08 Januari 2014

Yang Membingungkan di Awal Tahun: 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh

Yang Membingungkan di Awal Tahun:
Rasanya saya sedang memasuki pekarangan bingung. Gara-garanya, sebuah buku. Judulnya megak, 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Kalimat itu ditata dengan mengawinkan warna hitam dan merah: hitam pada 33 dan Indonesia, merah pada Tokoh Sastra dan Paling Berpengaruh. Makna hitam pada Indonesia pasti bukan perwakilan nasib sastra Indonesia yang “rada suram”, sebagaimana dikeluhkan oleh Jamal D. Rahman saat peluncuran buku ini. Dan, saya juga tak hendak bertanya kepada Asia Salsabila, perancang sampul dan isi, perkara mengapa 33 danIndonesia harus hitam sementara Tokoh Sastra dan Paling Berpengaruh dimerahkan. Paling alasannya agar menarik dan enak dipandang.

Lagi pula, bukan itu yang memicu kebingungan-kebingungan saya.
Paling. Inilah kata yang memancing agar bingung merojol dari benak saya. Secara holofrasis, katapaling tampak dominan dalam sekalimat judul itu. Artinya, kata ini sangat menentukan makna keseluruhan kalimat. Apalagi paling diikuti oleh kata megah, berpengaruh. Artinya, tokoh yang terpilih mestilah “memiliki pengaruh” atau “ada pengaruhnya”. Dengan demikian, paling berpengaruh dapat dimaknai sebagai “yang paling memiliki pengaruh” atau “yang terkuat pengaruhnya”. Tentu ada alasan mengapa dan bagaimana seseorang dipilih menjadi yang paling. Ini bukan tabiat sambalewa—tindak kurang hati-hati atau sembrono—karena harus melewati fase tidak berpengaruh, agak berpengaruh, berpengaruh, dan sangat berpengaruh.
Kebingungan saya sedikit menguap tatkala mengeja nama-nama para pemilih. Tilik saja, pada halaman iv tersebut nama-nama beken—Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Jamal D. Rahman, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, dan Nenden Lilis—yang, boleh jadi, sebagian di antara mereka tak kalah mentereng dengan 33 Tokoh Sastra yang mereka pilih. Tentu saja, tak kalah mentereng tidak berarti lebih atau paling berpengaruh. Kalaupun ada nama yang asing bagi saya, di antara Tim 8, hanya Berthold Damshauser.
Tak dinyana, kebingungan itu merojol lagi. Kali ini terjadi ketika saya membuka halaman v-viii yang memuat Daftar Isi. Halaman ini memajang siapa saja tokoh yang paling berpengaruh bagi sastra Indonesia dan siapa yang memilihnya. Tetapi, saya tidak berlama-lama di halaman daftar isi. Saya penasaran ingin segera mengetahui bagaimana seorang tokoh dapat dipilih.
Dan, saya sangat tertarik pada bagian pengantar.
Setelah kemerdekaan, saat kehidupan bernegara goyah dan nyaris hilang arah, kembali para sastrawan bersuara lewat karya mereka hingga di antara mereka harus masuk penjara. Dan sastra tetap ditulis, disingkirkan maupun dibaca. Para sastrawan tetap bersikeras menjaga nurani bangsa, meski sebagian besar sastrawan kini disingkirkan terutama oleh pasar dan industri ke ruang-ruang sunyi. [hlm. xviii-xix] 
Dari rangkaian kalimat di atas saja saya sudah merasa ditohok.
Didasarkan pada kegelisahan atas makin terpinggirkannya posisi dan peranan sastra yang sama sekali tidak patut bagi bangsa yang hendak beradab, maka kami 8 orang yang terdiri dari sastrawan, kritikus, akademisi, dan pengamat sastra—karena itu disebut Tim 8—mengambil prakarsa untuk memilih 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. [hlm. xix-xx]
Akibat dari penyingkiran tentulah tersingkirkan. Dan, memilih 33 tokoh sastra berarti pula membuka peluang penyingkiran itu. Saya yakin, tokoh sastra Indonesia yang tersingkirkan dari pilihan Tim 8 tidak akan marah atau mengamuk. Akan tetapi, lantaran Tim 8 sendiri takut pada laku penyingkiran,tentu tidak elok kalau didiamkan atau dibiarkan. Di sinilah letak kesakralan pemilihan frasa paling berpengaruh itu.
Di sini pula kebingungan saya bertambah-tambah.
Inilah latar pertimbangan Tim 8 dalam memilih 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.Pertimbangan awal, karya dan/atau pemikiran sang tokoh. Rumusan pertanyaan meliputi: (1) seberapa penting karya dan/atau pemikirannya; (2) karya dan/atau pemikirannya memberikan inspirasi bagi sastrawan berikutnya; (3) karya dan/atau pemikirannya berdampak luas, berskala nasional, sehingga melahirkan semacam gerakan, baik yang berkaitan dengan sastra maupun dengan kehidupan sosial budaya yang lebih luas; (4) karya dan/atau pemikirannya membuka jalan bagi munculnya tema, gaya, pengucapan baru yang jejaknya dapat dikembalikan pada tokoh tersebut; (5) karya dan/atau pemikirannya menjadi semacam monumen; dan (6) karya dan/atau pemikirannya menjadi semacam pemicu lahirnya pemikiran tentang kebudayaan, kemasyarakatan, bahkan kebangsaan.    
Lalu, pertimbangan berikutnya adalah kiprah dan kegiatan sang tokoh. Rumusan pertanyaan yang melatari pertimbangan ini mencakup: (1) seberapa penting kiprah dan kegiatannya; (2) kiprah dan kegiatannya berdampak luas, sehingga memengaruhi perkembangan kesusatraan dan kebudayaan Indonesia; (3) kiprah dan kegiatannya melahirkan semacam gerakan yang sama atau berbeda; dan (4) kiprah dan peranannya mendapat dukungan luas sehingga membentuk semacam aliran atau komunitas atau, sebaliknya, menciptakan semacam perlawanan yang cukup besar?
Dan, pertimbangan ketiga adalah sejauh mana pengaruh sang tokoh khususnya bagi kehidupan sastra dan umumnya bagi kehidupan sosial, budaya, dan politik di tanah air. 
Berangkat dari latar pemikiran dan rumusan pertanyaan di atas, sebagaimana tertera di halaman xxiii-xxiv, Tim 8 membongkar dokumen-dokumen, menelusuri jejak kesusastraan Indonesia, dan melacak rekam jejak tokoh-tokoh sastra. Tentu bukan pekerjaan mudah. Pelik. Dan, saya membayangkan akan bertambah pelik tatkala Tim 8 duduk semeja memperdebatkan mengapa Si A memilih Si B, kenapa tokoh A dinilai lebih berpengaruh dibanding tokoh B, dan silang-sengkarut lain yang berkepanjangan. Saya juga membayangkan terjadi kebuntuan. Si A berkeras menyebut tokoh B tidak lebih berpengaruh dan Si B menandaskan yang sebaliknya. Boleh jadi ada pemungutan suara, meskipun saya tak dapat menduga-duga bagaimana sebuah tim dengan angka genap mencari selisih suara.
Hasil dari kerja keras Tim 8 itu kemudian dibukukan dan, kelak, akan tiba pada generasi kesekian setelah Tim 8. Dapat direka-reka adegan perdebatan sengit generasi kesekian itu ihwal siapa tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh, dan mereka jadikan buku setebal 768 halaman ini sebagai salah satu rujukan. Bayangkan mereka adu-lidah dengan alasan “dulu Pak Acep memilih Sapardi”, atau “aneh juga kenapa Pak Ahmad Gaus lebih memilih Denny JA dibanding Wiji Thukul”, atau “Pak Maman enak, beliau memilih tokoh-tokoh yang sudah wafat”, atau kalimat lain yang menunjukkan bahwa buku ini, pada suatu ketika, bisa jadi acuan perkembangan kesusastraan Indonesia.
Beranjak dari latar pikir dan rumusan pertanyaan di atas, Tim 8 menyusun kriteria-kriteria untuk memilih tokoh sastra yang paling berpengaruh. Saya tidak bingung soal mengapa 33 jadi pilihan jumlah, bukan 1, 10, atau 100. Saya juga tidak bingung kenapa pada bagian akhir Mencari Tokoh bagi Sastra ada kilah pembela diri. Wajar saja. Kami menyadari, bukan tak mungkin akan muncul sejumlah kritik, keberatan, dan bahkan penolakan terhadap pilihan kami. Begitu pembelaan Tim 8—yang sudah disadari sedari awal—di halaman xxxii. Saya bingung lebih karena Tim 8 sendiri yang—pada nama tertentu—melabrak atau melanggar kriteria yang mereka susun dan gunakan sendiri.
Adapun kriteria yang digunakan Tim 8 adalah: (1) pengaruhnya berskala nasional, tidak hanya lokal; (2) pengaruhnya relatif berkesinambungan, dalam arti tidak menjadi kehebohan temporal atau sezaman belaka; (3) menempati posisi kunci, penting, dan menentukan; dan (4) menempati posisi sebagai pencetus atau perintis gerakan baru yang kemudian melahirkan pengikut, penggerak atau bahkan penentang, dan akhirnya menjadi semacam konvensi, fenomena, dan paradigma baru dalam kesusastraan Indonesia.
Sayang, titik tolak yang digunakan dalam pemenuhan kriteria bukan sebanyak-banyaknya memenuhi kriteria, melainkan sekurang-kurangnya memenuhi satu dari empat kriteria—sebagaimana tercantum pada halaman xxvi. Pada bagian ini, maaf bila saya tidak sungkan, saya duga tak lebih dari dalih yang, kelak, dapat menjadi senjata bagi Tim 8 untuk berkilah. Si A sudah memenuhi kriteria keempat dan itu sudah cukup, misalnya. Memang namanya dikenal di Jakarta saja dan itu sudah sesuai dengan kriteria skala nasional, misalnya lagi.
Saya juga bingung memaknai pembubuhan kata relatif pada kriteria kedua. Relatif identik dengan tidak mutlak. Maka, relatif berkesinambungan—yang dapat dimaknai tidak harus atau tidak mutlak berkesinambungan—berbenturan dengan tidak menjadi kehebohan temporal atau sezaman belaka. Tak heran karena berangkat dari kriteria yang kacau akhirnya tiba pada hasil yang, juga, kacau. Tak heran bila salah seorang tokoh terpilih—yang terbaca sedemikian ingin ditahbiskan sebagai tokoh sastra paling berpengaruh—menantang siapa saja, tentu dengan modal sendiri, yang tidak setuju pada pilihan Tim 8 agar melakukan riset tandingan. Kalaupun ada yang tergerak melakukan riset, semoga bukan karena semangat ingin menandingi.
Semoga pula menyusun kriteria yang mutlak bisa menjadi acuan, bukan kriteria yang bisa dibengkok-bengkokkan sekehendak hati.
Tibalah kita pada 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh pilihan Tim 8. Jamal D. Rahman, merangkap ketua tim, memilih (4) tokoh: Mochtar Lubis, Rendra, Iwan Simatupang, dan Arief Budiman. Adapun Agus R. Sarjono memilih (5) tokoh: Kwee Tek Hoay, H.B. Jassin, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, dan Arifin C. Noer. Maman S. Mahayana juga memilih (5) tokoh: Marah Rusli, Muhammad Yamin, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Achdiat Karta Mihardja. Berthold Damshauser hanya menyodorkan satu tokoh, Trisno Sumardjo. Nenden Lilis Aisyah mengusung (5) tokoh: Hamka, Nh. Dini, Goenawan Mohammad, Remy Silado, dan Helvy Tiana Rosa. Acep Zamzan Noor menunjuk (5) tokoh: Amir Hamzah, Ajip Rosidi, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. Adapun Joni Ariadinata memilih (3) tokoh: Putu Wijaya, Emha Ainun NadjibWowok Hesti Prabowo. Terakhir, Ahmad Gaus menjatuhkan pilihannya pada (5) tokoh: Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, Ayu Utami, dan Denny JA.
Tiap anggota tim memilih tokoh dan, pada dasarnya, bertanggung jawab atas pilihannya. Hal ini termaktub pada halaman xxix. Dengan demikian, Maman S. Mahayana berada di pekarangan paling aman dari polemik, meskipun tak berarti bersih dari kemungkinan perdebatan. Tokoh-tokoh pilihan pengamat dan kritikus sastra dari UI ini adalah tokoh-tokoh yang akrab di telinga, reputasi dan kiprah yang memenuhi latar pikir, rumusan pertanyaan dan kriteria tim. Tidak demikian halnya dengan Ahmad Gaus yang memilih tokoh yang sudah tiada dan yang masih hidup. Yang membingungkan saya, sekadar menyebut contoh, bagaimana cara menyejajarkan Charil Anwar dengan Denny JA. Berbicara soal kiprah dan pengaruh, Chairil jelas berkesinambungan (tanpa diawali kata relatif), bahkan masih terasa hingga sekarang. Menyejajarkan Chairil dengan Denny JA—yang baru muncul satu-dua tahun belakangan ini—bagi saya, adalah tindakan semborono, asal-asalan. Bahkan, sambalewa.
Belum lagi kalau kita mau melongok ke luar dari 33 tokoh terpilih.
Sebagaimana dapat diduga, diskusi memilih 33 tokoh sastra berjalan dengan penuh perdebatan, dinamika dan persilangan argumentasi, sehingga beberapa tokoh sastra terpilih secara mulus nyaris tanpa diskusi, sebagian yang lain terpilih setelah melewati diskusi yang cukup alot, dan sebagian yang lain lagi terpilih berdasarkan prinsip mayoritas setelah diskusi dan perdebatan seru. [hlm. xxvii]
Tim 8 menguraikan tokoh-tokoh mana saja yang masuk dalam daftar calon terpilih—dapat dilihat pada halaman 705-720—namun, uniknya, tidak membeberkan siapa saja yang terpilih secara mulus tanpa diskusi, tokoh mana yang harus diperdebatkan dan disilang-argumentasikan, dan siapa yang harus dipilih berdasarkan prinsip mayoritas. Tidak terbabar pula skor pemenuhan kriteria, semisal tokoh mana yang memenuhi empat kriteria dan siapa saja yang hanya memenuhi sekurang-kurangnya satu dari empat kriteria.
Mungkin ini “bagian dapur” Tim 8 yang mustahil dikabarkan pada masyarakat sastra Indonesia.

Telah saya nyatakan di atas bahwa Tim 8, entah disengaja entah tidak, telah melabrak dan menabrak sudut pandang, pertimbangan, dan kriteria yang disusun sendiri oleh mereka. Pencantuman Denny JA, misalnya. Saya bingung bagaimana bisa Tim 8 menaksir karya dan/atau pemikiran Denny JA memberikan inspirasi bagi sastrawan berikutnya hanya dalam rentang satu-dua tahunBelum lagi bila ditambah dengan karya dan/atau pemikirannya berdampak luas, berskala nasional. 
Janggal bila sembilan butir (hlm. 654-655) yang menjadi patokan atau titik tolak Tim 8, khususnya Ahmad Gaus, dalam memilih Denny JA. Mengapa janggal? Buku-buku atau tulisan-tulisan dalam sembilan butir, yang disuguhkan oleh Ahmad Gaus, itu menyertakan nama-nama yang “akrab” dengan Tim 8. Pada butir pertama tertera nama Ahmad Gaus, yang menganggit Kutunggu Kamu di Cisadane sekaligus mengusung Danny JAPenerbitnya, Komodo Books. Yang bikin pengantar, Jamal D. Rahman. Pada butir kedua tertera nama penerbit yang juga “ramah” dengan Tim 8, Jurnal Sajak. Lebih aneh lagi, dari butir satu hingga delapan tercantum nama-nama seperti Ahmad Gaus, Agus R. Sarjono, Acep Zamzam Noor, Jamal D. Rahman, dan Nenden Lilis Aisyah.
Hanya butir kesembilan yang agak berbeda, diterbitkan oleh Renebook. Buku Imaji Cinta Halima,karya Novriantoni, diyakini Ahmad terpengaruh puisi-esai Denny JA. Dan, penulis yang murah senyum ini juga tergolong “lingkar dalam” Denny JA.
Jangan-jangan Denny JA hanya paling berpengaruh bagi Ahmad Gaus, yang memilihnya. Atau, lingkar Jurnal Sajak, yang menerbitkan buku-buku yang ditengarai terpengaruh oleh “aliran baru” yang dicetuskan oleh konsultan politik itu. Saya berharap tidak demikian. Sayangnya, fakta yang disuguhkan oleh Ahmad Gaus amat dangkal. Hal ini dapat dengan mudah menumbuhkan syak-wasangka, dan anggota Tim 8 yang lain bisa dengan mudah “cuci tangan” dan berkilah bahwa itu tanggung jawab pemilih.
Catatan kaki yang disajikan pun tak jauh berbeda. Masih berkutat pada nama-nama yang sama. Kalau bukan Agus R. Sarjono, ya, Jamal D. Rahman. Kalau bukan Jurnal Sajak, ya, Komodo Books. Salah satu, kalau bukan satu-satunya, catatan kaki yang terbit di luar itu adalah yang bernomor 10, perihal posisi puisi esai yang dimuat di Kompas pada 30 Desember 2012. Baru setahun lalu. Artinya, belum bisa dijamin akan temporal atau tidak sezaman belaka. Setahun, di mana pun, bukanlah sezaman. Meski demikian, tulisan yang diuarkan di luar lingkar Jurnal Sajak tersebut ternyata ditulis oleh anggota Tim 8 juga, Maman S. Mahayana.
Tampaknya Ahmad Gaus ngos-ngosan mencari data untuk memperkuat alasan keterpilihan Denny. Atau, bisa jadi, memang hanya sebegitu data yang tersedia menyangkut pengaruh Denny terhadap sastra Indonesia. Dalam keadaan bingung, saya menangkapnya sebagai ketergesaan dan keterpaksaan.
Akan berbeda apabila kita—dengan sudut pandang, pertimbangan, dan kriteria Tim 8—menilik kiprah dan pengaruh Y.B. Mangunwijaya, Seno Gumira Ajidarma, Wiji Thukul, Kuntowijoyo, atau nama-nama lain yang diterakan di bagian belakang buku. Pengaruh Wiji Thukul masih terasa sampai sekarang. Seno juga sama, banyak penulis dari generasi setelahnya yang mengikuti gayanya. Atau, Umbu Landu Paranggi yang disebut sekali (hlm. 718).
Jangan lupa ada nama Sitok Srengenge (hlm. 718). Entah siapa di antara Tim 8 yang menyebut atau mengusulkan nama pesyair dengan kumpulan puisi Persetubuhan Liar itu. Dan, untung saja, tidak terpilih.
Di sinilah mengapa sehingga pada awal tulisan ini saya menyatakan bahwa bisa saja, dengan sengaja atau tidak, Tim 8 telah meminggirkan tokoh yang sebenarnya layak dipilih sebagai yangpaling berpengaruh. Tahkik yang disuguhkan Ahmad Gaus malah melemahkan keberpengaruhan Denny JA, alih-alih menguatkannya.
Sebaiknya, supaya lebih benderang, Tim 8 menyusun buku 33 Alasan Mengapa Denny JA Terpilih sebagai Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Nah, kalau buku ini diluncurkan, barulah tepat konferensi pers hanya dihadiri oleh satu tokoh.

Sampai tulisan ini rampung, saya masih bingung bagaimana buku yang, mestinya, bagus dan layak-acu ini jadi terkesan serampangan. Hanya saja, saya tidak menganggap riset tandingan sebagai sesuatu yang penting untuk dilakukan, apalagi bila hanya gara-gara tantangan salah seorang tokoh paling berpengaruh yang merasa kebakaran jenggot—lantaran kiprahnya disorot banyak pihak. Kalaupun kemudian lahir buku serupa, lebih karena keinginan menyuguhkan buku berbeda.
Saya bayangkan, buku itu dijuduli 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling [Tidak] Berpengaruh, agar saya bisa keluar dari pekarangan bingung. [] @1bichara
Sumber: http://bukubichara.com

Tidak ada komentar: