27 Juli 2008

Catatan Temu Sastrawan Indonesia, Jambi (3-Habis)

Kasus lain juga pernah menimpa cerpenis asal Palembang, Purhendi ketika cerpennya berjudul Perempuan di dalam Masjid, yang dimuat harian umum BeritaPagi, 27 Agustus 2006 sempat membuat cemas penulisnya lantaran penulisnya mendapat reaksi melalui sms, surat pembaca, dan telepon dari pembaca. Ketika itu Puherndi hanya bisa menghubungi beberapa person untuk meminta pendapat. Dalam konteks itu, maka wadah yang mengelola persoalan advokasi untuk sastrawan sangat dimungkinkan ketika para pelaku sastra, seperti Saeful Badar dan Purhendi jika mendapat hal-hal yang tak diinginkan. Kendati advokasi secara formal dapat ditangani pengacara..

Di luar komunitas sastrawan, kasus yang menimpa pelukis asal Palembang, Eden Ariffin mengenai hasil ciptaannya melalui sayembara berupa lukisan Sultan Mahmud Badaruddin II, bisa dijadikan contoh yang sangat signifikan. Manakala Eden Ariffin menggugat Bank Indonesia soal royalti lantaran hasil ciptaannya dijadikan gambar uang sepuluh ribu rupiah. Kasus Eden itu memang terasa tidak ada advokasi dari para pelukis atau organisasi seni rupa yang menanganinya.

Padahal menurut Prof. Dr. Abdul Bari Azed, Guru Besar FHUI, Sekjen Departemen Hukum dan HAMRI ini, seorang pecipta (seniman) memiliki “Hak Ekonomi” yang berhubungan dengan karya ciptanya, yakni hak untuk mengumumkan, memperbanyak, memberi izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Hak Ekonomi ini dapat dialihkan kepada orang atau badan hukum. Hak ekonomi ini dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta “Produk Hak Terkait”.

Di sisi lain, Fadillah seorang Dosen dan Peneliti Sastra dari Universitas Andalas Padang ini memandang advokasi dalam relasi sastra apabila terjadi penindasan terhadap dunia sastra oleh pemerintah atau penguasa, maka ada empat aspek yang ditindas; pertama karya, kedua pengarang, ketiga kritikus, keempat pencinta atau pembaca karya sastra.

Menurutnya, bentuk penindasan terhadap karya biasanya terjadi pelarangan atau pembakaran karya sastra. Kedua adalah dipenjarakan atau dijatuhi hukuman mati terhadap pengarang, Begitu juga kritikus, yakni dipenjara atau dihukum mati. Sedangkan pembaca, dilarang membaca, dipenjarakan atau dijatuhi hukuman mati.

Dari topik-topik yang disajikan dalam Musyawarah Temu Sastrwan Indonesia itu seperti Pecapaian estetika Sastra Indonesia, Pengajaran Sastra Indonesia, dan Tradisi Kritik Sastra Indonesia bukanlah isu baru bagi para peserta.

Kritik Sastra Indonesia misalnya, masih dalam sorotan negatif ketika Hary S Harjono, Maizar Karim maupun Ahda Imran saat menyampaikan berbagai pandangan mereka. Itu sebabnya, Afrizal Malna yang juga mengusung persoalan kritik agak ragu bahwa kritik sastra Indonesia itu ada, dalam pengertian kritik sastra tidak dalam perbincangan apa yang sudah disampaikan oleh Hary S Harjono, dan lain-lain.

Afrizal tampak memiliki pandangan lain yang pada gilirannya mempertanyakan apakah kita memerlukan kritik sastra, agar pembaca mengerti sastra atau dengan kata lain apakah pembaca itu memerlukan mata krtikus untuk membaca karya sastra? Malahan kenyataan yang berkembang menurut Afrizal bahwa saat ini kritik sastra sudah diambil alih oleh lembaga-lembaga sayembara pemberi hadiah, diambil alih oleh penerbit, diambil alih oleh redaktur budaya di media massa. Mungkin juga hal itu sebuah fenomena untuk mengatakan bahwa memang kritik sastra tidak diperlukan.

Jauh sebelumnya, menurut Afrizal Malna lagi, bahwa kritik sastra itu ada lantaran kesibukan dunia akademis. Kemudian manakala pasar tumbuh, ekonomi tumbuh, industri berkembang, mereka punya cara tersendiri dalam mengakses sastra, dan pada saat itu memang menjadi cukup penting untuk bertanya ulang, apakah kritik sastra itu memang harus ada?

