Karya sastra, seni pada umumnya, adalah dunia angan-angan yang kreatif, hasil dari kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru, yang di dalamnya diperlukan fantasi. Kekuatan sastra bukan karena memapar realitas dengan tepat tetapi menggambarkan dunia yang tidak nyata begitu rupa hingga kelihatan seperti nyata. Sastra merupakan sebuah cermin masyarakat.
Kalau kita amati tema garapan para penulis dewasa ini terasa kreativitas yang disuguhkan menjelajah tokoh-tokoh yang muncul dengan permasalahan yang beragam di kota-kota besar cukup bervariasi. Karya-karya yang digarap, terutama prosa menyuguhkan penggambaran fisik dan sifat tokoh yang tinggal di kota-kota besar. Perkembangan watak tokoh dan alasan/dasar perkembangan watak tersebut tak lepas dari hubungan antarkejadian, konflik, tegangan dan kejutan hingga klimaks.Tempat/ruang dan waktu terjadinya peristiwa yang melibatkan para tokoh sangat diperhitungkan. Misalnya bagaimana mereka memperhitungkan kesesuaian latar dengan tuntutan cerita, dan kegunaan latar bagi penggambaran tokoh.
Bahasa yang digunakan, terutama bagi penulis-penulis muda sangat berindah-indah dan ada kecendrungan mereka bergulat pada kata-kata tanpa mengusung tema. Terkadang terasa mereka bermain-main saja dengan bumbu kata-kata karena menurut saya mereka tidak bisa bercerita. Tidak bisa membuat cerita. Bila kita perhatikan dalam mereka bergulat menyuguhkan permainan kata-kata, tema-tema yang diusung akrobatik kata-kata itu adalah tema-tema para penulis pemula. Sebagian besar hampir dikuasai corak bahasa kota-kota besar, walau demikian tidak terlepas dari ketepatan pemilihan kata dan kalimat bagi penyajian cerita, kegunaan pemakaian kata dan kalimat bagi pengembangan tokoh, alur, dan latar cerita, juga keterbacaan bagi kelompok pembaca yang luas.
Demikian pula kreativitas mereka yang khas. Hampir semua mereka berusaha membiarkan kemampuan menemukan dan mengembangkan gagasan yang baru atau khas dengan cara penyampaian yang baru atau khas pula. Malah mereka tak ragu-ragu kalau kreativitas itu keluar dari kebiasaan kehidupan. Walau demikian mereka tetap memperhatikan kesesuaian sudut pandang, cara melihat gagasan dan pengungkapan dengan kelompok pembaca yang beragam. Kegunaan gagasan dan cara pengungkapan yang baru atau khas bagi pengembangan tokoh, alur, dan latar cerita. Demikianlah mereka mencari hal-hal yang menjadi tonggak penilaian.
Di kehidupan kita sekarang ini budaya baru menjejali kita. Didominasi centang-perenang tiruan keadaan yang dapat dilihat. Kita dihidupi dan menghidupi dunia penglihatan dari yang disodorkan ke hadapan kita. Halaman koran dan majalah, televisi, keping vcd, dvd, papan iklan yang bertebar di pinggir jalan, handphone, internet dan sebagainya, membanjiri kehidupan kita hingga ke pojok paling terpencil, mengepung setiap individu di semua lapisan sosial.
Semua perangkat itu merajalela di zaman reformasi ini dan membuka keran penyalur bagi sebagian pekerja di bidang produksi budaya. Suatu generasi penulis mengikuti kurun waktu reformasi itu, munculnya para penulis yang segera menyedot perhatian. Karya-karya generasi penulis perempuan berlatar kelas menengah menawarkan pandangan atas krisis yang sedang terjadi. Kebebasan baru yang dihembuskan perubahan secara drastis untuk perbaikan itu, muncullah para reformis di bidang penulis-penulis ini menawarkan sudut pandang jenis kelamin yang secara problematis menjadi bingkai baru; menurut mereka. Padahal apa yang mereka suguhkan, keberanian membuka selangkang kaum para penulis perempuan itu sudah dilakukan para penulis pria di zaman jauh sebelum mereka merasa bebas menyuguhkannya. Terutama milik pribadi yang tersembunyi itu. Pernah saya mendengar ucapan sinis seorang teman; modal mereka hanya keberaian menuliskan apa yang mereka lihat di dalam cermin saat mereka melepas semua penutup tubuh. Bedanya barangkali kalau dulu yang mengungkapkan kaum penulis pria, yang menggambarkannya dari imajinasi, sekarang pemilik tubuh itu, kaum penulis perempuan itu cukup menuliskan apa yang mereka pandang di cermin. Sebab kaum penulis perempuan itu sangat akrab dengan apa yang ingin mereka suguhkan: abaikan norma.
Banyak di antara penulis ini adalah orang kota yang bergelut setiap harinya dalam hingar-bingar gaya hidup urban yang terkekang dalam karya-karya mereka.
Kemudian muncullah warna baru yang menyita perhatian sebagai penulis di era reformasi akhir-akhir ini. Masalah etnisitas cukup gencar dipersoalkan dalam karya-karya bersetting kampung/daerah, sejak berlakunya otonomi daerah. Karya-karya etnisitas, budaya dan sejarah lokal mulai bermunculan. Digarap secara serius oleh mereka, dan merupakan kebanggaan kedaerahan. Berbagai macam unsur khas budaya etnis seperti kepercayaan dan upacara, dan mitos.
Mungkin jemu dijejali cerita-cerita yang mengarah ke kota-kota besar, para sastrawan kembali mengakrabi sub-kulturnya masing-masing. Para sastrawan memberikan kultur daerahnya. Kultur daerah ini memberi kebetahan batin dan menimbulkan rangsangan kreatif. Kultur lokal atau tradisi daerah sangat dikenal dan diakrabi mereka di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Warna lokal atau tradisi, kultur setempat, mitos-mitos, menjadi acuan dalam karya-karya mereka yang menjamur.
Perkembangan karya-karya sastra dewasa ini diperkaya mereka dengan menggarap kultur dan tradisi daerah. Masuknya kembali pada kultur dan tradisi daerah mendapat tempat setelah datangnya era reformasi dan maraknya otonomi daerah.
Otonomi daerah membakar mereka untuk menjadikan semua harus dari daerah. Termasuk garapan kultur dan tradisi daerah pun mendapat tempat.
Barangkali itulah yang terjadi dalam perkembangan penulisan dewasa ini. Kalau saya keliru, maafkan!
Tulisan ini pernah disajikan pada pertemuan sastrawan Sumatera Utara di Medan, 28 – 30 Desember 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar