30 Mei 2009

Catatan dari Pertemuan Nasional Dewan Kesenian Provinsi di Malang:

SBY, Payung Hukum, dan Dewan Kesenian Indonesia

Payung Hukum
Pertemuan Nasional Dewan Kesenian Provinsi se Indonesia, 21-23 Mei 2009 di Malang, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jawa Timur merupakan tindaklanjut pertemuan Dewan Kesenian Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun lalu, yang sempat menelurkan beberapa butir rekomendasi, yang salah satunya adalah persoalan payung hukum.
Persolan regulasi atau payung hukum yang sempat mencuat kembali pada pertemuan DK di Malang yang dihadiri oleh utusan DK Papua (Septinus Rumasep, John Wanane), DK Sulawesi Tengah ( Revi Arifin, Hapri Ika Poigi, Hanafi Sarro, Nunci Haji Ali), DK Kalimantan Barat (H. Ibrahim Salim), DK Kalimantan Timur (Hamdani, Novel. E, dan Rahim Slamet), DK Kalimantan Selatan (Syarifuddin R), DK NTB (Yusuf Mahri), DK Bali ( Putu Rai, Nyoman Astita), DK Jawa Timur (Gatot Sukarman, Bambang Lukito, Khoirul Anwar, Ahmad Fauzi), DK Jawa Tengah (Zaenal Mahirin Zakaria, Gunoto Saparie), DK Belitung (Mansyur Mas’ud), DK Kepri (Raja Rasfiadi), DK Bengkulu (Agus Setyanto, Novi Aryansyah), DK Lampung (Syaiful Irba), DK Sumatera Utara (Suyadi San, Shafwan Hadiumri), DK Sumatera Barat (Armeyd Sufhasril, M. Ibrahim Ilyas), Sumatera Selatan (Anwar Putra Bayu), dan DK Jakarta (Marco Kusumawijaya), Abduh Aziz, Jabatin Bangun, Sari Madjid), menjadi persoalan yang memang cukup penting bagi keberadaan atau eksistensi dewan kesenian di Indonesia. Ketidakjelasan payung hukum itulah menjadikan banyak dewan kesenian di pelbagai daerah mengalami lesu darah.
Perlu diketahui, di Indonesia hanya memiliki dua Perda yang berhubungan dengan persoalan dewan kesenian atau kesenian itu sendiri. Di Aceh, menurut Teuku Kamal telah memiliki Perda yang mengatur tentang pendirian dewan kesenian di wilayah tersebut. Kemudian Lampung juga memiliki Perda yang berhubungan dengan kesenian. Dengan memiliki payung hukum tersebut, menurut Syaiful Irba Tanpaka sistem atau pengelolaan kesenian setidaknya bisa berjalan dengan baik. Meski bukan sebuah jaminan ketika payung hukum yang mengatur persoalan kesenian.
Persoalan payung hukum tersebut, dalam sebuah pertemuan yang bernama Musyawarah Dewan Kesenian Sumatera Selatan pernah dengan serius dibicarakan. Hal itu disampaikan oleh Tarech Rasyid dalam diskusi bertajuk proses menuju pemberdayaan seniman. Dia mengutarakan bahwa perlu ada payung hukum dalam bentuk Peraturan Daerah ( Perda ) yang memberikan jaminan bahwa institusi atau lembaga kesenian atau kebudayaan yang menjadi basis dari kegiatan seniman berkarya di topang dalam APBD. Selain itu pemerintah memberi jaminan bagi seniman yang melahirkan karya karya seni.
Tentunya, bagi Sumatera Selatan sendiri mendorong lahirnya Perda kesenian ke depan sangat penting, hal itu sangat berhubungan dengan alasan bahwa implementasi sk gubernur sangat bergantung dengan selera dan inisiatif gubernur, dan kerapkali sangat subjektif, maka guna menghindari hal itu perlu dibuat Perda Kesenian. Sementara dasar hukum yang ada selama ini mengacu pada instruksi mendagri no. 5A tahun 1993 sebagai satu-satunya payung hukum. Padahal instruksi mendagri tersebut secara yuridis posisinya lemah dan perlu dipertegas lagi dengan aturan yang lebih tinggi.
Dewan Kesenian Indonesia
Perlukah Dewan Kesenian Indonesia? Inilah salah satu topik pembicaraan atau diskusi yang memakan porsi waktu cukup panjang dalam Pertemuan Nasional Dewan Kesenian tersebut. Dari beberapa pandangan peserta yang keluar memang sangat beragam, sebagian kecil peserta memandang pesimis dan sebagain besar memandang optimis untuk membangunkan kembali para formatur dari tidur yang sudah berjalan empat tahun setelah keluarnya rekomendasi Papua.
Itu sebabnya, forum Pertemuan Nasional Dewan Kesenian 2009 di Malang, selain merekomendasikan untuk mendesak pemerintah membuat regulasi tentang kesenian, merekomendasikan untuk mendesak Tim Formatur pada Kongres Dewan Kesenian Se-Indonesia di Papua agar segera menyampaikan capaian-capaian tugas dan proses pembentukan Dewan Kesenian Indonesia dengan mempertimbangkan dan mengkaji segala masukan yang berkaitan dengan pembentukan Dewan Kesenian Indonesia.
Bukankah setelah kongres di Papua itu, banyak kritikan atau masukan dari pelbagai seniman dan budayawan terhadap Dewan Kesenian Indonesia? Meskipun ketika itu Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dalam teleconferance dengan seniman dan Gubernur Papua sangat positif.
SBY waktu itu mengungkapkan ide pembentukan dewan kesenian merupakan hal yang baik. Jika pembentukan institusi tersebut perlu diperkuat dengan keputusan presiden, maka hal tersebut memerlukan pembahasan antara presiden dengan perwakilan dewan kesenian. Sementara kata SBY, ketika itu, mengenai tuntutan pengalokasian anggaran khusus untuk kesenian, presiden pun menyatakan dukungannya. Namun, presiden mengingatkan pengalokasian APBN maupun APBD merupakan hasil kerja bersama antara pemerintah dan DPR maupun DPRD.
Jika dicermati pernyataan presiden itu, maka di dalamnya ada keinginan baik, ada semangat membangun kesenian, ada persoalan regulasi di sana meski dalam bentuk kepres, namun paling tidak ada garansi terhadap kehidupan kesenian yang lebih baik nantinya. /anwar putra bayu/

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Ngpain lagi dorong-dorong DKI tuh para pengurus DK se provinsi. Pasti deh para formatur itu lagi berunding ghitu lho.

Kemas-ari.blogspot.com mengatakan...

selamat berjuang bung! Kmi brsmamu.