Memakan waktu tidak kurang empat hari, para peserta Temu Sastrawan Indonesia yang terdiri dari cerpenis, novelis, dan penyair mengondisikan diri guna mengikuti menu acara yang disajikan panitia pelaksana, sejak dibuka oleh Staf Ahli Gubernur.
Dialog dan Musyawarah Sastrawan Indonesi, misalnya, merupakan salah satu agenda kegiatan yang penting. Dialog dan musyawarah ini setidaknya telah menyentuh apa yang sudah diplot oleh panitia. Salah satunya, yakni membicarakan adanya kemungkinan dibentuknya wadah atau forum bersama yang melibatkan “Ekologi Sastra” ( yang merupakan tempat berkumpulnya: sastrawan, kritikus, media, dan penerbit). Tentunya harus melampaui proses dialogis. Forum dialog dan musyawarah ini meyepakati adanya sebuah wadah advokasi sastrawan. Jauh sebelumnya, ada usulan-usulan yang ditawarkan peserta, seperti membentuk semacam badan yayasan, komunitas, dan aliansi. Akan tetapi, banyak pula para peserta memandang bahwa yayasan maupun komunitas akan menjelmakan “kultus” baru, seperti yang dilontarkan oleh Isbedy Stiawan ZS, penyair asal Lampung itu.
Untuk apa organisasi sastrawan? Pertanyaan itu pula yang sempat terungkap oleh Sosiawan Leak, penyair asal Solo, Jawa Tengah, di sela-sela sarapan pagi. Pertanyaan Leak itu, agaknya terwakili ketika Acep Zamzam Noor tampil sebagai narasumber di hari ketiga bersama Abdul Bari Azed, Guru Besar FHUI. Dengan nada yang sama Acep Zamzam Noor mengajukan pertanyaan dalam makalahnya “Wadah Sastrawan Indonesia, perlukah?”
Acep menyontohkan kasus penyair Saeful Badar, ketika puisinya yang berjudul “Malaikat” yang dimuat di rubrik budaya Pikiran Rakyat mendapat reaksi sangat keras dari sejumlah Organisasi Massa (Ormas) Islam di Jawa Barat karena dianggap telah melecehkan agama. Dalam hal ini, puisi itu sepertinya mengolok-olok malaikat yang dianggap suci oleh umat Islam. Ormas-ormas itu bukan hanya menteror Pikiran Rakyat melalui telepon, sms, maupun faksimile, bahkan di halaman pertama, esok harinya dimuat juga penyataan resmi ormas-ormas Islam yang mengutuk puisi karya Saeful Badar itu. Beberapa hari kemudian Rahim Asyik, Redaktur Budaya yang memuat puisi tersebut, diberhentikan dari kedudukannya sebagai redaktur budaya.
Bertolak dari pengalaman Saeful Badar yang sempat menghebohkan itu, kemudian menurut Acep Zamzam Noor, banyak temannya sesama sastrawan kemudian berpikir tentang pentingnya organisasi profesi bagi para sastrawan, seperti yang sudah dilakukan oleh profesi-profesi lain di Indonesia. Kawan Acep menyebut dokter, insinyur, pengusaha, advokat, guru, paranormal, atlit, pengamen, pengemis, preman, satpam, dan lain-lain yang sudah membentuk organisasi atau wadah bagi profesi mereka. ”Lalu fungsinya untuk apa?” tanya Acep Zamzam Nooor.
Jika dicermati lagi, di berbagai daerah tumbuh menjamur organisasi atau wadah-wadah sastrawan, yang pada gilirannya organisasi atau wadah-wadah itu tinggal papan nama saja karena tidak bisa menjalankan fungsinya secara baik. Pertanyaan Acep Zamzam Noor tentang ”fungsi Organisasi” cukup menggelitik, terlepas pilihan wadah maupun bentuknya.
Kasus lain juga pernah menimpa cerpenis asal Palembang, Purhendi ketika cerpennya berjudul Perempuan di dalam Masjid, yang dimuat harian umum BeritaPagi, 27 Agustus 2006 sempat membuat cemas penulisnya lantaran penulisnya mendapat reaksi melalui sms, surat pembaca, dan telepon dari pembaca. Ketika itu Puherndi hanya bisa menghubungi beberapa person untuk meminta pendapat. Dalam konteks itu, maka wadah yang mengelola persoalan advokasi untuk sastrawan sangat dimungkinkan ketika para pelaku sastra, seperti Saeful Badar dan Purhendi jika mendapat hal-hal yang tak diinginkan. Kendati advokasi secara formal dapat ditangani pengacara..
Di luar komunitas sastrawan, kasus yang menimpa pelukis asal Palembang, Eden Ariffin mengenai hasil ciptaannya berupa lukisan Sultan Mahmud Badaruddin II, bisa dijadikan contoh yang sangat signifikan. Manakala Eden Ariffin menggugat Bank Indonesia soal royalti lantaran hasil ciptaannya dijadikan gambar uang sepuluh ribu rupiah, memang terasa tidak ada advokasi dari para pelukis atau organisasi seni rupa yang melakukan advokasi.
Padahal menurut Prof. Dr. Abdul Bari Azed, Guru Besar FHUI, Sekjen Departemen Hukum dan HAMRI ini, seorang pecipta (seniman) memiliki “Hak Ekonomi” yang berhubungan dengan karya ciptanya, yakni hak untuk mengumumkan, memperbanyak, memberi izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Hak Ekonomi ini dapat dialihkan kepada orang atau badan hukum. Hak ekonomi ini dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta “Produk Hak Terkait” /anwarputrabayu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar