06 Oktober 2008

Cara Eko Putra Bersastra dan Beberapa Catatan Puisinya.

Jika kita membuka sebuah situs http://eko-putra.blogspot.com, maka kita akan mendapatkan puisi-puisi yang ditulis seorang remaja bernama Eko Putra yang tinggal di kota Sekayu, Musibanyuasin. Kota tempat dia menetap merupakan kota yang miskin dari aktivitas atau denyut kehidupan sastra.

Menurut sepengetahuan saya, di kota Sekayu satu-satunya kegiatan sastra yang pernah ada hanyalah Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) di tahun 2004 di masa Alex Noerdin menjadi bupati. Namun jauh sebelumnya sulit sekali menemukan aktivitas sastra.

Di kota itu, meskipun sudah terbilang maju dibanding sebelum kepemimpinan Alex Noerdin sangat sulit menemukan toko buku yang isinya terdapat buku-buku sastra, seperti novel, kumpulan cerpen, dan kumpulan puisi. Dan jangan berharap kita akan mendapatkan kantong-kantong sastra atau diskusi-diskusi mengenai sastra.

Suasana itulah yang dialami oleh Eko Putra yang menetap di kota Sekayu sejak dia SMP. Apalagi jauh sebelumnya dia hidup di desa. Suasana desa-desa yang ada di Musi Banyuasin tak luput menjadi perhatiannya belakangan ini sebagai sebuah kenangan baginya karena banyaknya perubahan, sebagaimana yang dia tulis pada puisi di bawah ini.

Muara Tirau

dari bebatangan pohon
kapal-kapal berlabuh penuh semangat
inilah zaman telah menjadi sebuah kota

tragedi cinta kami
yang patut dikenang melalui lampu-lampu
di setiap malam yang bercakap
mungkin mereka si para penjaga
di muka-muka sebelum fajar

dan siapa ini sebuah kota
telah merubah suasana kami
pada cuaca
yang berlalu antara kapal-kapal yang berlabuh

2008

Muara Tirau, sebelumnya merupakan tempat di mana kapal-kapal pengangkut barang dari sungai Batanghari Leko, ke Sekayu, dari kota Sekayu hanya berjarak sekitar tiga kilo meter. Sekarang ini namanya Desa Bandar Jaya sejak berlakunya undang-undang pedesaan.

Masih beruntung bagi Eko Putra, meski kota Sekayu tidak selamanya menjadi “mimpi buruk” bagi kehidupan bersastranya, ternyata kota itu memiliki akses internet. Dari sinilah dia membangun “dunia sunyinya” menuju ke dunia maya. Dari dunia maya inilah Eko Putra bergaul secara tekstual dengan sejumlah penyair seperti Sunlie Thomas Alexander, Jamal D. Rahman, Iyut Fitra, Romzi Kembara, Isbedy Stiawan, dan lain-lain. Melalui dunia maya Eko Putra memposting dan mepublikasikan puisi-puisinya yang sudah cukup banyak pada weblognya. Begitulah cara Eko Putra bersastra.

Dalam usianya yang masih remaja, Eko Putra (16 thn) memiliki potensi serta bakat yang cukup bagus dalam menulis. Cermati saja puisi-puisi yang terdapat pada blognya. Saya menilai bahwa sebagai remaja dia telah memiliki bahasa yang tidak dipunyai seperti kebanyakan remaja lainnya dalam menulis puisi (baca: puisi remaja). Pengolahan kata-kata serta pemilihan kata mengalir begitu saja dan cukup mengesankan. Tentunya ini amat penting bagi seorang penyair, sebagaiman yang pernah diungkapkan oleh Sapardi Djoko Damono bahwa “kata” adalah segalanya bagi seorang penyair. Puisi “Secangkir Kopi untuk Ayah” misalnya merupakan dunia keseharian yang dilalui Eko Putra di rumah adalah gambaran bahwa Eko Putra secara teknis sudah menguasai bagaimana memilih kata serta mengolah kata dengan baik sebagaimana puisi tersebut di bawah ini.

Secangkir Kopi untuk Ayah

ayah, tak ada sesiapa
yang menjadikan secangkir kopi ini
mengepul, adalah sisa nafasku
untuk kau hirup dalam kenangan

lalu udaranya, mengental
menjadi butiran candu
dan sedikit kuhidang di soremu

sebagaimana kau aliri
kedalam sum-sum
merasuk dan segalanya kental

2008

Bahkan sebut saja puisi Muara Tirau sebelumnya, dalam memilih judul puisi saja Eko Putra lebih pas memilih Muara Tirau ketimbang judul Bandar Jaya misalnya. Selain ada makna histori, Muara Tirau memiliki efek bunyi yang enak. Puisi-puisi yang ditampilkan Eko Putra di blognya sangat beragam temanya seperi cinta, kernduan, kebahagiaan, protes sosial, dan lain-lain. Demikian pula akan kita temukan juga beragam diksi, tipografi, metafora, dan pengucapan yang mewarnai puisi-puisinya. Sebagai perbandingan dapat kita cermati puisi berikut.

Zamanan dan Televisi

zaman telah menjadi gambar televisi, dan waktunya adalah lampu-lampu neon dengan ketegangan suara-suara, lagu kenangan empat sore. aku memakai perubahan pada bulan koran, lalu bermain playstation, dan akhirnya sebuah pesawat menderu-deru di atap kota, sehabis menulis puisi. maka hari ini, orang bilang umbul-umbul bagai selembar uang kertas, di situ ada foto keluarga tersenyum manis dengan kenangan, empat bulan kedua puluh, berkibar dari televisi, ku menjadi dua rim kertas, dan puisi, tempat duduk-duduk nikmati secangkir kopi, melamar kau untukku dari zaman dan televisi.

2008

Kehadiran Eko Putra, dalam dunia cipta puisi dapat kita ibaratkan sebutir bibit padi yang bagus, tapi memiliki sawah yang kering kerontang. Lantas petaninya seperti apa? Terlepas dari itu, paling tidak kehadiran Eko Putra dalam dunia cipta puisi patut kita syukuri. Secara positif Eko Putra merupakan aset sastra Sumatera Selatan setelah Pinasti Zuchri, Anton Bae, dan lain-lain.

Di sisi lain kehadiran Eko Putra tentu akan menambah barisan penyair di Sumatera Selatan, apalagi dia masih muda dan punya rentang waktu yang panjang dalam berproses. Mudah-mudahan. /anwarputrabayu/

3 komentar:

Bambang Saswanda Harahap mengatakan...

maafkan
aku ingin berguru...
ajari aku
menjadi aku (paling tidak)
atau mungkin jejak langkah
yang kau tapak
ku pijak dengan tapak ku
ajari aku
mengenal"nya"
membenamkan diriku hingga padu
sepenggal kepala (pun jadilah)
tubuhku merasakannya saja sudah cukup
sampai aku bisa perlahan menyelaminya
hingga ke ubun-ubun

Anonim mengatakan...

Waduah, anak kecil ini bisa buat puisi bagus. Salam untuk eko.

Nisah Haji Haron mengatakan...

Mas Bayu,

Kenangan Mastera 2004 tiba-tiba muncul. Saya jadi rindu pada Sungai Musi yang melingkar-lingkar itu...