sastra Indonesia. Pelajaran sastra di sekolah ini mungkin kurang maksimal karena terbatasnya jam pelajaran dan juga kapasitas gurunya, yang tidak semuanya punya minat yang besar pada sastra. Kehidupan sastra di pesantren-pesantren jenis ini tak jauh beda dengan di sekolah-sekolah umum.

Tidak ada komentar: