Sedikitnya 200 sastrawan Indonesia, Senin sampai Jumat (7-11/7), bertemu di Kota Jambi. Mereka selain mengadakan dialog sastra dan musyawarah juga menggelar panggung apresiasi, wisata budaya ke situs Candi Muaro, serta peluncuran buku antologi puisi dan cerpen sastrawan Indonesia.
Ketua Panitia Temu Sastrawan Indonesia I Sakti Alam Watir mengatakan, perkembangan karya sastra Indonesia sepeninggal Paus Sastra HB Jassin tidak diiringi oleh kinerja sastra. Kritik sastra seperti kerakap di atas batu, hidup enggan mati tak mau.
“Langkanya kritikus yang peduli terhadap perkembangan sastra dan minimnya apresiasi masyarakat terhadap perkembangan sastra membuat ekologi sastra tidak harmonis. Idealnya, kehidupan sastra menunjukkan ekologi sastra yang sehat, beragam, harmonis, dan dinamis,” kata Sakti Alam Watir, Minggu (6/7).
Pada sesi dialog pembicara yang tampil di antaranya mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat Ivan Adilla, guru besar satra Indonesia dari Universitas Negeri Padang Hasanuddin WS, sastrawan Sunartono Basuki, Acep Zamzam Noor, dan Abdul Bari Bazed.
Panggung Apresiasi akan menampilkan pembacaan puisi, keragaman seni di setiap kota/kabupaten di Jambi. Panitia juga memamerkan aneka corak serta bentuk karya sastra sebagai manifestasi adanya keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan. Yurnaldi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar