Yusri
Fajar
“Mengapa
kau tanyakan lagi; apa sebab kerusuhan terjadi. Darah membanjir”(hal.93)
“Gemetar
rinduku merenangi peristiwa padamu tumpah kesah (hal.206)
Nanang Suryadi tidak hanya mengagungkan cinta melalui bahasa indah puisi liris,
namun juga menarasikan ketidakharmonisan hidup dan berbagai peristiwa anarkis
dengan bahasa non-metaforis. Nanang bukanlah Pablo Neruda yang semata bersabda
tentang cinta dan bukan W.S. Rendra yang memprotes ketidakadilan dengan puisi.
Dalam antologi puisi “Cinta, Rindu, dan Orang-Orang yang Menyimpan Api
dalam Kepalanya” terbitan UB Press, 2011 (selanjutnya saya singkat CRO)
Nanang berpuisi dengan ragam gaya yang berkontradiksi antara satu dan lainnya.
Kontradiksi ini secara tematis tercermin juga dalam judul antologinya yang
menggunakan kata ‘Cinta’ dan ‘Api’.
Rindu
seringkali menjadi bagian cinta yang menginspirasi penyair untuk menulis puisi
sentimental. Sementara ‘Api’ yang bersemayam dalam diri adalah metafor dari
sifat buruk manusia. Berbagai peristiwa keji dan tindakan destruktif mendorong
Nanang untuk menulis puisi dengan bahasa sehari-hari. Sebagian besar
puisi-puisi dalam antologi “Cinta, Rindu dan Orang-Orang yang Menyimpan Api
dalam Kepalanya” memiliki perbedaan gaya dan tema dengan puisi-puisi
dalam antologi Nanang sebelumnya, “Biar!” (Indiebook, 2011), yang mayoritas
mengungkapkan ekspresi melalui simbolisasi dan permainan kata sehingga muncul
citra puisi sebagai medan semiotika penuh ambiguitas makna.
Nanang memendarkan stamina dan kemampuan dalam menulis puisi beragam
warna dan aliran. Karena itu, dugaan saya sebelumnya bahwa Nanang adalah
penyair yang cenderung membawa semangat ‘estetisme’, sebagian telah gugur di
sini. Saya sebenarnya telah mengantisipasi kemungkinan Nanang akan terpesona
juga pada wilayah di luar estetisme. Dalam tulisan saya yang membincangkan
antologi puisi ‘Biar!’, saya mengatakan “Saya tak bermaksud seratus persen
mengklaim Nanang Suryadi sebagai sastrawan mahdzab estetisisme, karena antologi
‘Biar!’ belum bisa mewakili karakteristik tematik puisi Nanang secara utuh.”
Ternyata benar dugaan saya, dalam antologi CRO ini Nanang habis-habisan
berselingkuh dengan warna di luar estetisme. Apa yang dilakukan Nanang ini
merefleksikan kekayaan puisi, namun di sisi lain ironis karena dalam perjalanan
proses kreatifnya, pembaca belum akan menemukan karakteristik kepenyairan
Nanang Suryadi. Mungkin Nanang memang penyair berhaluan berbagai aliran.
Puisi-puisi penyair Inggris di era Ratu Elisabeth pada abad lima belas, William
Shakespeare, memiliki konsistensi bahasa yang melahirkan determinasi bahasa
konotatif dan penyampaian pesan secara tersirat meskipun tema-tema yang
diangkat Shakespeare amat beragam. Karena itu wajar jika para kritikus banyak
mengapresiasi puisinya dari berbagai pendekatan karena isu-isu dalam puisi
Shakespeare tidak hanya masalah cinta, namun juga politik, agama (lihat
Hadfield dalam Cheney 2007). Nanang Suryadi dalam CRO menggunakan bahasa
metaforis di satu sisi dan sisi lain bahasa ‘to the point’, sama sekali tidak
simbolis. Meskipun tema yang digarap Nanang juga beragam sebagaimana Shakespeare,
mulai dari cinta hingga fenomena sosial. /Berulang kali
aku tersesat di Jakarta/ berputar-putar menaiki bis kota, bajaj, ojek,taksi,
mikrolet/ pengamen, pedagang asongan, peminta-minta, pemaksa (sambil membawa
secarik kertas di tangan, dia berteriak:saya baru keluar dari penjara, daripada
saya jadi perampok, berilah saya sedikit rejeki anda/. (Puisi ‘Berulang Kali Aku
Tersesat di Jalan dan Gangmu, Jakarta!’ hal 47) Bahasa sehari-hari (ordinary
language) dalam puisi ini seringkali bisa ditemukan dalam berbagai prosa yang
bercerita tentang rutinitas sehari dan dalam puisi-puisi pamflet. Nanang
Suryadi seperti tak ingin mengambil jarak estestis melalui bahasa puitis ketika
menggambarkan Jakarta yang tak ramah pada para pendatang. Nanang begitu terpesona
dengan fenomena carut-marut Jakarta. Dalam puisi-puisi kritik yang bertujuan
dengan efektif mengomentari berbagai hal yang menyimpang dan tak normal di
negeri ini, bahasa yang lugas tanpa tedeng aling-aling memang seringkali
dipilih oleh penyair. Hasilnya adalah puisi kritik yang kadangkala mirip pidato
politik.
Negeri
Api
Puisi Nanang merekam tindakan anarkis dalam sebuah negeri penuh kobaran api
dengan strategi berpuisi hibrid. Di satu sisi Nanang ingin secara langsung
dalam menyampaikan pesan. Masalah-masalah krusial bangsa diceritakan bagitu
saja dengan bahasa biasa. Di sisi lain, dia mengkombinasikan pesan tersebut
dalam baris-baris tersirat dengan simbol dan metafora. Puisi ‘Orang-Orang
yang Menyimpan Api dalam Kepalanya’ (hal 93) adalah contoh percampuran gaya
tersebut. Judul puisi ini menggambarkan manusia yang begitu mudah di sulut
kebencian dan amarah. Api sebagai metafora. /kemarahan itu, membakar gedung-gedung/. Sentuhan
personifikasi jelas bisa ditemukan dalam penggalan baris ini. Namun untuk
mendesripsikan prahara yang terjadi secara detil Nanang memilih menggunakan
bahasa lugas. /Massa yang
mungkin sukar kau mengerti maunya/….orang-orang yang memandang pameran kemewawahan,
namun mereka tiada mampu memilikinya./walau keringat telah diperas begitu
deras, walau tulang belulang telah dibanting dengan begitu keras/Namun tetap
saja yang terlihat ketidakadilan yang disodorkan di mana-mana.Ketimpangan
sosial melahirkan kerusuhan, penjarahan dan pembunuhan. Nanang dalam puisi ini
juga menganggap /Industrialisasi
(juga modernisasi+westernisasi) telah mencemplungkan mereka ke dalam
limbah-limbah pabrik dan melemparkannya ke udara pengap/ Puisi ini dalam beberapa bagian mirip
sastra yang memiliki warna realisme sosial isu tentang penindasan kaum buruh
dan manusia yang dimarjinalkan oleh pemilik modal dan penguasa. Namun yang
menarik dari puisi Nanang ini adalah deskripsi tentang kondisi mental manusia
yang tersisihkan. Manusia yang marah, memendam kebencian dan siap melampiaskan
kekesalannya pada apa dan siapa saja. Jika penyair Mustofa Bisri menyebut
‘Negeri Daging’ (Bentang, 2002) sebagai judul antologi puisinya sebagai
metafora negeri yang mementingkan materi, bukan ruh dan batin, maka Nanang
Suryadi dalam antologi CRO ini menyebut ‘Negeri Api’ (hal. 79) untuk
memetaforakan negeri yang dipenuhi api yang menghanguskan hati nurani.
Indonesia dan berbagai fenomena instabilitas di dalamnya telah menginspirasi
Nanang. Indonesia adalah ruang luas di luar diri penyair yang berkontestasi
dengan ruang pribadi yang dihuni bisikan cinta dan kehidupan personal. Nanang
mengawali antologi CRO ini dengan ruang dan isu nasional. Dengan
melibatkan diri dalam isu Indonesia, Nanang seperti menegaskan ‘sense of
belonging’ nya sebagai manusia Indonesia lalu berusaha menghadirkan sisi-sisi
gelap kehidupan berbangsa yang menguji kebesaran cinta sesama manusia.
Indonesia bagi Nanang adalah negeri yang dipenuhi sisi gelap. Kematian akibat
dari anarkisme menjadi lanskap teror yang ia puisikan. /Sepanjang jalan Indonesia, buku-buku terbakar, wartawan terbunuh,
tentara terbunuh, mahasiswa terbunuh, orang, orang terbunuh, sia, sia/ (‘Sepanjang Jalan Indonesia’
hal.78). Berbagai tragedi,
kekerasan dan sadisme termanifestasi dalam puisi. Peristiwa pembunuhan berulang
dan Nanang mengulanginya lagi dalam puisi dengan kata ‘terbunuh’, seperti
berbagai musim dan juga siang dan malam, yang bergantian datang berulang.
Begitulah esensi peristiwa repetisi pengulangan peristiwa dalam kehidupan dan
juga dalam puisi. Kekerasan, kekejaman dan pembunuhan juga menjadi tema dalam
puisi-puisi penyair Irlandia Seamus Heaney yang meraih nobel sastra dunia.
Heaney memotret laskap sadisme dan penghilangan nyawa dalam kehidupan, bagian
dari sejarah gelap kolonialisme Inggris di Irlandia.
Tapi
Nanang mendeskripsikan kekerasan dan pembunuhan yang terjadi di era di mana
Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya. Nestapa yang berulang-ulang
menimpa Indonesia membuat kesedihan tak juga sirna. /Selamat pagi Indonesia/tak ada lagi airmata buatmu hari ini/telah
kering airmata menangisi engkau/selamat pagi Indonesia/semoga Engkau bahagia./(‘Selamat
Pagi Indonesia, hal.83) Nanang memang tengah melukiskan ibu pertiwi yang tengah
menangis sebagaimana dalam puisinya ‘Surat untuk Ibu Pertiwi’ (hal.94-96). Dia
juga menangkap lanskap gelap dan hitam bangsa Indonesia. Lanskap buram itu
menjadi warna dominan dalam bagian pertama antologi CRO. Nanang mengakhiri
bagian pertama antologi puisinya dengan puisi ‘Narasi Pembantaian dan Nisan
tanpa Nama’ (hal. 120). /Nisan, sebuah batu duka, bertanda gambar tengkorak yang ditatah di
situ./tanpa nama.tanpa tahun kelahiran dan kematian/hanya
kengerian/.../pembantaian!bayangkan amis darah, anyir daging yang tersayat,
ditusuk belati, dilubangi peluru panas, luka nganga/. Puisi ini merepresentasikan berbagai
kekejaman dan pembantaian yang pernah terjadi di Indonesia. Banyak aktivis yang
diculik dan hingga kini tak diketahui rimbanya, termasuk penyair Wiji Tukul
yang dulu dikabarkan hilang namun sampai kini tak ditemukan. Nanang menulis
puisi buat Wiji Tukul. Berjudul ‘Sebutir Mata: Mengingat Wiji Tukul’ (hal.60)/perempuan itu,
istri seorang demonstran, berkata: karena perjuangan harus dilanjutkan,
kangmas, aku relakan sebutir mataku untukmu/menggantikan mata kirimu yang pecah
saat unjuk rasa/.Puisi ini menjadi saksi kekejaman pengambil
kebijakan sekaligus sebagai peringatan bagi anak negeri bahwa perjuangan belum
selesai.
Dari
Indonesia menuju Cinta
Nanang Suryadi |
Setelah menarasikan sisi gelap Indonesia yang penuh air mata dan anarkisme,
pada bagian kedua puisi Nanang lebih berkonsentrasi menggarap tema cinta kepada
orang-orang terkasih dan pada pencipta. Berbagai karya sastra telah diapresiasi
dari segi biografi, dikaitkan dengan diri pengarang. Sisi menarik dari proses
kreatif memang kadangkala tak bisa dilepaskan dari inspirasi dari diri sendiri,
keluarga dan orang-orang terdekat. Dalam berbagai puisi-puisinya Nanang
misalnya secara berterus terang menyebut nama-nama penyair ternama seperti
Sutardji, Wahyu Prasetya, Chairil Anwar, Afrizal Malna, Widji Tukhul, dan Saut
Sitomurang. Dalam puisi-puisi bagian kedua antologi CRO, Nanang menyebut
nama Kunthi Hastorini, Cahaya Hastasurya dan Arya Mada Hastasurya, meski tidak
semua puisi dalam bagian kedua ditujukan kepada mereka bertiga. Namun spirit
cinta suci kepada orang-orang tercinta ini begitu terasa. Hasilnya, puisi-puisi
Nanang terkesan romantis dan sentimentil.
Puisi menjadi ruang berdialog antara anggota keluarga, media berekspresi untuk
menunjukkan cinta sejati dan kedekatan pada mereka. Pada tataran yang luas,
tentu puisi yang ditulis untuk anggota keluarga tercinta tak semata akan
berhenti pada ruang keluarga namun akan memberikan refleksi bagi pembaca.
Dan cinta dilukiskan Nanang melalui puisi seperti dalam
‘Untukmu:Kunthi’(hal.133)./aku ingin menulis sajak, untukmu/seperti dulu/mungkin tentang
hujan/yang turun di saat senja/sebagai puisi yang diam-diam kutuliskan/hujan
perlahan menyapa dengan ingatan/…../aku ingin menulis sajak untukmu/seperti
dulu, seperti dulu/di waktu kita di mabuk rindu/. Atmosfer puisi ini berbeda
dengan mayoritas puisi di bagian pertama antologi yang melukiskan berbagai
tragedi dan prahara. Dalam puisi ‘Untukmu:Kunthi’ ini Nanang menggambarkan aku
liris yang tengah kasmaran. Repetisi dalam puisi ini adalah ciri khas Nanang
sebagaimana saya tegaskan dalam kritik saya terhadap antologi ‘Biar’. Struktur
repetisi, bagi Addonizio dan Laux dalam buku mereka A Guide to the Pleasure of Writing Poetry (1997), menunjukkan ‘pleasure’
(kesenangan), meski tujuan penegasan juga perlu diperhatikan. Kata-kata yang
diulang juga memiliki kekuatan hingga memengaruhi orang. Nanang beberapa
kali mengulang baris ‘aku ingin menulis sajak, untukmu’, sebelum mengakhiri
puisi dengan baris ‘di waktu kita di mabuk rindu’. Puisi yang ditulis mewakili
rindu. Addonizio dan Laux memberikan contoh kata ‘I love you’ (aku cinta kamu)
yang bisa diucapkan seseorang secara berulang-ulang pada orang yang dia cintai.
Cinta yang ditemukan mengalirkan kedamaian. Nanang menulis puisi ‘Di Matamu
Kekasih’ (hal.174)./Di
matamu kekasih, ku temu negeri rerimbun pohonan menghijau daun, gemericik alir
dari mata air/…./tiktak kehidupan, berdetik di dada cintamu/ Jika cinta dan rindu dalam puisi-puisi
bagian kedua ini memang begitu personal, Nanang berarti mampu menggabungkan
sensitivitas proses kreatifnya pada dua wilayah. Namun ekspresi yang terlalu
liris dan personal dalam puisi-puisi bagian kedua membuat jarak begitu menganga
dengan puisi-puisi di bagian pertama. Padahal untuk meredam angkara murka dan
membuat negeri menjadi damai di butuhkan cinta universal, cinta yang bisa
membangun peradaban penuh persaudaraan.
Dalam ‘Wahai Cinta Inilah Nyeri Merindu Wajahmu’(hal.199), puisi panjang dalam
bagian akhir antologi, Nanang menutup berbagai narasi tragedi dan cinta pada
sesama, dengan puisi cinta yang menurut saya lebih mengarah pada sang pencipta.
Al Ghazali menyatakan bahwa cinta sejati adalah adalah kecenderungan seseorang
terhadap suatu obyek, sebagaimana tertuang dalam kitabnya Al-Mahabba. Dan cinta sejati adalah cinta yang bukan
fatamorgana tetapi cinta abadi. Kata ‘kekasih’ yang ditulis Nanang pada puisi
penutup antologinya ini adalah ‘kekasih’ seperti yang ditulis Emha Ainun Nadjib
dalam puisi-puisi sufistiknya. Nanang Suryadi dalam puisi ini menggambarkan aku
liris yang mengakui ketakberdayaan dan berbagai kedzalimannya hingga aku liris
menyerahkan eksistensinya pada sang pengendali mayapada. ‘Mengada’ karena
adanya kekuatan yang jauh melebihi diri yang mengada itu. /Inilah sujudku di
hadapanmu wahai kekasih jangan palingkan muka/karena rindu wajahmu menggoda
selalu berilah senyummu berilah agar tenang tak gelisah melulu inilah
sujudku/meminta ampunmu lihatlah dadaku demikian luka dengan segala resah dan
gundah merindumu tak habis-habis waktu dengan ratap mengharap tatap o airmata
sampaikah memuara di lautmu inilah sujudku dengan rindu telah porak hari-hari
pertarungan kelahi dengan diri sendiri hanguslah o hati mawar yang kau
beri/dari taman seribu bunga demikian remuk demikian redam diamuk rindu dendam
inilah sujudku memohon cintamu. Dalam
bait ini Nanang berbicara tentang eksistensi diri yang menjadi aktor bagi
negeri. ‘Pertarungan kelahi dengan diri sendiri’ adalah pertarungan paling
sulit karena salah satu tantangannya adalah memadamkan api dari dalam diri; Api
yang siap membakar jika tidak diredam dengan cinta. Jika kepala dan nurani anak
negeri tak lagi dipenuhi api (nafsu sadis, destruktif dan anarkis), tentu
negeri ini tak lagi menjelma dalam puisi sebagai ‘Negeri Api’.
Malang,
24 September 2011
Yusri Fajar adalah Penyair dan Prosais, pengajar sastra
Fakultas Ilmu Budaya UB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar