Pertanyaan itu kerapkali muncul dibenak Babeatmadi yang saat ini tengah mengamati perkembangan teater modern di berbagai daerah untuk ditulis dalam buku barunya. Kini dia berada di
Dulu, kata Wannasib, Taman Budaya Sriwijaya pernah dikelola oleh Dewan Kesenian Sumatera Selatan. “Ya, sebaiknya memang begitu, sehingga Taman Budaya bisa terprogram keseniannya. Eh, Wan, tapi kenapa harus Badan Aset yang mengelolanya?” Tanya Babe penasaran.
“Karena DKSS tak sanggup lagi karena persoalan pendanaan. Bayar listrik, bayar kebersihan, bayar perawatan dan macam-macam, itu semuanya pakai uang. Nah, DKSS tak punya uang, yang punya uangkan pemerintah propinsi, harusnya mereka toleran dan menganggarkan untuk kesenian, khususnya untuk DKSS agar sastra, tari, teater, dan musik bias dibina dan dikelola secara serius. Jangan bola melulu yang diurusi,” jawab Wananasib.
Mereka berdua kini tampak mengamati sekelompok orang-orang yang sedang melakukan latihan teater di pelataran jalan. Kayaknya orang-orang yang latihan itu naga-naganya tengah menyiapkan sebuah pertunjukan. Hal itu terungkap bagaimana orang-orang itu mengekspresikan gerak. Di tengah kelengangan anak-anak muda itu kelihatan bersemangat dan giat berlatih.
“Be, syukur kau masih bisa menyaksikan orang-orang latihan hari ini. Biasanya area Taman Budaya ini sangat sunyi dari latihan teater.”
“Oooh begitu?”
“Ya begitu.”
“Saat sekarang ini berteater sedang memikul beban,” kata Babe lirih sambil matanya menatap wajah Wannasib. “Sebagaiman orang-orang yang latihan itu, maka siapa pun yang ingin menggeluti dunia pentas atau seni pertunjukan diharuskan siap untuk memikul beban.” Sampai di situ Babe berhenti ngoceh. Dia menyeruput aqua gelas. Wannasib manggut-manggut.
Persoalanya, kata Babe kemudian, yakni pada penataan non artistik. Anggaplah, soal manejemen misalnya, ketika hal itu mulai disadari berteater tanpa manejemen dia akan seperti kuda pusing di dalam pasar malam. Berpusing-puising di area yang terbatas, begitu eksklusif. Belum lagi kesulitan seniman teater meyakinkan orang-orang bahwa menonton teater atau seni pertunjukkan adalah menyaksikan peristiwa budaya. Kita tengah menyaksikan peristiwa sejarah, kita merasakan peristiwa estetika, begitu komplek.
Bukankah beretater saat ini berhadapan dengan film-film Amerika,
Kemudian bukankah berteater saat ini berhadapan dengan sepakbola? Orang-orang lebih suka nonton sepak bola, tentunya menyiasati pementasan jangan sampai tubrukan dengan jadwal pertandingan, ini salah satu bagian dari beban yang dipikul.
“Ya ya, dulu pernah seorang sastrawan
“Ya, ya. Namun, ini yang menarik bahwa berteater atau seni pertunjukan saat ini di mana-mana berhadapan dengan pilkada. Apakah pergelaran teater yang dianggap berhasil saat ini adalah penuh muatan politik dan ekonomi? Persoalan itu tergantung bagaimana cara kita memandang. Satu sisi bila teater mau hidup, maka teater perlu dana, untuk memiliki dana itu maka perlu kompromi, dan sebaliknya. Dalam hal ini kita mahfum saja. Tapi nanti dulu, di sinilah cilakanya bila kesenian tidak dianggarkan khusus oleh pemerintah. Dana keesenian muncul dadakan, kadang berbau proyek. Itu sebabnya tak tampak perkembangan teater independen yang solid, kreatif, dan produktif. Mungkin itu salah satu penyebab.” Babe menghentikan percakapannya lalu dia diam. Wannasib pun ikut diam. Orang-orang latihan berteriak “Phuaaah!” /anwar putra bayu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar