Monas adalah sebuah taman serba guna. Di waktu subuh hari taman itu menjadi arena berolahraga kemudian senja hari berubah tempat dua sejoli pacaran, dan ada juga yang memanfaatkan sebagai tempat berhayal-hayal maupun “berdialog” sebagaimana yang dilakukan Wannasib saat ini di bawah sebuah patung dada seorang penyair besar Indonesia, Chairil Anwar.
Dari bawah patung itu Wannasib memandang tugu bak sebatang lilin raksasa yang sedang menyala di mana pada puncaknya memancarkan api sebagai sebuah simbol tentang “semangat”. Wannasib pun teringat kepada puisi patung dada di atasnya, dan Wannasib seolah-olah mendengar teriakan lantang yang keluar dari mulut patung itu:
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Sayang, keinginan penulis puisi itu tak sampai meski rasa optimisnya cukup gede. Dia mati muda, hanya 27 tahun melakoni kehidupan dan 59 tahun lalu dia dikubur di Karet sebagaimana disebutnya sebagai daerahku yang akan datang. Kembali pandangan Wannasib ke tugu Monas yang dibangun oleh
Di taman itulah patung dada Chairil Anwar menjadi tetangga dengan tugu Monas. Di tahun 1948, sebelum kematiannya, Chairil Anwar juga pernah dengan lantang membakar semangat perancang dan pendiri tugu Monas itu melalui puisi yang disadurnya, Persetujuan dengan Bung Karno.
Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang
atas apimu, digarami oleh lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak &
berlabuh
Malam makin larut, lampu-lampu taman menyebarkan cahayanya ke segala penjuru. Laron-laron mengumpul di bola lampu. Suasana hening dan dingin. “Kenang, kenanglah kami. Teruskan jiwa kami,” desah sebuah suara yang cukup lirih entah dari mana. Wannasib celingak-celinguk, dan dari sebuah tempat persisnya dari sebelah kiri istana Merdeka, tampil seorang lelaki bersorban sedang menunggang kuda. Keadaannya tidaklah beda dengan Chairil Anwar. Mereka sama-sama mematung. Lelaki itu adalah satria dari gua Selarong, Pangeran Diponegoro.
Lagi-lagi Wannasib mendengar suara Chairil Anwar yang seakan berkata kepada sang satria penunggang kuda.
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu Mati
MAJU
Bagimu Negeri
Menydeiakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguh pun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.
“Di masa pembangunan ini, aku hidup kembali,” kata Chairil Anwar yang tiba-tiba muncul di hadapan Wannasib. Matanya masih saja merah dan wajah kurusnya begitu pucat. Dia menunjukan senyum sinisnya. Kemudian sorot kedua matanya begitu tajam. Pandangan itu seolah-olah ingin menikam jantung Wannasib. Rasa ngeri merasuki Wannasib, namun Chairil tak peduli. Malah dia berdiri angkuh seperti Monas di sampingnya. Tanpa bersikap ragu, dia menjabat tangan Wannasib begitu erat.
“Aku Chairil. Maaf aku selalu membuatmu tak nyaman karena sikap tak bersahabat yang kau rasakan. Banyak kawan-kawanku dulu jadi jengkel dan kapok lantaran ulah yang sesuka-sukaku. Tengok saja Jassin, Sam Amir, Basuki, dan lain-lainnya pasti reseh. Aku tahu, aku tahu, tentunya kaupun tersinggung atas senyumanku tadi
“Di masa pembangunan sekarang ini aku sinis terhadap lingkungan ini. Sungguh, aku berada dalam dunia fantasi namun dibaluti kekumuhan di sana-sini. Satu hal, aku memang terasa kagum atas pesatnya kemajuan pembangunan termasuk menegakkan patungku di tengah kemegahan
“Aku, Chairil.” Katanya lagi. “Aku secara biologis dibesarkan di
“Apakah kau masih ingin mendengar bicaraku?” Tanya Chairil. Wannasib tetap saja melongo. “Baik, baik, kalau kau tak peduli lagi kubacakan kau puisi”
Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenagaku terbang
Sudah! Tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil peduli
Keras-membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi!
Wannasib tetap saja melongo.
/anwar putra bayu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar