30 Mei 2008

Peluncuran Buku Puisi "otobiografi" Saut Situmorang dan "Mata Air, Akar Pohon" Nur Wahida Idris

Dua buku puisi terbitan penerbit [sic] Yogyakarta, yaitu "otobiografi" Saut Situmorang dan "Mata Air, Akar Pohon" Nur Wahida Idris, akan diluncurkan di Warung Nusantara (Koes Plus Mania), Jl. Bantul Dongkelan (Belakang BAJ), pada Selasa 27 Mei 2008, pukul 19.30 WIB.

Acara yang digelar secara gratis dan partisipatif ini akan diramaikan pembacaan puisi oleh kedua penyair dan undangan, di antaranya TS Pinang, Y Thendra BP, Mutia Sukma, Ni Komang Ira, Joni Ariadinata, Bambang Darto, dan Indrian Koto.

Acara pembacaan puisi secara partisipatif di Warung Nusantara ini akan digelar secara reguler sebulan sekali, sebagai kelanjutan Live Poets Society yang pernah digagasnya. "Cuma, kalau selama ini bertempat di Kedai Kebun, sekarang pindah ke Warung Nusantara, formatnya sama seperti dulu," katanya.

Disebutkan, dalam berapa kali penyelenggaraan, kegiatan Live Poets Society telah menghadirkan sejumlah penyair tamu serta sudah memiliki apresian tersendiri, terutama di kalangan anak-anak muda yang selalu siap berpartisipasi membawakan puisi-puisinya.

Untuk diketahui, buku puisi "otobiografi" sudah diluncurkan Saut Situmorang di berbagai kota di Pulau Jawa dan Bali, seperti Solo, Surabaya, Gresik, Malang, Kudus, Purwokerto, Tasikmalaya, Bandung dan Denpasar. Sedangkan "Mata Air, Akar Pohon" Nur Wahida Idris sudah diluncurkan di Padang dan Payakumbuh, dalam event Temu Penyair 5 Kota. Ke depan, terkait pembicaraan atau diskusi kedua buku puisi, akan diadakan acara khusus dengan melibatkan kritikus dan pemerhatisastra.

Sumber:http://gudeg.net

27 Mei 2008

Temu Sastrawan Indonesia 2008 di Jambi

Edisi Mei 2008

Provinsi Jambi mendapat kepercayaan menjadi tuan rumah pelaksana Temu Sastrawan Indonesia Pertama pada 7-11 Juli 2008. Kegiatan itu juga dikaitkan sebagai salah satu program menyongsong Tahun Kunjungan Wisata Indonesia/Visit Indonesia Year (VIY) 2008 dan Visit Jambi Year (VJY 2009).
Ketua Umum Panitia Pelaksana Temu Sastrawan Indonesia, Mualimah Radhiana, seperti dikutip Antara di Jambi, Jumat lalu mengatakan, temu sastrawan Indonesia 2008 merupakan kegiatan yang amat penting bagi para sastrawan dalam rangka mengagendakan Kongres Sastrawan untuk membentuk forum bersama dengan melibatkan ekologi sastra (sastrawan, kritikus, media, dan penerbit) guna mencapai estetik sastra Indonesia. Selain itu, akan dilaksanakan pula workshop penulisan esai/kritik sastra serta panggung apresiasi dan wisata budaya ke situs Candi Muarojambi, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi, penerbitan buku antologi, dan pameran/bazar.
Temu Sastrawan Indonesia 2008 di Jambi nantinya akan mengambil tema "Kemandirian, Kebersamaan, dan Keharmonisan". "Tema itu penting agar para sastrawan Indonesia bersama ekologi sastra Indonesia memiliki kekuatan dan mampu memberi solusi mengenai tidak sehatnya ekologi sastra Indonesia saat ini," kata Mualimah yang juga Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi itu.
Sementara itu, sastrawan Jambi Dr Sudaryono MPd yang juga ketua panitia pelaksana Temu Sastra Indonesia mengatakan, dasar pemikiran pertemuan sastrawan Indonesia di Jambi karena saat ini telah terjadi krisis multidimensi seperti politik dan budaya, termasuk sastra Indonesia. Ekologi sastra Indonesia kini kian memudar, tidak seperti dulu yang banyak menghasilkan karya sastra seperti syair, cerpen, novel, dan skenario cerita film yang berbobot.
Kritikan sastrawan terkemuka Indonesia masa dulu, seperti Chairil Anwar dan HB Jassin, kini jarang ditemukan, atau bahkan hanya sebatas cerpen," ujar Sudaryono seraya mengingatkan bahwa pada satu hingga dua dasawarsa silam, HB Jassin dengan kritik sastranya, "Kerakap di Atas Batu, Hidup Enggan Mati Tak Mau", berhasil membuat sastra Indonesia tumbuh harmonis.
Kongres sastra Indonesia di Jambi akan menampilkan 10 sastrawan Indonesia, yaitu Dr Katrin Bandel, Prof Dr Suminto A Sayuti, Todung Mulya Lubis, Prof Dr Abdul Bari AZ SH, Nirwan Dewanto, Pamusuk Eneste, dan Ahmadun Y Herfenda. Kemudian Acep Zam-zam Noor, Ahmad Subhanuddin Alwy, Eddy Utama, Dr Haris Effendi Thaher, Prof Dr Hasanuddin WS, Dr Maizar Karim MHum, Korrie Layun Rampan, dan Prof Dr Sunaryono Basuki. (Ami Herman)

Sumber http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=196106

23 Mei 2008

Kebangkitan







Peringatani Seratus Tahun Kebangkitan Nasional 1908-2008.

Teks itu berlari dan menghilang. Ekor mata tak sempat mengejarnya. “Betul-betul peringatan,” kata Wannasib bergumam sambil menikmati acara televisi malam itu di rumah Ian.

“Kau ngomong apa tadi, kurang jelas,” sahut Ian yang duduk tidak jauh dari Wannasib. Selain tuan rumah, Wancik dan Ahmad juga tampak duduk lesehan di dekat mereka.

“Ya, betul-betul peringatan.”

“Maksudnya peringatan apa?”

“Ya, peringatan untuk bangsa ini. Lihat lima malam kemarin seluruh televisi secara kompak menyiarkan siaran langsung peringatan itu dengan penuh gebyar dan kolosal di tengah kehidupan yang memprihatinkan. Menariknyanya lagi, di sela-sela acara itu tampil pertunjukan dari TNI dan Polri dengan berbagai aktrasi senjata dan ototnya.”

“Lalu apa hubungannya dengan kata peringatan katamu tadi?”

“Itu artinya acara kebangkitan di istora Senayan itu semacam peringtan kepada rakyat bahwa TNI dan POLRI masih solid dan siap mengawal negara dari ancaman pihak luar dan dalam. Selain itu ada histeria nasionalisme di sana,” jawab Wannasib.

“Ah, itukan hanya nasionalisme yang bergenit-genit dan bermanis-manis,” kata Ahmad menambahkan.

“Lho, kok begitu?” giliran Wannasib bertanya. Ahmad tersenyum. Ian menganggap bahwa pernyataan kawannya itu tidak serius.

“Lihatlah ketika pemerintah menaikan harga BBM, maka mahasiswa dan elemen masyarakat berdemo menolak dan melawan kebijakan pemerintah kita, di balik itu tentu ada sprit kebangkitan, di balik itu pula ada spirit nasionalisme, keduanya itu nyata bukan ritual atau sekedar retorika pidato,” jelas Ahmad penuh semangat.

“ Ternyata bisa juga kau serius,” sambut Ian sambil tertawa.

“ Tapi itu kan kebangkitan emosional,” sambung Wancik kemudian.

“Lha, justru itu menurutku malah kebangkitan rasional. Rakyat sekarang sudah berpikir rasional, justru pemerintah yang tidak rasional, malah pemerintah yang emosional. Buktinya BLT yang diberikan itu tidak lagi rasional, justru rakyat dibuat emosional untuk saling berebut,” kata Ahmad berkobar. Wannasib mengangguk-anggukan kepala tanda bahwa dia sepakat. Dalam lubuk hatinya yang paling jauh dia merasakan pikiran Ahmad yang berkecamuk serta semangatnya yang meledak-ledak.

Tiba-tiba Wannasib teringat berbagai peritiwa yang terjadi dan menimpa negerinya. Terlebih ketika peristiwa yang berhubungan dengan rasa kebangsaan, rasa solidaritas, serta rasa kecintaan terhadap tanah air. Dua istilah yang dilontarkan oleh Ahmad dan Wancik tentang kebangkitan rasional dan kebangkitan emosional jadi pikiran Wannasib.

“Di Malaysia seorang TKW di perkosa hingga melahirkan,” kata Wannasib.

“Kurang ajar!” Jawab Ian.

“Di Malaysia seorang wasit karate Indonesia dipukuli saat bertugas,” sambung Wannasib.

“Kurang Ajar!” Teriak Wancik, Ian, dan Ahmad secara serempak.

“Rasa geram dan marah kalian itu adalah cerminan rasa berang masyarakat Indonesia terhadap Malaysia ketika peristiwa itu terjadi. Bangsa ini emosional. Tapi untuk kasus ini justru pemrintah tenang-tenang saja, tanpa emosional. Malah pemerintah itu emosi kalau menghadapi kaum demonstran. Bagaimana mau terbangun nasionalisme jika pemerintahnya tidak punya rasa itu.”

Wannasib bilang di Amerika, pemerintah sangat melindungi warganya. Bahkan pemerintah Amerika akan bertindak tegas jika warganya diganggu di luar. Namun aneh jika Pemerintah Indonesia tidak terketuk hati nuraninya. Pemerintah justru sudah cukup puas mendapat pernyataan maaf. Tidak heran, kata Wannasib, bila bangsa Indonesia selalu kecolongan. Ketika angklung maupun reog diklaim sebagai kesenian milik Malaysia, malah pemerintah kita santai-santai saja. Justru yang melakukan pembelaan adalah Anwar Ibrahim seorang bangsa Malaysia. Apakah betul nasionalisme kita sudah mulai luntur?

Tiba-tiba Wanasib ingat ucapan Anhar Gonggong dalam sebuah wawancara televisi, dia bilang jika nasionalisme di masa mendatang lenyap, maka dosa itu terjadi disebabkan dosa Depdiknas karena telah menghilangkan sejarah dari kurikulum. Orang tak mengenal dirinya tanpa tahu sejarah.

Bahagialah orang-orang yang mengenal sejarah sebuah bangsa, maka dia telah mengenal peradaban sebagaimana yang dilakukan oleh Erwan Suryanegara dalam seni pertunjukan Prasasti 13 Abad Kebangkitan Srwijaya, Sabtu, 24 Mei di Palembang. /anwar putra bayu/

Sumber foto bendera:http://away.blogsome.com

16 Mei 2008

Membaca Teater Hari Ini


Ada apa dengan teater saat ini?

Pertanyaan itu kerapkali muncul dibenak Babeatmadi yang saat ini tengah mengamati perkembangan teater modern di berbagai daerah untuk ditulis dalam buku barunya. Kini dia berada di kota di mana Wannasib menetap. Kehadirannya yang tiba-tiba itu separuhnya membuat Wannasib repot. Seperti sekarang ini Wannasib mengajak Babeatmadi raon-raon hingga langkah mereka terseret ke gedung Taman Budaya Sriwijaya yang dikelola Badan Aset Daerah.

Dulu, kata Wannasib, Taman Budaya Sriwijaya pernah dikelola oleh Dewan Kesenian Sumatera Selatan. “Ya, sebaiknya memang begitu, sehingga Taman Budaya bisa terprogram keseniannya. Eh, Wan, tapi kenapa harus Badan Aset yang mengelolanya?” Tanya Babe penasaran.

“Karena DKSS tak sanggup lagi karena persoalan pendanaan. Bayar listrik, bayar kebersihan, bayar perawatan dan macam-macam, itu semuanya pakai uang. Nah, DKSS tak punya uang, yang punya uangkan pemerintah propinsi, harusnya mereka toleran dan menganggarkan untuk kesenian, khususnya untuk DKSS agar sastra, tari, teater, dan musik bias dibina dan dikelola secara serius. Jangan bola melulu yang diurusi,” jawab Wananasib.

Mereka berdua kini tampak mengamati sekelompok orang-orang yang sedang melakukan latihan teater di pelataran jalan. Kayaknya orang-orang yang latihan itu naga-naganya tengah menyiapkan sebuah pertunjukan. Hal itu terungkap bagaimana orang-orang itu mengekspresikan gerak. Di tengah kelengangan anak-anak muda itu kelihatan bersemangat dan giat berlatih.

“Be, syukur kau masih bisa menyaksikan orang-orang latihan hari ini. Biasanya area Taman Budaya ini sangat sunyi dari latihan teater.”

“Oooh begitu?”

“Ya begitu.”

“Saat sekarang ini berteater sedang memikul beban,” kata Babe lirih sambil matanya menatap wajah Wannasib. “Sebagaiman orang-orang yang latihan itu, maka siapa pun yang ingin menggeluti dunia pentas atau seni pertunjukan diharuskan siap untuk memikul beban.” Sampai di situ Babe berhenti ngoceh. Dia menyeruput aqua gelas. Wannasib manggut-manggut.

Persoalanya, kata Babe kemudian, yakni pada penataan non artistik. Anggaplah, soal manejemen misalnya, ketika hal itu mulai disadari berteater tanpa manejemen dia akan seperti kuda pusing di dalam pasar malam. Berpusing-puising di area yang terbatas, begitu eksklusif. Belum lagi kesulitan seniman teater meyakinkan orang-orang bahwa menonton teater atau seni pertunjukkan adalah menyaksikan peristiwa budaya. Kita tengah menyaksikan peristiwa sejarah, kita merasakan peristiwa estetika, begitu komplek.

Bukankah beretater saat ini berhadapan dengan film-film Amerika, India, Hongkong plus sinetron di televisi, tari perut, triping, dan lain-lain. Begitu eksploratif dengan kepentingan ekonomi, hedonitis, individualis, dan materialis.

Kemudian bukankah berteater saat ini berhadapan dengan sepakbola? Orang-orang lebih suka nonton sepak bola, tentunya menyiasati pementasan jangan sampai tubrukan dengan jadwal pertandingan, ini salah satu bagian dari beban yang dipikul.

“Ya ya, dulu pernah seorang sastrawan kota ini ketika melakukan diskusi sastra agendanya bertabrakan dengan pertandingan sepak bola Sriwijaya FC. Boleh jadi di antara seniman atau sastrawan yang tak datang dalam acara itu tengah menonton sepak bola. Tapi kupikir, penonton sastra, penonton teater atau baca puisi dari dulu juga sedikit,” tutur Wannasib memberi alasan.

“Ya, ya. Namun, ini yang menarik bahwa berteater atau seni pertunjukan saat ini di mana-mana berhadapan dengan pilkada. Apakah pergelaran teater yang dianggap berhasil saat ini adalah penuh muatan politik dan ekonomi? Persoalan itu tergantung bagaimana cara kita memandang. Satu sisi bila teater mau hidup, maka teater perlu dana, untuk memiliki dana itu maka perlu kompromi, dan sebaliknya. Dalam hal ini kita mahfum saja. Tapi nanti dulu, di sinilah cilakanya bila kesenian tidak dianggarkan khusus oleh pemerintah. Dana keesenian muncul dadakan, kadang berbau proyek. Itu sebabnya tak tampak perkembangan teater independen yang solid, kreatif, dan produktif. Mungkin itu salah satu penyebab.” Babe menghentikan percakapannya lalu dia diam. Wannasib pun ikut diam. Orang-orang latihan berteriak “Phuaaah!” /anwar putra bayu/


03 Mei 2008

Taufik Ismail 55 Tahun dalam Sastra Indonesia

Edisi Mei 2008


Tahun 2008 ini, Taufiq Ismail genap 55 tahun berkiprah dalam panggung kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. Melalui sastra dia ambil bagian dalam isu-isu penting negeri ini. Puisi-puisinya menggemakan respons terhadap situasi politik yang genting di tahun 1960-an dan 1990-an. Puisi-puisi Taufiq adalah saksi tentang situasi sosial-politik Indonesia. Namun demikian, Taufiq tak hanya terlibat dalam isu-isu politik tanah air. Ia juga berbicara tentang banyak tema lain, yaitu cinta, alam, kemanusiaan, agama, dan Tuhan.

Tidak itu saja, salah seorang pendiri majalah Horison (1966) ini, juga menulis cerpen, drama, esai serta kolom dengan lanskap tema yang cukup melimpah dan beragam. Taufiq juga menerjemahkan puisi, cerpen, dan buku Islam. Dia terbilang penulis dan editor produktif yang telah menerbitkan 14 judul buku. Dia juga penyair aktif membacakan puisi di berbagai festival sastra dan forum, di 24 kota Asia, Eropa, Amerika, Australia dan Afrika sejak 1970.

Menandai 55 tahun kiprahnya di panggung kesusastraan dan kebudayaan Indonesia ini, beberapa kegiatan apresiasi dan ilmiah diselenggarakan, antara lain: lomba karya tulis mahasiswa, seminar nasional, penerbitan buku, dan pembacaan puisi.

Lomba Karya Tulis Mahasiswa tentang Taufiq Ismail dalam sastra dan Kebudayaan Indonesia. Lomba yang memperebutkan total hadiah Rp 25 juta telah berakhir pengiriman naskahnya pada 30 Maret lalu.
Buku karya Taufiq Ismail yang diterbitkan adalah Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit , terdiri dari empat jilid; Jilid 1 (Himpunan Puisi 1953-2008), Jilid 2 & 3 (Himpunan Tulisan 1960-2008), dan Jilid 4 (Himpunan Lirik Lagu), serta buku Rerumputan Dedaunan (Antologi Puisi Terjemahan Penyair Amerika). Peluncuran buku-buku tersebut dilaksanakan di Aula Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, pada 14 Mei mendatang. Prosesi peluncuran buku ini dirangkai dengan Pidato Kebudayaan oleh Anies Baswedan PhD (Rektor Universitas Paramadina Jakarta) dan Emha Ainun Nadjib.

Seminar Nasional bertema Taufiq Ismail 55 Tahun dalam Sastra Indonesia diselenggarakan di Jakarta dan Padang. Di Jakarta, seminar dilaksanakan di Auditorium Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta Pusat, pada 17 Mei. Seminar ini akan dibuka oleh Menteri Pendidikan Nasional, Prof Dr Bambang Sudibyo MBA, sekaligus sebagai keynote speaker. Sebagai pembicara, antara lain: Prof Suminto A Sayuti (Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta), Prof Arief Rachman (Guru Besar Universitas Negeri Jakarta dan Ketua Harian Unesco Indonesia), Prof Budi Darma (Novelis dan Guru Besar Universitas Negeri Surabaya) dan Yudi Latief PhD (pengamat budaya).

Sementara di Padang, Seminar Internasional diselenggarakan di Studio TVRI, Padang, Sumatera Barat pada 28 Mei. Hadir sebagai keynote speaker Dr Fasli Jalal PhD (Dirjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas). Sebagai pembicara antara lain: Dr Rebecca Fanany (Swinburne University Australia), Darman Moenir, Dr Ismet Fanany MA (Deakin University, Melbourne), Drs Yulizal Yunus MA (IAIN Imam Bonjol Padang), Dr Ir Raudha Thaib MP/Upita Agustine (Universitas Andalas, Padang). Seminar ini akan dibuka oleh Gubernur Sumatera Barat, H Gamawan Fauzi SH MH. Seminar ini gratis, bagi dosen dan guru disediakan sertifikat seminar.

Setelah seminar, khusus di Padang, acara dilanjutkan dengan Pembacaan Puisi-puisi Taufiq Ismail, pada 28 Mei. Selain sastrawan di Sumbar, pembacaan puisi karya Taufiq juga akan dilakukan oleh pejabat dan tokoh masyarakat, di antaranya Gubernur Sumbar, Rektor Unand, Rektor UNP dan Rektor IAIN. Malam pembacaan puisi ini dimeriahkan oleh pentas Grup Pentas Sakral dan Grup Awra Voice.

Informasi selanjutnya hubungi Panitia 55 Tahun Taufiq Ismail dalam Sastra Indonesia/Majalah Sastra Horison, Jl. Galur Sari II No. 54 Utan Kayu Selatan, Jakarta Timur 13120 telp. (021) 859.030.45 faks. (021) 858.3437. (*)

Sumber teks: nirwansyahputra.wordpress.com
Sumber foto: www.tokohindonesia.com

01 Mei 2008

Kekuasaan dan Hukum

Edisi Mei 2008

Wannasib pulang ke rumah, dia baru saja memberi ceramah di sebuah forum diskusi. Suasana diskusi masih melekat di pikirannya, sehingga masih terbawa-bawa emosi kejengkelannya manakala dia tiba di rumah. Hasilnya? Pintu rumah dia banting. Daaaaaar! Biduani istrinya tetap saja tersenyum manis menyambut suaminya.

Tadi di kampus Wannasib sangat jengkel karena dikejar berbagai pertanyaan yang aneh-aneh dari para mahasiswa. Alih-alih, Wannasib naik pitam. Padahal, dalam hati dia mengakui bahwa sajian diskusi tentang seputar budaya dan hukum tak ada masalah. Soal kebenaran (bukan:pembenaran) dan soal keadilan (bukan pengkerdilan), dua hal itu dia bahas tuntas. Apalagi?

Wanasib tadi memang sudah bercerita panjang lebar mengenai hukum, mulai dari hukum pidana, hukum perdata, hukum pancung, hukum gantung di negara jiran, hingga hukum cambuk di Nangro Aceh Darussalam dan hukum karma yang menimpa Pak Lurah di kampung. Semua itu diserempet oleh Wannasib.

Tadi Wannasib dikejar-kejar pertanyaan sehingga dia sulit untuk melarikan diri. Secara bijaksana Wannasib harus menampung semua itu meski ada beberapa pertanyaan itu rumit dan membuat pikirannya macet dan mumet. Betapa tidak, beberapa mahasiswa tetap tidak puas dengan jawaban yang diberikan, sehingga berlanjut jadi debat kusir di luar forum diskusi sehingga Wannasib tidak saja dikejar malah dikerjai. Bahkan, beberapa mahasiswi berani membetot-betot jas abu-abu yang dipakai Wannasib.

Sekarang Wannasib mengingat kembali adegan yang menegangkan bagi dirinya ketika di kampus. Terkesan dalam benaknya ketika seorang mahasiswa berambut gondrong kriting begitu aktratif menarik-narik jasnya. Dia terbayang wajah Kaka vokalis Slank yang pernah dilihatnya di televisi.

“Konon negara kita adalah negara hukum,” kata Wannasib mengawali pembicaraan dalam forum itu. “Hukum berkedudukan tinggi,” katanya lagi. “Sehingga praktik kekuasaan (pemerintah) tidak berpaling dari undang-undang, dan tak pindah ke lain hati” imbuhnya dengan penuh semangat. Wannasib bilang, kekuasaan tunduk kepada hukum, bukan hukum tunduk pada kekuasaan sehingga kekuasaan membatalkan hukum.

Menurutnya lagi bahwa hukum bukan untuk menghukum rakyat, namun untuk melindunginya. “Loh kok bisa begitu ya?” Potong seorang mahasiswa.

“Ini menurut saya, dalam hukum kan terkandung nilai kebenaran dan keadilan yang harus diemban dan ditegakan, bukan untuk dibenar-benarkan sendiri,” jelas Wannasib sembari memandang tajam kearah mahasiwa itu.

“Socrates, Rousseau, Strong. Gruys, Hobes, Yudhistira, Buyung…….di mana kau saat ini?” Demikian Wannasib ngoceh sendirian bak seorang aktor yang sedang menghafal naskah teater. Wannasib tak sadar istrinya tengah memperhatikannya.

“Bang, mau pentas di mana?” Tegur sang istri. Wannasib cuma bisa senyum-senyum. “Lusa saya diundang berbicara di sebuah hotel, jadi saya harus latihan sedikit,” jelas Wannasib kepada Biduani.

Seusai ceramah Wannasib sakit kepala karena dia tak bisa menolak wawancara dari seorang wartawan hukum di ruang kerja dekan universitas. “Bung, saya pikir semua pembicaraan tadi sudah cukup jelas, tapi saya akan cerita tentang sesuatu untuk Bung,” ujar Wannasib. “Cerita apa?”

Wannasib tiba-tiba teringat akan cerita tragedi romantik sekaligus tragedi komedi dari seorang pemuda bernama Lothario. Di ruang pengadilan, kata Wannasib kemudian, adalah Lothario didakwa hakim karena membunuh Barberce. Namun, sang pemuda mengelak tuduhan karena dia tak membunuh Barbece. Apalagi dia disebut-sebut telah melakukan mutilasi, yakni mencincang tubuhnya. Lothario gemetar, wajahnya pucat dan berkeringat dingin. Rasa-rasanya saat itu nyawanya berada diujung tanduk.

Kemudian, tambah Wannasib, dengan tiba-tiba muncul Barbece dalam ruang pengadilan dengan sehat-sehat saja. Para hakim melongo melihat kemunculan Barbece, namun tidak bagi Lothario. Dia justru sangat gembira. “Syukurlah Tuan hakim. Tuan tengok bahwa saya tak membunuhnya,” kata Lothario senang. Namun rasa senangnya lenyap. Dia jadi jadi terkejut karena hakim memutuskan. “Hem…jadi kesalahan ketiga masih ada,” jelas hakim sambil memandang tajam Lothario. “Polisi, seret orang itu. Dia harus digantung. Dia bersalah karena sombong,” kata hakim dengan suara yang lantang.

Wannasib menghentikan ceritanya. Wartawan yang mewawancarainya hanya manggut-manggut. “Apa maknanya,” tanya wartawan itu.

“Maknanya, Lothario itu memang tidak pernah berpikir siapa di balik keputusan hakim itu,” jawab Wannasib. Akan tetapi, bagi Wannasib hal itu menjadi beban pikirannya. Karena dia merasakan ada gambaran yang sama dengan situasi hukum di negerinya kemarin dan hari ini. Terbayang olehnya wajah orang-orang yang diputuskan bersalah oleh pengadilan meski sesungguhnya tak besalah. Wannasib yakin kalau semua itu ada kekuatan di baliknya, bukan hukum tapi kekuasaan. /anwar putra bayu/