Diskusi sastra yang memakan waktu dua hari memang cukup membuat para peserta untuk berbetah diri mengikuti proses berlangsungnya alur diskusi. Selain seminar, peserta juga ikut menikmati kegiatan panggung apresiasi, wisata budaya, dan pameran foto penyair. Pada akhirnya Musyawarah Temu Sastrawan Indonesia melalui tim perumus yang terdiri dari Acep Zamzam Noor, Triyanto, Kartini, Tan Loie, dan Koko P Bhairawa memandang perlu untuk meneruskan kegiatan pertemuan sastrawan berikutnya yang direncanakan di Bangka Belitung dan Palembang. Habis. /anwar putra bayu/

24 Juli 2008

Panggung Apresiasi TSI 2008

Hamsad Rangkuti tengah membacakan cerpennya

Penampilan sastra tutur pun ikut mewarnai panggung apresiasi
Diah Hadaning meski usianya sudah tua namun penyair perempuan ini masih enerjik
Tan Loie penyair dari Bali ini saat membacakan puisinya.
Selain itu ia tampil dalam musikalisasi puisi

20 Juli 2008

Catatan Temu Sastrawan Inonesia, Jambi (2)

Memakan waktu tidak kurang empat hari, para peserta Temu Sastrawan Indonesia yang terdiri dari cerpenis, novelis, dan penyair mengondisikan diri guna mengikuti menu acara yang disajikan panitia pelaksana, sejak dibuka oleh Staf Ahli Gubernur.

Dialog dan Musyawarah Sastrawan Indonesi, misalnya, merupakan salah satu agenda kegiatan yang penting. Dialog dan musyawarah ini setidaknya telah menyentuh apa yang sudah diplot oleh panitia. Salah satunya, yakni membicarakan adanya kemungkinan dibentuknya wadah atau forum bersama yang melibatkan “Ekologi Sastra” ( yang merupakan tempat berkumpulnya: sastrawan, kritikus, media, dan penerbit). Tentunya harus melampaui proses dialogis. Forum dialog dan musyawarah ini meyepakati adanya sebuah wadah advokasi sastrawan. Jauh sebelumnya, ada usulan-usulan yang ditawarkan peserta, seperti membentuk semacam badan yayasan, komunitas, dan aliansi. Akan tetapi, banyak pula para peserta memandang bahwa yayasan maupun komunitas akan menjelmakan “kultus” baru, seperti yang dilontarkan oleh Isbedy Stiawan ZS, penyair asal Lampung itu.

Untuk apa organisasi sastrawan? Pertanyaan itu pula yang sempat terungkap oleh Sosiawan Leak, penyair asal Solo, Jawa Tengah, di sela-sela sarapan pagi. Pertanyaan Leak itu, agaknya terwakili ketika Acep Zamzam Noor tampil sebagai narasumber di hari ketiga bersama Abdul Bari Azed, Guru Besar FHUI. Dengan nada yang sama Acep Zamzam Noor mengajukan pertanyaan dalam makalahnya “Wadah Sastrawan Indonesia, perlukah?”

Acep menyontohkan kasus penyair Saeful Badar, ketika puisinya yang berjudul “Malaikat” yang dimuat di rubrik budaya Pikiran Rakyat mendapat reaksi sangat keras dari sejumlah Organisasi Massa (Ormas) Islam di Jawa Barat karena dianggap telah melecehkan agama. Dalam hal ini, puisi itu sepertinya mengolok-olok malaikat yang dianggap suci oleh umat Islam. Ormas-ormas itu bukan hanya menteror Pikiran Rakyat melalui telepon, sms, maupun faksimile, bahkan di halaman pertama, esok harinya dimuat juga penyataan resmi ormas-ormas Islam yang mengutuk puisi karya Saeful Badar itu. Beberapa hari kemudian Rahim Asyik, Redaktur Budaya yang memuat puisi tersebut, diberhentikan dari kedudukannya sebagai redaktur budaya.

Bertolak dari pengalaman Saeful Badar yang sempat menghebohkan itu, kemudian menurut Acep Zamzam Noor, banyak temannya sesama sastrawan kemudian berpikir tentang pentingnya organisasi profesi bagi para sastrawan, seperti yang sudah dilakukan oleh profesi-profesi lain di Indonesia. Kawan Acep menyebut dokter, insinyur, pengusaha, advokat, guru, paranormal, atlit, pengamen, pengemis, preman, satpam, dan lain-lain yang sudah membentuk organisasi atau wadah bagi profesi mereka. ”Lalu fungsinya untuk apa?” tanya Acep Zamzam Nooor.

Jika dicermati lagi, di berbagai daerah tumbuh menjamur organisasi atau wadah-wadah sastrawan, yang pada gilirannya organisasi atau wadah-wadah itu tinggal papan nama saja karena tidak bisa menjalankan fungsinya secara baik. Pertanyaan Acep Zamzam Noor tentang ”fungsi Organisasi” cukup menggelitik, terlepas pilihan wadah maupun bentuknya.

Kasus lain juga pernah menimpa cerpenis asal Palembang, Purhendi ketika cerpennya berjudul Perempuan di dalam Masjid, yang dimuat harian umum BeritaPagi, 27 Agustus 2006 sempat membuat cemas penulisnya lantaran penulisnya mendapat reaksi melalui sms, surat pembaca, dan telepon dari pembaca. Ketika itu Puherndi hanya bisa menghubungi beberapa person untuk meminta pendapat. Dalam konteks itu, maka wadah yang mengelola persoalan advokasi untuk sastrawan sangat dimungkinkan ketika para pelaku sastra, seperti Saeful Badar dan Purhendi jika mendapat hal-hal yang tak diinginkan. Kendati advokasi secara formal dapat ditangani pengacara..

Di luar komunitas sastrawan, kasus yang menimpa pelukis asal Palembang, Eden Ariffin mengenai hasil ciptaannya berupa lukisan Sultan Mahmud Badaruddin II, bisa dijadikan contoh yang sangat signifikan. Manakala Eden Ariffin menggugat Bank Indonesia soal royalti lantaran hasil ciptaannya dijadikan gambar uang sepuluh ribu rupiah, memang terasa tidak ada advokasi dari para pelukis atau organisasi seni rupa yang melakukan advokasi.

Padahal menurut Prof. Dr. Abdul Bari Azed, Guru Besar FHUI, Sekjen Departemen Hukum dan HAMRI ini, seorang pecipta (seniman) memiliki “Hak Ekonomi” yang berhubungan dengan karya ciptanya, yakni hak untuk mengumumkan, memperbanyak, memberi izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Hak Ekonomi ini dapat dialihkan kepada orang atau badan hukum. Hak ekonomi ini dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta “Produk Hak Terkait” /anwarputrabayu/

18 Juli 2008

Menghilir di Sungai Batanghari Menuju Candi

Irmansyah dan Naba dalam perahu ketek, sebuah perjalanan...Yess!
Kata Naba, Om Hary B Khoirun tertidur atau sedang mencari ide untuk novel barunya
Purhendi dan Hamsad Rangkuti menikmati angin semilir di Sungai Batanghari
Naba memandang ke depan dari depan perahu ketek
Perahu Ketek menuju candi Muaro Jambi yang akan melewati jembatan gantung

17 Juli 2008

Muaro Jambi dalam gambar

Naba dan Hary B Khoirun di atas candi sedang semedhi
Tomo (anak dari EM. Yogisawra) dan Naba (anak dari Anwar PB)
Anwar P Bayu, Suyadi San, Sunlie, dan Hamsad Rangkuti

Thomson HS, Koko P Bhairawa, Marhalim Zaini, Jajang R Kawentar, Naba, Sunlie T Alexander, Miyoko, Tomo Irmansyah, dan Yogiswara foto bersama di area candi Muaro Jambi

16 Juli 2008

Sastrawan Sepakat Bentuk Aliansi


JAMBI (Lampost): Sastrawan se-Indonesia sepakat membentuk Aliansi Sastra Indonesia (ASI) untuk mengadvokasi hak cipta dan pembelaan sastrawan. Selain beranggotakan penyair, cerpenis, novelis, esai, dan penulis naskah drama, ASI juga melibatkan praktisi ahli di bidang advokasi.

Pembentukan lembaga tersebut disepakati dalam Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 1 di Jambi, kemarin (9-7) yang menjadi salah satu agenda TSI. Menurut ketua pelaksana TSI Sudaryono, wadah tersebut diharapkan mendorong penguatan posisi sastrawan di tengah ekologi sastra Indonesia yang tidak sehat. "Sastrawan, kritikus, penerbit, media, dan masyarakat perlu memiliki kemandirian. Ini penting untuk mengadvokasi sastrawan yang diintimidasi, dipecat kepegawaiannya atau mengalami pengekangan kreativitasnya," ujar Sudaryono.

Lain halnya sastrawan Lampung Isbedy Stiawan Z.S yang ikut dalam acara tersebut. Menurut dia, pembentukan lembaga semacam ASI tidak memiliki kontribusi yang jelas. "Lembaga-lembaga yang ada bahkan cenderung mengultuskan ketuanya, misalnya Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Komunitas Utan Kayu (KUK). Mestinya kalau mau membesarkan ya anggotanya atau karya," kata dia.

Menyinggung soal advokasi, Isbedy juga mempertanyakan efektivitas lembaga menjalankan fungsi pembelaan. Lembaga-lembaga tersebut hanya hangat di forum pertemuan. "Karena lembaga itu menurut penyelenggara harus dan ini disetujui peserta lain, saya bisa menerima lembaga itu," ujar Isbedy.

Selain Isbedy, sastrawan lain seperti Acep Zamzam Noor, Sosiawan Leak, Anwar Putra Bayu, dan Suyadi San juga tidak setuju dengan forum Aliansi Sastrawan Indonesia.

Terkait hak cipta, Sekjen Depkum HAM Abdul Bari Azed yang juga hadir sebagai pemateri menyatakan hak cipta karya sastra perlu diperjuangkan. Karya sastra juga bias jadi sasaran bajakan dan penjiplakan seperti yang terjadi pada buku atau musik. "Karya sastra juga dilindungi UU Hak Cipta No12/1997. Sudah seharusnya sastrawan mulai peduli dengan masalah ini," ujar Bari.

Temu Sastrawan Indonesia 1 diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi. Gubernur Jambi, Ketua DPRD, dan Muspida provinsi duduk sebagai penasihat. Kadisbudpar duduk sebagai ketua umum.

Menurut ketua pelaksana TSI 1 Sudaryono, dukungan pemda dan media massa menjadi kunci sukses acara tersebut. "Ini forum sastrawan yang acaranya diselenggarakan pemda. Tanpa ada birokrat yang peduli pada kesenian dan kebudayaan sepertinya sulit melakukan acara semacam ini," ujar dosen Universitas Negeri Jambi yang juga penyair ini.

TSI 1 diikuti sastrawan dari Sumatera, Jawa, Bali, NTB, Kalimantan, dan Sulawesi. Pada musyawarah sastrawan kemarin, seluruh peserta setuju TSI diteruskan. Untuk tahun depan, Bangka Belitung akan menjadi penyelenggara. n MAT/U-2

12 Juli 2008

Catatan Temu Sastrawan Indonesia 1 di Jambi

/1/

Hallo, selamat pagi saya Mahdayeni, LO yang akan mendampingi Bapak selama di Jambi. Kapan Bapak berangkat? Pastikan naik apa, nanti kami jemput. Tks.

Demikianlah bunyi SMS yang masuk ke handphone saya dua hari sebelum saya, Purhendi, Jajang R Kawentar, Isbedy Stiawan, dan Sudirman salah seorang wartawan budaya Lampung Post bertolak bersama dari Palembang menuju Jambi, Senin (7/7) lalu. Jauh sebelumnya, saya kerapkali menerima SMS dari penyair Dimas Arika Mihardja dan Firdaus. SMS mereka itu selalu mengingatkan pentingnya acara yang digelar di Jambi. Artinya, saya pribadi, juga Purhendi, Koko P Bhairawa, Jajang R Kawentar harus hadir.

Dengan gencarnya SMS yang datang dari tim kerja Temu Sastrawan Indonesia 1, saya berpikir kemudian membayangkan betapa kerja kawan-kawan di Jambi sangat serius. Sejak bulan Februari ketika saya menerima surat, kemudian email, dan SMS menunjukkan bahwa Dimas Arika Mihardja sebagai ketua penyelenggara tidak menyia-nyiakan teknologi komunikasi untuk menjalin hubungan komunikasi dengan tidak kurang 130 sastrawan Indonesia dari Nangro Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, Jabotabek, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.

Sebagaimana diakui Fakhrunas MA Jabar dari Riau yang hanya bisa hadir pada malam pembukaan bahwa kedatangannya lantaran sangat menghormati dan apresiatif atas kerja dan upaya yang sangat serius dilakukan oleh panitia. “Aku tak tega bila tak datang ke Jambi. Itu soalnya karena aku ada pekerjaan dari perusahaan yang tak bisa kutinggalkan, makanya aku hanya bisa mengikuti acara pembukaan,” kata cerpenis kelahiran Pekanbaru ini dengan nada menyesal. Begitu juga terjadi terhadap Hoenizar Hood penyair asal Kepulauan Riau yang hanya bisa mengikuti hari pertama musyawarah sastrawan mengungkapkan rasa penyesalannya.

Di sisi lain tampak sastrawan senior Hamsad Rangkuti, L.K. Ara, Sunaryo Basuki, dan Dinullah Rayes begitu setia mengikuti sepenuhnya acara TSI yang memakan waktu empat hari. Meski usia mereka rata-rata sudah separuh baya tapi semangat mereka tampak masih menyala-nyala, apa lagi cerpenis Sunaryo Basuki yang sudah tampak sangat tua. -anwar putra bayu-

Temu Sastrawandi Jambi Dibuka Berlangsung Hingga 11 Juli

JAMBI, TRIBUN - Pertunjukan baca puisi, tarian dan lagu oleh anak-anak yang diiringi musik kolintang kayu, gendang, dan akordeon yang dimainkan anak-anak, Senin (7/7) malam, memukau sekitar 200 lebih sastrawan. Pertunjukan anak-anak itu mengawali prosesi pembukaan Temu Sastrawan Indonesia I di Kota Jambi, Provinsi Jambi.

Gubernur Jambi diwakili Staf Ahli Gubernur, Junaidi T Noor, mengatakan, Temu Sastrawan Indonesia ini membuka ruang interaksi pemikiran dari beragam etnis, kultur, yang sarat dengan akar budaya, warna budaya daerah masing-masing.

“Karya sastra yang digali dari subkultur yang ada di Indonesia akan memberi rona keberagaman yang manunggal dalam keindonesiaan (Bhinneka Tunggal Ika). Keberagaman warna lokal saat globalisasi sekarang ini menjadi penting sebab dengan keberagaman itu pula identitas lokal terwadahi,” katanya.

Menurut dia, keberagaman itu dalam konteks keindonesiaan perlu mendapatkan ruang ekspresi seluas-luasnya untuk capaian estetis sastra Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang. Usai memberikan kata sambutan Staf Ahli Gubernur melanjutkan pembacaan puisi karya Dimas Arika Mihardja berjudul Pucuk Jambi Sembilan Lurah Batangnyo Alam Barajo.

Koreografer Tom Ibnur juga mempertunjukan koreografi terbarunya. Ketua Panitia Temu Sastrawan Indonesia Sudaryono mengatakan, bahwa satrawan yang datang hampir dari seluruh pulau di Indonesia. Tampak hadir antara lain Putu Wijaya, Harris Effendi Tahar, Jose Rizal Manua, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, Afrizal Malna, Hamsad Rangkuti, Dinullah Rayes, Irmansyah, Asrizal Nur, dan Ahmadun Yosi Herfanda.

Temu Sastrawan yang berlangsung hingga 11 Juli mendatang, menggelar enam kegiatan, yaitu Dialog Sastra dan Musyawarah Sastrawan Indonesia, Workshop Penulisan Esai dan Kritik Sastra, Panggung Apresiasi, Peluncuran Buku Kumpulan Cerpen dan Puisi, Pameran dan Bazar, dan Wisata Budaya ke Situs Candi Muaro.

Pembukaan sekaligus peluncuran buku puisi Tanah Pilih dan buku kumpulan cerpen Senarai Batanghari, yang diserahkan secara simbolis kepada Putu Wijaya dan Hamsad Rangkuti. “Temu Sastrawan Indonesia selain ajang silaturahmi, juga tukar pemikiran sastra Indonesia yang diharapkan berkembang dinamis untuk membenahi rumah tangga sastra Indonesia,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, Mualimah Radhiana.(*)

Laporan: Yurnaldi & Irma Tambunan/Wartawan Kompas

Sumber: Tribun Pekan Baru Online [Senin 07/07/08, 22:30:19]

200 Sastrawan Kumpul di Jambi

Sedikitnya 200 sastrawan Indonesia, Senin sampai Jumat (7-11/7), bertemu di Kota Jambi. Mereka selain mengadakan dialog sastra dan musyawarah juga menggelar panggung apresiasi, wisata budaya ke situs Candi Muaro, serta peluncuran buku antologi puisi dan cerpen sastrawan Indonesia.

Ketua Panitia Temu Sastrawan Indonesia I Sakti Alam Watir mengatakan, perkembangan karya sastra Indonesia sepeninggal Paus Sastra HB Jassin tidak diiringi oleh kinerja sastra. Kritik sastra seperti kerakap di atas batu, hidup enggan mati tak mau.

“Langkanya kritikus yang peduli terhadap perkembangan sastra dan minimnya apresiasi masyarakat terhadap perkembangan sastra membuat ekologi sastra tidak harmonis. Idealnya, kehidupan sastra menunjukkan ekologi sastra yang sehat, beragam, harmonis, dan dinamis,” kata Sakti Alam Watir, Minggu (6/7).

Pada sesi dialog pembicara yang tampil di antaranya mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat Ivan Adilla, guru besar satra Indonesia dari Universitas Negeri Padang Hasanuddin WS, sastrawan Sunartono Basuki, Acep Zamzam Noor, dan Abdul Bari Bazed.

Panggung Apresiasi akan menampilkan pembacaan puisi, keragaman seni di setiap kota/kabupaten di Jambi. Panitia juga memamerkan aneka corak serta bentuk karya sastra sebagai manifestasi adanya keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan. Yurnaldi

04 Juli 2008

Anwar Putra Bayu, Purhendi, Prakoso Bhairawa Putra, dan Jajang Kawewentar Menghadiri Temu Sastrawan Indonesia di Jambi


Menurut rencana, Senin (07/2008), Prakoso Bhairawa Putra (penyair), Purhendi (cerpenis), Jajang Kawentar (penyair), dan Anwar Putra Bayu (penyair) akan bertolak ke Jambi untuk memenuhi undangan Temu Sastrawan Indonesia yang digelar oleh Dinas Budpar Provinsi Jambi, 7 hingga 11 Juli.

Menurut Kepala Dinas Budpar Provinsi Jambi, Dra. Hj. Mualimah Radhiana, M.Pd, bahwa Temu Sastrawan Indonesia 1 ini merupakan kegiatan yang akan melibatkan sastrawan, krtikus, pengamat/pemerhati, akademis, dan penerbit yang berskala nasional. “Sebagai tuan rumah atau penyelenggara kegiatan, kami berharap acara akan berjalan lancar, dan bisa menghasilkan sebuah keputusan atau kesepakatan yang ditetapkan dalam Musyawarah Sastrawan Indonesia,” harap Mualimah, Sabtu kemarin di ruang kerjanya.

Acara yang akan dibuka oleh Gubernur Provinsi Jambi ini akan melibatkan 130 orang peserta dari berbagai provinsi/kabupaten. Mereka nanti akan mendiskusikan berbagai topik tentang sastra Indonesia saat ini. Perbincangan sastra Indonesia itu akan menampilkan Prof. Hasanuddin WS, DR. Haris Effendi Thahar, DR. Sunaryono Basuki, Korrie Layun Rampan, Acep Zam Zam Noor, Prof. Suminto A. Sayuti, Afrizal Malna, Maizar Karim, dan lain-lain. Sedangkan workshop penulisan akan mengetengahkan DR. Maman S. Mahayana, dan Agus R. Sarjono.

DR. Sudaryono, M.Pd, selaku Ketua Pelaksana mengungkapkan bahwa rangkaian kegiatan Temu Sastra itui cukup beragam antara lain Dialog dan Musyawarah Sastrawan Indonesia yang intinya akan membicarakan kemungkinan dibentuknya wadah atau forum bersama yang melibatkan ekologi sastra (sastrawan, kritikus, media, penerbit, dll), kemudian apa dan bagaimana capaian estetik sastra Indonesia, keberagaman, dan kedinamisan sastrawan. Peserta kongres: Sastrawan (3 generasi), Kritikus, dan undangan dari kalangan media, penerbit, dll. Sedangkan Workshop penulisan esai dan kritik sastra: memfasilitasi para penulis muda berbakat, guru sastra, dan mahasiswa untuk mampu menulis kritik/esai sastra, Panggung Apresiasi menampilkan sastrawan undangan, kemudian wisata budaya guna memberikan sajian keberagaman yang dimiliki Provinsi Jambi kepada peserta. Penerbitan Buku Antologi yakni antologi puisi sastrawan Indonesia, dan antologi cerpen sastrawan Indonesia, serta pameran dan bazar yang memamerkan aneka corak dan bentuk karya sastra sebagai manifestasi adanya keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan.